Tuesday, October 03, 2006
Apalah Arti Gedung Kesenian yang Megah dan Representatif
“Kota seperti Surabaya, saya kira, memang memerlukan sebuah gedung kesenian yang representatif. Surabaya perlu menampilkan wajah yang berbudaya, bukan wajah sangar seperti sekarang. Namun, apalah arti sebuah gedung kesenian yang megah dan representatif bila kita tidak mampu mengisi dengan kesenian-kesenian yang bermutu.”
Tanggal 18 Agustus lalu, Max Arifin genap berusia 70 tahun. Ulang tahunnya dirayakan kecil-kecilan di rumahnya oleh sejumlah seniman muda, baik dari dalam maupun luar kota (Mojokerto), yang selama ini memang sering mengunjunginya, di Jl.Bola Voli Blok E 33, Perum Griya Japan Raya, Sooko, Kabupaten Mojokerto. Yang sangat membanggakan, bertepatan dengan hari ulang tahunnya itu, buku terbarunya, “Antonin Artaud, Ledakan dan Bom” (terjemahan dari karya Stephen Barber, Blows and Bombs,) telah diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Tentunya ini semakin membuat hari ulang tahun Max Arifin di Bulan Agustus itu semakin spesial.
Pada suatu kesempatan ketika Max Arifin diundang menjadi pembicara dalam forum diskusi yang digelar oleh Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), akhir Agustus lalu, tentang buku terbarunya ini sudah banyak ditanyakan oleh sejumlah seniman Surabaya yang menyapanya. Namun, buku yang bercerita tentang biografi dan konsep teater Antonin Artaud tersebut ketika itu masih belum sampai di Surabaya. Jadilah para seniman yang menanyakannya itu harus gigit jari. Adapun buku itu baru beredar di Surabaya pada bulan berikutnya. Isinya telah dibedah di DKJT pada Selasa, 19 September lalu.
Buku Stephen Barber ini memotret Antonin Artaud sebagai sosok yang unik sekaligus sangat memilukan--sebuah buku yang luas dan otoritatif tentang sejarah hidup dan karya dari orang yang mengubah arus teater modern. Antonin Artaud adalah salah seorang dari legenda-legenda kultural besar abad dua puluh. Theatre of Cruelty-nya mengubah arah arus teater modern dan eksperimen-eksperimennya dengan gerakan Surrealis telah memberi inspirasi yang menembus Eropa dan Amerika.
Di akhir dari sebuah rangkaian perjalanannya yang panjang--baik fisikal maupun spiritual yang ditujukan untuk menciptakan sebuah budaya yang magis dari tubuh manusia--dia ditahan dan dikurung selama sembilan tahun di berbagai asilum di Prancis, di mana dia menderita kelaparan dan menjadi “kelinci percobaan” dari lima puluh kali pengobatan lewat kejutan listrik (electroshock). Digambarkan dalam buku itu, kehidupan Artaud merupakan kegagalan yang mengerikan dan konfrontasi dan eksplorasi yang ekstrim dari luka derita dan kegembiraan.
Sampai hari ini, Max Arifin, kira-kira sedikitnya telah menghasilkan 34 karya buku. Jumlah itu belum termasuk beberapa puisi dan cerpen dari timur tengah yang juga sempat diterjemahkannya. Memang, sebagian besar dari total karyanya itu, 26 di antaranya adalah karya terjemahan, termasuk tujuh karyanya yang belum diterbitkan. Seperti; Suara yang Lain (dari buku The Other Voice, karya Octavio Paz); Surat-surat Negro (The Fire Next Time, karya James Baldwin); Teater Politik (Political Theatre, karya David Goodman); Teater dan Kembarannya (Theatre and it’s Double, karya Antonin Artaud); Masalah-masalah Seni (The Problems of Art, karya Susanne K. Langer); Kapal Orang-orang Bodoh (Ship of Fool, dari karya Christiana Perri Rossi) dan Hidupku dalam Seni (My Life in Art, karya Konstantin Stanislavsky).
Beberapa di antara judul-judul buku yang belum diterbitkan tersebut telah berada di tangan penerbit. Seperti; Masalah-masalah Seni yang sudah berada di penerbit Bentang, Yogyakarta; Hidupku dalam Seni yang telah ditangani oleh penerbit Pustaka Kayutangan, Malang dan Kapal Orang-orang Bodoh yang kini berada di tangan penerbit Biduk, Bandung.
Pada karya yang disebut terakhir, bahkan telah berada di pihak penerbit sejak lima tahun yang lalu. Namun tak pernah ada kabar sampai sekarang. Celakanya Max Arifin tidak menyimpan kopi terjemahannya. Untungnya naskah dari buku aslinya, Ship of Fool, masih tersimpan rapi di rak bukunya.”Ah, sudahlah, saya tak ingin ribut dengan orang soal itu,” katanya ketika disinggung tentang nasib karyanya yang satu ini.
Begitulah, Max Arifin sebenarnya punya seabrek pengalaman yang tidak enak semacam itu. Contoh lain, naskah Surat-surat Negero yang diterjemahkannya dari karya James Baldwin sempat dinyatakan raib ketika dibawa oleh salah seorang redaktur budaya untuk dimuat di koran harian nasional terbitan Surabaya. Pengalaman pahit seperti itu sering terjadi karena Max Arifin selalu ingin membagi isi buku tersebut kepada orang lain. Suatu keinginan yang selalu ada dibenaknya setiap kali dia akan mengawali menerjemahkan buku.
Adapun sampai hari ini Surat-surat Negero tak pernah muncul di koran seperti yang telah dijanjikan oleh redakturnya tersebut. Hingga suatu ketika pernah Max Arifin mengirim pesan singkat (SMS) kepada Jurnal: ”Malam ini, salah satu televisi swasta menayangkan Malcolm X. Namun pikiranku melayang pada Surat Surat Negro.”
Karir Max Arifin sebagai penerjemah buku kira-kira berawal sejak tiga puluh tahun yang lalu. Bermula dari seorang wartawan Kompas bernama Trees Nio yang datang mengunjungi Dirman Toha, sahabat Max Arifin, yang merupakan koresponden Kompas di Mataram. Saat itulah Trees Nio melihat dua naskah novel terjemahan karya Max Arifin, masing-masing Walkabout, karya James Vance Marshall dan The Sound of Waves, karya Yukio Mishima.
Trees Nio langsung tertarik dengan dua naskah itu dan membawanya ke Jakarta. Berturut-turut kemudian masing-masing dijadikan Cerita Bersambung (Cerber) di Kompas (1976 dan 1978). ”Honor dari Kompas waktu itu sebesar delapan puluh rupiah. Sementara gaji sebagai pegawai negeri tujuh puluh lima rupiah,” kenang Max Arifin.
“Kami langsung beli pompa air yang uangnya dikumpulkan dari sebagian honor Kompas itu. Waktu itu kira-kira harganya Rp. 125 ribu,” timpal Siti Hadidjah (70), isteri Max Arifin, yang juga pekerja seni. Sementara, Max Arifin, masih dari sebagian honornya itu, pada 28 Februari 1986, membeli mesin ketik Brother Deluxe 550 TR untuk hadiah ulang tahun isterinya, dengan tak lupa dituliskannya pesan pendek terlebih dahulu: Without Fear and Favor!
Karya-karya naskah/ buku yang pernah ditulis Max Arifin memang kemudian banyak yang dijadikan cerber di sejumlah koran harian yang terbit di negeri ini. Selain dua karya yang telah disebut tadi, masih ada Kecantikan dan Kesedihan (terjemahan dari naskah The Beauty and Sadnes, karya Yasunari Kawabata) yang juga menjadi cerber di Kompas pada tahun 1984.
Selain itu, masih ada lagi; Matinya Demung Sandubaya yang menjadi cerber di harian Suara Nusa (Mataram); Kemelut (naskah terjemahan dari The Blind Owl, karya Sadeq Hedayat) yang menjadi cerber di Surabaya Post; serta Seratus Tahun Kesunyian (naskah terjemahan dari One Hundred Years of Solitude, karya Gabriel Garcia Marques) yang menjadi cerber di Jawa Pos (1997).
Kendati demikian, dengan jumlah karya yang telah dihasilkannya sebanyak itu, Max Arifin tidak mau disebut sebagai sastrawan. “Saya ini orang teater, bukan sastrawan,” ujarnya. Barangkali dia berkata begitu karena kebanyakan karyanya, baik itu yang terjemahan maupun tidak, sebagian besar adalah tentang drama/ teater.
Terlebih, dia juga pernah mendirikan kelompok teater Gugus Depan di Mataram. Bahkan, selama tinggal di Mataram dulu, dia adalah pembina teater di beberapa SMA dan universitas. Pun di tempat kerjanya, Depdikbud Nusa Tenggara Barat (sekarang sudah pensiun, red), dia juga diserahi tugas untuk menangani bidang Kesenian seksi drama (tradisional dan modern).
Kepada Jurnal, Max Arifin bersoloroh, jika ada yang mengira bahwa dirinya adalah seorang sastrawan, itu karena selama berkesenian dia juga suka menulis puisi dan cerpen. Percayalah, Max Arifin akan lebih antusias jika diajak ngobrol soal teater.
*****
Bagaimana perkembangan teater di tanah air, khususnya di Surabaya dan Jawa Timur (Jatim)?
Perkembangan teater di Indonesia timbul tenggelam. Ada masa ketika teater itu sedang marak, atau sedang digandrungi, ada juga masa ketika teater sedang sepi.
Perkembangan teater di Surabaya atau Jatim sekarang ini, termasuk pada masa yang mana?
Seperti yang anda lihat sendiri, sejak beberapa tahun terakhir, banyak festival dan pementasan (teater) di sini (Surabaya, red). Itu artinya teater sedang berkembang pesat di sini. Tapi itu kalau kita bicara soal kuantitas loh ya…
Kebanyakan dari mereka tidak berkualitas, ya, Pak?
Tidak semua kelompok teater yang pernah mentas--sepanjang yang saya saksikan--tidak berkualitas. Ada beberapa yang cukup berkualitas di samping ada yang memang di bawah standar.
Apa kira-kira yang membuat penampilan kelompok-kelompok teater kita banyak yang tidak berkualitas?
Ada banyak faktor. Tapi, sebenarnya, kualitas bisa dicapai bila kelompok-kelompok teater tersebut memahami benar tuntutan-tuntutan atau hukum-hukum yang ada dalam seni teater. Bukan cuma memahami secara teoritik, tetapi mampu mengimplementasi aspek-aspek teoritik tersebut ke dalam praktik, ke dalam realitas pentas yang bersifat visual.
Tuntutan-tuntutan atau hukum-hukum yang ada dalam seni peran (teater) tersebut memang cukup tinggi. Saking tingginya, orang memerlukan membangun sekolah tinggi yang mengajar seni teater dan seni teater merupakan suatu disiplin tersendiri.
Ada kelompok teater yang sejak awal penampilannya tidak berkualitas dan celakanya pada penampilan selanjutnya, hingga sampai pada penampilannya yang kesekian kali atau bahkan sampai sekarang tetap saja tidak berkualitas. Bagaimana caranya meningkatkan kualitas kelompok teater yang seperti ini, atau sudah susahkah untuk memperbaiki kualitas pada kelompok teater yang seperti ini?
Saya tidak mengatakan susah atau tidak susah, karena semuanya juga akan terpulangkan pada manusianya. Sebagaimana seni-seni yang lainnya, seni teater menuntut latihan-latihan yang terus menerus dan studi, di samping--barangkali--sedikit bakat.
Latihan-latihan dibagi dalam dua macam: latihan-latihan persiapan dan latihan-latihan produksi. Mereka yang sudah matang dalam latihan-latihan persiapan baru bisa mengikuti latihan-latihan untuk produksi, untuk pementasan. Ada jenjang-jenjang di setiap macam atau tahap latihan tersebut. seni teater disebut juga sebagai seni vokal dan seni akting. Ada tuntutan-tuntutan yang cukup berat untuk keduanya. Sudah terlalu banyak buku yang mengupas masalah tersebut. Lalu tanpa membaca satu bukupun, apakah bisa dikatakan adanya pementasan yang berkualitas?
Menurut saya, tak ada cara lain untuk meningkatkan kualitas selain dari belajar, studi dan latihan yang terus menerus. Seperti dikatakan oleh Stanislavsky, aktor-aktor harus menjalani latihan-latihan dan disiplin yang ketat, selalu menguji dirinya, standar-standar etika yang tinggi, mengejar selera yang baik di atas dan di luar pentas. Ia menolak aktor-aktor yang bebal, malas, yang suka mejeng, melacurkan hidupnya hanya untuk dikeploki penonton.
Aktor harus memiliki disiplin ketat. Aktor harus selalu menguji dirinya, memiliki standar etika yang tinggi dan mengejar selera, baik di atas pentas maupun di luar pentas.Sutradara-sutradara pun harus memahami sejarah teater--di dunia dan di tanah air--paham-paham, gagasan-gagasan yang ada dalam dunia seni teater dan memahami perbedaan-perbedaannya.
Paham-paham atau gagasan-gagasan ini mungkin saja akan menuntun dia dalam menentukan strategi dramaturgi yang akan dipakai dalam pementasannya. Sutradara dan aktor harus memahami di mana letak keindahan seni teater dan mampu mewujudkan keindahan tersebut dalam realitas pentas.
Menurut anda, apakah workshop-workshop, tentang teater khususnya, yang digelar oleh komunitas atau lembaga atau instansi pemerintah, yang umumnya paling lama cuma berlangsung satu minggu, bisa bermanfaat bagi seorang aktor/ aktris, terlebih dalam kaitannya demi meningkatkan kualitas pertunjukan mereka di atas panggung?
Tergantung pada sistem, metode yang dipakai oleh instruktur workshop itu. Seperti workshop-workshop yang saya perhatikan selama ini, saya tidak begitu yakin akan segera meningkatkan kualitas seni pertunjukan. Walau dia mengundang Rendra atau Putu Wijaya sekalipun. Mereka cuma mempelajari bagaimana sebuah peran itu (akan) dimainkan dan bukan tentang bagaimana hal itu diciptakan secara organik.
Seni sejati harus mengerjakan bagaimana cara membangkitkan dalam diri seorang aktor apa yang disebut “Superconscious Creative Nature” untuk menjadi “The Superconscious Organic Creation”. Saya mengusulkan sistem workshop yang berjenjang dan berkelanjutan: elementer, intermediate dan advance dengan kurikulum yang berjenjang pula. Dengan begitu akan ada seleksi alam di sana. Pada jenjang advance, tahun ketiga, saya yakin akan tinggal beberapa orang saja dan itu adalah yang benar-benar dan sungguh-sungguh tekun dan disiplin atau mau maju.
Belakangan ini ramai disoal tentang perlunya gedung kesenian di Surabaya, sampai beberapa waktu yang lalu pernah dijadikan bahan diskusi dalam forum yang digelar oleh Kompas (Jatim). Banyak yang berpendapat, kota sebesar Surabaya sudah saatnya (perlu) punya gedung kesenian yang representatif. Menanggapi tuntutan itu, Wakil Walikota, Arif Affandi, menjanjikan akan membangun gedung tersebut di Kompleks Balai Pemuda pada 2008 nanti, yaitu menunggu kontrak Gedung Mitra 21 di kompleks tersebut habis. Gedung bioskop inilah yang akan direnovasi untuk gedung kesenian. Menurut anda, apakah memang perlu dibangun gedung kesenian (yang representatif) di kota Surabaya?
Kota seperti Surabaya saya kira memang memerlukan sebuah gedung kesenian yang representatife. Surabaya perlu menampilkan wajah yang berbudaya, bukan wajah yang sangar seperti sekarang.
Setelah ada gedung kesenian (yang representatif) itu dibangun, dengan seniman atau kelompok kesenian di kota ini yang kebanyakan kualitasnya masih dibawah standar, lalu selanjutnya apa?
Memang, apalah arti sebuah gedung kesenian yang megah dan representative bila kita tidak mampu mengisi dengan kesenian-kesenian yang bermutu. Oleh sebab itu, di samping akan dibangunnya gedung kesenian itu, grup-grup/ sanggar-sanggar harus meningkatkan mutu dan kualitasnya untuk bisa tampil di sana.
Berarti, tentang siapa saja (seniman/ kelompok kesenian yang seperti apa) yang berhak main di gedung yang representatif itu, harus disaring terlebih dahlu. Hanya seniman atau kelompok kesenian yang sudah terbukti kualitasnya saja yang berhak main di gedung itu, seperti itukah nantinya? Lalu, siapa (orang) yang berhak menyaringnya?
Untuk bisa main di gedung itu memang perlu selektif dalam arti tidak asal-asalan. Ada ukuran atau patokan. Memberikan kesempatan pada kelompok yang (mau) maju agar kreatifitasnya meningkat. Patokan atau ukuran itu dibuat oleh badan pengelola itu sendiri.
Sebaiknya gedung kesenian itu dikelola oleh siapa (misalnya: pemerintah, swasta, seniman, dewan kesenian, atau tak satupun dari mereka)?
Dalam badan pengelola nanti harus ada tiga unsur itu (pemerintah, swasta dan seniman). Badan ini harus independen dalam membuat dan melaksanakan program kerjanya. Tapi harus dicatat: dia yang mewakili pemerintah bukanlah orang-orang yang gampang diatur (lagi) oleh atasannya. Swasta pun bukanlah kepanjangan tangan untuk mengurus para rekanan. Serta, seniman, bukanlah kepanjangan tangan sebuah partai yang lalu bergagahgagahan bahwa dia dekat dengan gubernur, bupati atau walikota karena satu partai. Orang-orang seperti itu cuma akan jadi broker kesenian. Celaka, bukan? Untuk itu perlu digariskan kualifikasi-kualifikasi yang diperlukan.
Menurut anda, apakah pemerintah seharusnya turut bertanggungjawab/ ikut andil dalam membentuk kualitas seniman?
Pemerintah juga berkepentingan bila kesenian di daerahnya berkualitas. Sebab persyaratan sebuah kota berbudaya sangat bergantung pada karya-karya kreatif dan berkualitas para senimannya.
Sebaliknya, haruskah seniman bergantung pada pemerintah untuk berkesenian atau mengembangkan kesenian di kotanya?
Seniman tidak harus bergantung pada pemerintah dalam mengembangkan keseniannya. Namun tidak dapat dipungkiri, ada seniman yang bergantung pada (sumbangan) pemerintah dan ada yang tidak. Tergantung sejauh mana sikap seniman itu menjaga independensinya.
Haruskah kita/ seniman menuntut pemerintah untuk memperhatikan kesenian, atau keberadaan senimannya?
Kita tidak menuntut, tapi memang kewajiban pemerintah untuk memperlakukan kesenian atau keberadaan senimannya.
Kebanyakan seniman, biasanya kelompok teater, di Surabaya khususnya, masih bergantung pada pemerintah untuk urusan membiayai ongkos produksinya. Haruskah begitu, atau, kalau tidak, alternatifnya seperti apa?
Selain pemerintah, masih ada masyarakat dan pihak swasta yang peduli pada perkembangan kesenian. Tapi seniman perlu memperbaiki citranya dalam mengelola bantuan (baik dari pemerintah maupun swasta). Ada seniman atau badan/ kelompok yang kurang sehat dalam mengelola bantuan ini. Lalu kita harus bagaimana terhadap seniman/kelompok yang seperti itu? Indonesia adalah negara terkorup nomor tiga di dunia, bukan? Ya, mau gimana lagi…
*****
Dalam suatu kesempatan di Museum Mpu Tantular, Surabaya, saat ditemui seusai berbicara dalam suatu forum diskusi yang digelar oleh DKJT akhir Agustus lalu, kepada Jurnal, Max Arifin sempat melontarkan gagasan tentang seniman teater yang professional. Dalam artian: 24 jam seorang seniman mengabdikan hidupnya untuk teater, mencari makan dari teater. “Seniman ludruk bisa (professional), kenapa seniman teater (modern) tidak?,” ungkapnya.
Diakuinya, seniman teater modern memang sulit untuk berlaku seperti seniman ludruk. Sebab seniman teater (modern) terikat pada banyak hal, seperti hukum-hukum yang melingkupi seni teater tersebut, semacam menghafal naskah, latihan-latihan blocking, grouping dan lain-lain yang berbeda-beda sesuai dengan (tuntutan) naskah yang akan dipentaskan. (Untuk keterangan lebih terperinci, lihat buku Jamaes L.Peacock, Ritus Modernisasi, hal.58 dst,).
Sehingga dengan begitu, dalam sekali berproduksi saja, dalam kaitannya untuk memenuhi naskah yang akan dipentaskan itu, sebuah kelompok teater sedikitnya butuh waktu enam bulan, bahkan ada yang sampai satu tahun, untuk kemudian dipentaskan.
Berbeda dengan seniman ludruk yang memang nonkonsptual sehingga tanpa berlatih terlebih dahulu, langsung naik ke atas panggung pun jadi. “Seni ludruk dari dulu tetap begitu-begitu saja. Tak ada "keinginan" untuk meningkatkannya. Yang ada adalah pakem-pakem dan ugeran-ugeran. Tak ada pertimbangan nilai pada kualitas bentuk-bentuk kesenian tersebut yang mempunyai pola dramatik tertentu yang dapat diduga sebelumnya. Tak ada naskah, yang ada cuma catatan-catatan (outline),” terang Max. Namun begitu, bukan berarti seniman teater modern tidak bisa professional.
“Profesioanalisme dalam arti yang ketat membutuhkan kualifikasi, pemahaman teoritik yang mendalam, seperangkat etika profesi, sertifikasi sebagai pengakuan akan kemampuannya. Juga dibutuhkan ketekunan dan dedikasi. Dalam pengertian tersebut, seniman teater (modern) dimasukkan ke dalam seniman yang professional,” terangnya. “Sementara itu, dalam arti yang longgar (sehari-hari), orang yang bisa mencukupi hidupnya dengan pekerjaan yang ditekuni disebut sebagai orang-orang profesional. Ludruk dapat dimasukkan ke sana,” ujarnya menambahkan.
Max Arifin lahir di Sumbawabesar, Nusa Tenggara Barat (NTB), 18 Agustus 1936. Masa kecilnya, dari SD hingga SMP, dihabiskan di kota kecil itu. Dia sempat pindah ke Yogjakarta dan menyelesaikan pendidikan SMA-nya di sana. Dia pun sempat mengenyam pendidikan di jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Gadjah Mada. Tapi tak lama kemudian dia kembali lagi ke NTB dan melanjutkan pendidikannya di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris IKIP Mataram.
Lalu dia bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Depdikbud Provinsi NTB, Mataram (Lombok). Di masa pensiunnya, dia kini tinggal di Sooko, sebuah kecamatan yang terletak di kota Mojokorto, Jatim. Praktis Max Arifin lebih banyak menghabiskan hidupnya di kota-kota kecil.
Menurut anda, bagi seniman muda di daerah, tanpa harus datang ke kota besar, seperti Surabaya atau bahkan Jakarta, misalnya, bisakah karyanya menasional?
Yang penting, bagi seni modern adalah bagaimana meningkatkan mutu dan bobot karya, terlepas di manapun dia berdomisili, di pusat atau daerah, di tempat terpencil sekalipun. Mutu dan bobot akan memunculkan seorang seniman untuk dikenal secara nasional. Tak ada kesulitan bagi seniman yang tinggal di daerah. Sekali lagi, yang penting adalah mutu dan bobot karyanya.
Subscribe to:
Posts (Atom)