Tuesday, September 04, 2007

Masih Ada Sisa-sisa Peradaban di Kampung Jetis Agraria

Dalam kurun waktu hampir 20 tahun, peradaban di Kampung Jetis Agraria, yang termasuk dalam lingkup wilayah RT 15/ RW 4, Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo, Surabaya, berangsur punah. Kepunahan ini bukan terjadi akibat bencana alam – melainkan oleh pertumbuhan kota yang tidak menentu. Namun begitu, masih ada sisa-sisa peradaban di Kampung Jetis Agraria 1, satu-satunya kampung yang tersisa di wilayah RT 15/ RW4 Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo.
Malam itu masih sekitar pukul pukul 22.00. Namun kampung Jetis Agraria 1 sudah tampak sepi. Dari ujung gang, di beberapa rumah rumah penduduk yang dikoskan untuk para karyawati Royal Plaza, memang masih ada tanda-tanda kehidupan. Sejumlah beranda depan di beberapa rumah penduduk yang rata-rata berpenerangan lampu remang-remang sekitar 5 watt itu terlihat satu-dua anak kos putri menerima tamu lelakinya. Mereka berbincang dengan suara hampir berbisik. Sesekali kereta api yang sejak zaman kolonial Belanda selalu melewati Kampung ini setiap 30 menit sekali memecah kesunyian. Getaran roda kereta dengan suara gerbongnya di atas rel dengan kecepatan yang begitu tinggi bisa dirasakan penduduk dari dalam rumahnya. Selain itu, yang masih bisa terdengar dari dalam rumah di atas jam 22.00 itu adalah suara hak sepatu karyawati Royal Plaza yang berjalan pulang menuju rumah kosnya yang masih terletak di dalam kampung ini. "Dulu di kampung ini serasa hidup selama 24 jam. Namun sekarang kampung ini sudah mati selepas pukul 22.00. Ini karena para pemuda kampung yang dulu biasa cangkruk menghabiskan malam sampai menjelang subuh sudah pindah semua menyusul rumahnya telah dibebaskan oleh pengembang Royal Plaza," ujar Bambang, 35 tahun, warga setempat yang telah mendiami kampung ini secara turun temurun sejak zaman nenek moyangnya. Sebelumnya, wilayah di kawasan RT 15/ RW 4, Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo ini memang tercatat memiliki anggota sebanyak 355 Kepala Keluarga (KK) yang rumahnya tersebar di Kampung Jetis Kulon 1, Jetis Agraria 1, Jetis Agraria 2, Jetis Agraria 3, Jetis Agraria 4, Perumahan PNP/ PTP dan Perumahan Kehakiman. Namun, sekarang, tahun 2007, hanya tinggal Kampung Jetis Agraria 1 yang tersisa dengan 23 rumah yang didiami oleh sekitar 29 KK yang masih bertahan di wilayah ini. Serta satu lagi KK yang rumahnya berdiri sendirian di Kampung Jetis Agraria 3. Berkurangnya jumlah penduduk yang drastis di lingkup RT 15/ RW 4, Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo ini berdampak pada pergeseran kehidupan bermasyarakat kampung itu. Dulu, misalnya, yang setiap minggunya selalu diramaikan oleh acara pengajian rutin secara bergantian oleh bapak-bapak, ibu-ibu, serta pemuda kampung dari rumah ke rumah, sudah tak bisa lagi dijumpai saat ini. "Sekarang yang tersisa cuma pengajian rutin ibu-ibu sebulan sekali," terang Bambang. Juga tak terdengar lagi suara anak-anak mengaji dari Masjid Fathul Huda yang terletak di tengah kampung ini. Guru ngaji di Masjid ini sudah pindah rumah semua. Anak-anak yang mengaji di Masjid ini telah dipindahkan ke Masjid milik Telkom Divre V Jl. Ketintang yang berjarak 1 Km dari kampung ini. Bambang menandaskan, masjid ini telah berdiri sejak zaman neneknya masih muda. "Nenek saya bahkan pernah menjadi guru ngaji di Masjid ini. Ibu saya, juga saya dan saudara-saudara saya dulu, ya, belajar ngaji di Masjid ini," katanya. Praktis setelah terjadi pembebasan lahan oleh Royal Plaza, kini Masjid Fathul Huda hanya berfungsi untuk sholat lima waktu saja. Pembebasan lahan terhadap warga setempat untuk pembangunan Mall Royal Plaza ini pun juga berdampak pada berkurangnya jumlah donatur di Masjid ini. Sekarang, paling banter Masjid Fathul Huda hanya memperoleh uang kas sebesar Rp. 25 ribu setiap bulannya. Dengan perolehan kas segitu, sejumlah pengurus takmir masjid Fathul Huda selalu kebingungan setiap kali hari Jumat tiba. Yaitu ketika mereka harus membayar honor khotib Jumat minimal Rp. 50 ribu setiap minggunya. Akibatnya pengurus takmir harus terang-terangan meminta sumbangan secara door to door kepada warga kampung yang dianggap mampu secara bergantian untuk menalangi membayar kekurangan honor khotib Jumat tersebut. Tidak hanya itu, dengan beranggotakan tak lebih dari 30 KK yang berdiam di 24 rumah, kas keuangan RT 15/ RW 4, Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo pun selalu kosong. "Pihak RT per bulan menarik iuran sebesar Rp. 2.500,- per rumah, bukan per KK. Jadi per bulan seharusnya RT 15 ini punya kas sebesar Rp. 60 ribu. Namun berhubung pihak RT masih dikenakan wajib bayar iuran ke kas RW sebesar Rp. 85 ribu per bulan, maka kas RT selalu kosong dan bahkan minus, ha-ha-ha," papar Bambang. "Padahal, seharusnya, perincian iuran Rp. 2.500,-/ bulan itu selain untuk dibayarkan sebagian ke kas RW, separuh lainnya juga diperuntukkan bayar honor tukang sampah. Berhubung untuk bayar kas RW saja keuangan di RT ini masih kurang maka sudah beberapa bulan ini tukang sampah di kawasan ini tidak terbayar oleh warga kampung di sini," tambah Bambang seraya kembali ngakak. Memang tak ada yang diuntungkan dengan berdirinya bangunan Royal Plaza bagi warga yang masih bertahan di lingkup RT 15/ RW 4, Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo ini, khususnya bagi sebagian besar warga kampung yang tersisa di Jetis Agraria 1. Satu-satunya keuntungan bagi warga kampung hanyalah usaha rumah kos. Itu pun cuma dipraktekkan oleh segelintir warga kampung saja. Sebab memang tak semua rumah di kampung itu memiliki cukup kamar untuk dikoskan. Untuk membangun kamar baru, selain tak ada biaya, juga tak ada lahan. Memang, kebanyakan adalah kerugian besar yang bisa dirasakan warga atas berdirinya Royal Plaza di kawasan itu. Seperti, salah satunya, tak satupun warga kampung yang dipekerjakan untuk menjadi karyawan Royal Plaza. Padahal, dulu, pihak Royal, ketika sedang dalam proses membangun, pernah sesumbar akan mengutamakan warga kampung untuk menjadi karyawannya. Tampak pihak Royal ingkar akan janji yang satu ini. Sudah begitu, Fasilitas Umum (Fasum) milik warga kampung kini malah dicaplok pula oleh Royal untuk dibisniskan dalam bentuk Pujasera. Benar-benar celaka 12 bagi warga kampung setempat. Warga di lingkup RT 15/ RW 4, Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo yang kini tinggal sedikit ini memang punya sejarah panjang dikuya-kuya oleh pihak pengembang. Adapun tanah warga di sana telah menjadi incaran pengembang sejak tahun 1989. Sejarah hilangnya satu-persatu kampung beserta warganya di wilayah ini tak lain berawal dari berdirinya Hotel Beringin Permai di pinggir Jl. Ahmad Yani sejak tahun 1970 yang kemudian mangkrak di tahun 1980-an. Hotel ini kemudian dikuasai oleh Bank Bira yang kemudian dinyatakan tidak sehat dan disita oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Belakangan pada tahun 1989 bangunan ini jatuh ke tangan PT Seafer International Continental (SIC). Sejak itulah upaya pembebasan lahan warga dimulai. PT SIC ketika itu berencana akan membangun hotel dan pertokoan dan menyatakan butuh tanah seluas 5,5 Ha. Tanah warga pun ditawar sebesar Rp. 200 – 450 ribu/ m2 termasuk harga bangunannya demi mewujudkan rencana bisnis ini. Adapun harga yang dipatok PT. SIC itu tak lebih dari separuh harga pasaran yang berlaku ketika itu di Kota Surabaya yang seharusnya berkisar antara Rp. 500 ribu – 748 ribu/ m2 (di luar harga bangunan). Namun sebagian warga yang dililit masalah keuangan untuk kelangsungan hidup keluarganya tanpa berpikir panjang seketika itu juga langsung melepaskan tanahnya dengan separuh harga yang dipatok PT SIC itu. Di tengah jalan, upaya pembebasan lahan warga oleh PT. SIC ini kemudian terhambat oleh penemuan Komisi D DPRD Surabaya di tahun 1990 yang menyatakan bahwa tanah seluas 5 hektar yang didiami oleh warga RT 15/ RW 4, Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo yang sedang diincar PT SIC ini ternyata merupakan tanah milik Pemkot. Maka, jika PT SIC masih bersikeras ingin membangun Hotel dan Pertokoan di kawasan ini, setelah membebaskan lahan warga itu tadi, diwajibkan membeli lahan tersebut seharga Rp. 3 Miliar ke Pemkot. Tentu PT SIC yang ketika itu telah membebaskan sekitar 88 % rumah warga tidak mau rugi dengan membayar uang sebesar itu pula ke pemkot. Tampaknya PT SIC kemudian menyerah dan tidak melanjutkan upaya pembebasan lahan warga. Lantas PT. SIC menelantarkan sebagian lahan yang telah menjadi miliknya itu begitu saja hingga bertahun-tahun. Sampai di sini saja, peradaban warga yang berdiam di kawasan RT 15 /RW 4 Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo sudah tersisa tinggal 45 rumah. Detailnya, ketika itu, PT SIC telah memusnahkan peradaban di Kampung Jetis Agraria II dan IV serta Perumahan PNP/PTP dan Perumahan Kehakiman. PT SIC cuma menyisakan sederet kehidupan di Kampung Jetis Agraria I (sebanyak 44 rumah) serta satu kehidupan lainnya di sebuah rumah di Kampung Jetis Agraria III milik Suhandoko (almarhum) yang masih berdiri hingga sekarang dan ditempati oleh ahli warisnya. Keberadaan total 45 rumah beserta kehidupannya yang tersisa di wilayah ini pun ternyata hanya bertahan sampai 15 tahun. Tahun 2006 datang anak perusahaan Pakuwon Jati, PT. Dwi Jaya Manunggal, mengambil alih lahan bekas milik PT SIC tersebut untuk dijadikan Mall. Untuk kepentingan itu terjadilah lagi pembebasan lahan milik warga. Sebanyak 21 rumah utamanya yang berdiri tepat di batas garis sempadan rencana pembangunan Mall yang kini bernama Royal Plaza ini dibebaskan pada tahun itu juga dengan harga beragam antara Rp. 4 – 5,5 Juta/ m2 termasuk nilai bangunannya. Kini totalnya tersisa 24 rumah di sana yang juga sempat ditawar untuk dibebaskan pula dengan harga seragam Rp. 5 jutaan/m2 beserta nilai bangunannya. Namun tak ada yang melepaskannya sehingga masih ada sisa-sisa peradaban di kampung itu sampai sekarang. Sedikit warga yang tersisa di kampung itu kini sedang bejuang mempertahankan hak atas tanah Fasumnya yang ikut dicaplok Royal Plaza untuk dijadikan bisnis Pujasera.
Mereka Berjuang Melawan Kapitalis Pengukuran tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pemkot Surabaya di lahan Fasilitas Umum (Fasum) milik warga RT 15/ RW 4, Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo, yang telah dicaplok secara sepihak oleh pengembang Royal Plaza untuk dijadikan Pujasera, Rabu (20/6), mendapat perlawan sengit dari sisa-sisa warga setempat. Warga menilai petugas BPN mengambil gampangnya dalam melakukan pengkuran itu dengan hanya melakukan pengukuran dari tembok belakang sisi barat bangunan Royal Plaza ke arah Fasum. Padahal, warga, seperti yang telah disepakati bersama oleh pihak/ instansi terkait dalam Hearing di hadapan anggota Komisi C DPRD Surabaya sehari sebelumnya (19/6), menghendaki pengukurannya dilakukan secara total. Yaitu luas wilayah di RT 15/ RW 4, Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo seluas 5,5 Ha dikurangi 1,7 Ha luas tanah properti yang telah dibeli Royal Plaza. Dengan begitu nantinya diharapkan akan memperoleh hasil apakah Fasum tersebut masuk sebagai tanah properti milik Royal atau tidak. Namun petugas BPN menolak melakukan pengukuran total seperti itu. "Maklum, yang membiayai pengukuran ini adalah Pihak Royal Plaza itu sendiri. Royal telah menghabiskan sekitar Rp. 5,5 juta untuk keperluan pengukuran ini kepada BPN dengan dalih mengisi uang kas BPN. Jadi tak heran kalau petugas BPN akan memihak Royal Plaza dalam pengukuran ini," ujar seorang warga yang minta namanya dirahasiakan karena takut dikejar-kejar preman peliharaan pengembang Royal kalau masuk koran. Upaya pengukuran ini pun akhirnya digagalkan warga. Pengukuran akan kembali dilakukan menunggu hasil Hearing berikutnya bersama pihak/ instansi terkait di Komisi C DPRD Surabaya. Sengketa ini memang telah mendapat perhatian dari anggota Komisi C DPRD Surabaya. Namun tercatat tiga kali Hearing tentang masalah ini yang telah digelar di Komisi tersebut berlangsung tidak serius. Seperti pada Hearing pertama pertengahan Mei lalu yang hanya dihadiri oleh tiga orang anggota dewan yang akhirnya digagalkan karena tidak memenuhi kuorum. Hearing kedua (7/6) tidak dihadiri oleh pihak BPN. Serta Hearing ketiga yang berlangsung pekan lalu (19/6), kendati memutuskan untuk dilakukan pengukuran, hanya berlangsung tak lebih dari 15 menit karena kesibukan masing-masing anggota dewan di komisi itu yang bersikeras harus segera meninggalkan ruang rapat untuk kepentingan lainnya yang tidak jelas. Seperti pernah diberitakan, pihak pengembang Royal Plaza diam-diam, tanpa sepengetahuan warga, membangun pujasera untuk para Pedagang Kaki Lima (PKL) di belakang sisi barat bangunan Royal Plaza yang tak lain merupakan lahan Fasum berupa jalan umum milik warga RT 15/ RW 4, Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo. Padahal masih ada tiga rumah warga yang tersisa di sepanjang jalan itu yang kalau bangunan Pujasera itu benar-benar berdiri tentunya nanti pasti kebingungan kalau akan keluar rumah mau lewat jalan yang mana lagi. Sementara itu pihak Royal telah memasang harga sewa sekitar Rp. 7 – 9 jutaan per tahun bagi para pedagang (PKL) yang berminat untuk berjualan di masing-masing stan Pujasera-nya yang kini, sejak didemo warga tiga bulan lalu, pembangunannya mangkrak. Kendati bangunannya berlum rampung, ternyata sudah banyak pedagang yang telah memesan dengan membayar uang muka sebesar Rp. 3 jutaan. Akhir Maret lalu, warga pernah menghubungi Satpol PP agar membongkar bangunan Pujasera yang kini mangkrak itu agar selanjutnya bisa digunakan kembali sebagai jalan umum. Namun, dijawab langsung oleh Kepala Satpol PP Kota Surabaya, Drs. Utomo, bahwa perkara Fasum yang dicaplok Royal Plaza ini merupakan masalah kecil yang tidak perlu ditangani oleh Satpol PP – melainkan cukup diselesaikan oleh Camat saja. Namun Camat Wonokromo terbukti mandul dalam menyelesaikan masalah ini. Hingga akhirnya warga mengirim surat ke Walikota Surabaya yang membuat Camat Wonokromo kemudian mendapat teguran keras langsung dari Walikota dan dituntut untuk segera mengembalikan fungsi tanah Fasum itu ke bentuk semula. Belakangan, pada tanggal 20 Maret 2007, Lurah Wonokromo, Abdul Latief, S.Sos, MSi, mengeluarkan surat perintah pembongkaran Pujasera kepada pihak Royal Plaza. Namun, tak lama setelah mengeluarkan surat perintah pembongkaran itu posisi Abdul Latief sebagai Lurah Wonokromo segera digantikan oleh Riyadi yang kemudian selalu mengatakan tidak ngerti apa-apa atas sengketa Fasum ini ketika didesak warga untuk menindak lanjuti Surat Perintah Pembongkaran Pujasera yang dikeluarkan oleh Lurah sebelumnya. Praktis kini warga sangat berharap bantuan dari Komisi C DPRD Surabaya untuk merebut kembali hak lahan Fasumnya yang telah dicaplok Royal Plaza untuk kepentingan bisnisnya ini. (nif)

Sunday, March 04, 2007

JTV Untung Rp. 2,6 M dari Bencana Lapindo

Di tengah tuntutan ribuan warga korban Lumpur Panas Lapindo yang tak kunjung terpenuhi atas hak tanah tempat tinggal mereka yang telah tenggelam, ternyata sejumlah pihak telah terlebih dahulu meraup banyak keuntungan darinya. Perusahaan stasiun TV Swasta Lokal milik Dahlan Iskan, JTV, misalnya, diam-diam telah mencuri untung sedikitnya Rp. 2,6 Miliar dari bencana ini.

JTV bukanlah satu-satunnya pihak yang mendapat banyak keuntungan dari bencana ini. Sumber di PT. Lapindo Brantas mengungkapkan, sejumlah perusahaan media lainnya, baik elektronik maupun cetak, utamanya yang berkantor di Surabaya, juga mendapat bagian jatah dari manajemen PT Lapindo Brantas yang bertujuan agar mereka tidak memberitakan bencana yang diakibatkan oleh kecerobohannya ini secara berlebihan.

Namun sumber tadi memastikan bahwa Perusahaan JTV-lah yang mendapat porsi jatah paling besar dari bagi-bagi duit ini ketimbang perusahaan media lainnya. Dikabarkan jumlah uang yang turun hingga sedikitnya Rp. 2,6 Miliar ke JTV itu dikucurkan dalam tiga termin sejak pertengahan 2006 lalu.

Termin pertama turun langsung sebesar Rp. 2 Miliar. “Uang Rp. 2 Miliar itu digunakan untuk memproduksi sejumlah tayangan di JTV. Di antaranya adalah sejumlah episode untuk acaranya AA Gymnastiar, seorang Dai kondang yang baru saja dihebohkan dengan pernikahan keduanya. Sejumlah epidode lainnya untuk sebuah acara musik dangdut, serta sejumlah episode untuk membiayai ongkos produksi acara Talks Show Cangkru’an yang dipandu oleh komedian, Priyo Aljabar,” ujar salah seorang produser di JTV saat dikonfirmasi tentang kabar ini.

Seluruh tayangan yang disebutkan tadi diproduksi sendiri oleh JTV dan sudah kelar sebelum November 2006. Sayangnya sumber tersebut itu tidak berani membeberkan berapa biaya masing-masing dari tayangan tersebut. Namun dia mengaku porsi terbesar dari Rp. 2 Miliar yang turun di termin pertama dari Manajemen Lapindo itu paling besar masuk ke Divisi News.

Selain itu masih ada satu lagi tayangan yang biayanya diambilkan dari uang panas Rp. 2 Miliar dari Lapindo, yaitu program sinetron sebanyak 13 episode yang berjudul “Gali Lubang Tutup Lubang”. Sinetron berbahasa Jawa yang mengisahkan tentang korban Lumpur Lapindo ini tidak diproduksi sendiri oleh JTV melainkan penggarapannya diserahkan ke Parsi Jatim.

Salah seorang pengurus Parsi Jatim membenarkan pihaknya mendapat order dari JTV untuk memproduksi sinetron ini. “Sinetron Ludruk ini terakhir ditayangkan di JTV pada akhir Desember (2006) lalu,” katanya. Lebih lanjut dia memapakarkan biaya produksi pembuatan sinetron ini sebesar Rp. 15 juta per episode. Adapun Parsi Jatim untuk membikin produksi ini per episode hanya dikucuri Rp. 8 jutanya saja. Sisanya masuk ke orang-orang JTV dengan alasan untuk menyewa equipment yang seluruhnya memang didatangkan dari JTV.

Minta Tambah

Sebenarnya jatah JTV dari Lapindo untuk mengerem pemberitaan tentang kasus lumpur panas ini adalah cuma Rp. 2 Miliar itu saja. Namun ternyata setelah total Rp. 2 Miliar ini sudah habis JTV kemudian dikabarkan minta lagi ke Manajemen Lapindo. Alasannya waktu itu untuk membiayai program acara Tujuhbelasan dan telah ditayangkan JTV pada bulan Agustus lalu.

Untuk program ini JTV minta Rp. 300 juta. Konon permohonan ini dikabulkan oleh Lapindo dan JTV pun bikin program besar-besaran untuk memperingati HUT Kemerdekaan RI ini, dengan salah satunya membagi-bagikan hadiah kepada pemirsanya. Itulah termin kedua turunnya dana dari Lapindo di JTV.

Tidak berhenti di situ, pada Hari Raya Idul Adha, akhir Desember lalu, JTV kembali minta dana lagi. Kepada pihak manajemen Lapindo, JTV menyatakan idenya untuk menggelar penyembelihan hewan korban secara masal di lokasi pengungsian korban lumpur Lapindo. Untuk itu lagi-lagi JTV minta sedikitnya Rp. 350 juta.

Sukses, acara yang kemudian dikoordinir oleh Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF) ini bahkan masuk Museum Rekor Indonesia (MURI) karena menampilkan 362 ekor kambing dan 25 ekor sapi untuk disembelih dan dibagikan di lokasi pengungsian. Begitulah, sampai termin ketiga turunnya dana pada Hari Raya Idul Adha itu berarti sedikitnya JTV telah menghabiskan sedikiktnya Rp. 2,6 Miliar dari PT Lapindo Brantas.

Sementara itu nasib rakyat korban Lumpur sampai hari ini sebagian besar masih terkatung-katung. Hak mereka atas tanah tempat tinggalnya yang tenggelam belum kunjung cair. Padahal hak ganti rugi mereka telah ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam rapat kabinet, akhir tahun lalu (28/12).

Seperti yang pernah ramai diberitakan, dalam rapat terbatas selama dua hari yang dihadiri Gubernur Jatim, Imam Utomo, dan Bupati Sidoarjo, Win Herarso, Presiden menetapkan Lapindo harus menyediakan Rp. 3,8 triliun.

Perinciannya: Rp. 2,5 triliun untuk uang kompensasi ganti rugi warga, serta Rp. 1,3 triliun untuk penanggulangan semburan, recovery infrastruktur, perbaikan aset Pemkab Sidoarjo serta pembayaran paket uang kontrak rumah warga yang meliput Rp. 5 juta/ KK untuk kontrak 2 tahun, Rp. 500 ribu/ KK untuk biaya pindah rumah dan Rp. 300 ribu/ jiwa per bulan untuk jaminan hidup 6 bulan.

Dana tersebut berdasarkan rapat kabinet seharusnya sudah cair sejak 5 Januari lalu. Namun ganti rugi itu sendiri sampai sekarang masih diributkan tentang masalah sertifikat tanah warga. Belakangan warga menolak karena hanya mau dibayar separuh-separuh dalam sejumlah tahap.

Ironis, hak ganti rugi warga yang telah ditetapkan dalam rapat kabinet dan disetujui presiden tak kunjung cair sementara JTV begitu meminta, tanpa dirapatkan oleh kabinet, apalagi disetujui presiden terlebih dahulu, langsung cair hingga totalnya kira-kira mencapai Rp. 2,6 Miliar.

Menurut catatan Media Center Penanganan Bencana Luapan Lumpur Porong, pengungsi korban Lumpur Lapindo sampai hari ini telah mencapai 3633 KK, atau sekitar 12.814 jiwa. Tercatat pula sudah tiga desa di sana yang tenggelam lumpur. Yaitu Desa Kedungbendo di Kecamatan Tanggulangin, serta desa Siring dan Jatirejo di Kecamatan Porong. Kira-kira akan menyusul tenggelam dalam waktu dekat adalah Desa Renokenongo yang hingga berita ini ditulis kondisinya sudah kritis.

Sementara hak ganti rugi warga belum kunjung cair, satu-satunya tempat pengungsian yang disediakan oleh Timnas di Pasar Porong Baru pun sudah penuh. Padahal kalau mereka berdemo demi menuntut haknya yang tak kunjung cair itu, pasti memacetkan akses jalan dari Surabaya menuju Malang dan sekitarnya. Seperti yang kembali terjadi selama tiga hari berturut-turut pada akhir Februari lalu yang berakibat perekonomian di Jatim dan bahkn nasional lumpuh. Tentu saja, keuntungan di pihak JTV yang sudah menerima sedikitnya Rp. 2,6 Miliar dari bencana ini. (nif)

Saturday, January 27, 2007

Ketika Carok Tak Dibalas Carok

Ini adalah kisah lain tentang keluarga asal Madura yang tinggal di tanah Jawa. Enam bulan lalu (27/6), sekitar pukul 02.30 pagi, Ustad Mujib (30 tahun) ditemukan tewas di kawasan Jl. Embong Sawah, Surabaya. Tubuhnya tercabik, baju muslim yang dikenakannya bersimbah darah. Polisi mengabarkan peristiwa duka ini ke rumah orang tuanya di Jl. Randu Barat, Surabaya, dua jam kemudian, pukul 04.30 pagi. Seketika itu, meledak rasa haru bercampur amarah di rumah duka. Terlebih ketika polisi menunjukkan barang bukti berupa dua keping VCD porno dan sepucuk surat cinta dari perempuan bernama Nurhayati yang ditemukannya di saku baju korban. Sontak, keluarga dan santri korban tak percaya melihat barang bukti itu. “Ustad Mujib jelas dijebak. Dia adalah orang yang paling santun di keluarga ini. Agamanya juga yang paling kuat. Jadi tidak mungkin dia membawa VCD porno. Lagi pula mau disetel di mana, di rumah tidak ada VCD Player,” terang Abdul Qadir, kakak kandung korban. Sejumlah santri langsung menyatakan akan menuntut balas kematian gurunya ini jika pelakunya telah diketahui. Namun, H. Abdul Rachman (65), ayah korban, yang juga seorang kiai, berhasil mencegahnya. “Sabar, kita hadapi saja kejadian ini dengan melakukan hal yang benar,” ujarnya. Maksudnya adalah menyerahkan sepenuhnya kasus kematian putranya kepada aparat hukum. “Biarlah pelakunya diganjar sesuai dengan hukum yang berlaku,” tuturnya. Pun ketika esok paginya (28/6) sejumlah media (cetak dan televisi) serempak memberitakan miring tentang kematian putranya ini, Abah masih tetap bersabar. Diberitakan, Ustad Mujib dibunuh karena menyelengkuhi santriwatinya, bernama Nurhayati, yang suaminya juga santrinya sendiri. “Tidak benar itu. Dari mana mereka (para wartawan) mendapat berita ini?,” demikian Abah sambil menahan amarah. Dari polisi, tentu saja. Sejumlah wartawan (media cetak dan elektronik) yang menulis tentang kasus pembunuhan ini kepada Sapujagat mengaku memperoleh seluruh informasi yang kemudian ditulisnya ini dari aparat yang menangani kasus ini, yaitu Markas Kepolisian Resort Kota (Mapolresta) Surabaya Timur. Selain itu, para wartawan tersebut mengaku tidak pernah mewawancarai keluarga korban. Sementara, polisi langsung memburu suami Nurhayati, yang diduga kuat sebagai pembunuhnya, yang saat itu buron. Adapun Abdul Hamid (32), nama suami Nurhayati itu, kemudian ditangkap pada hari Kamis (29/6) di Kecamatan Camplong, Sampang, Madura. Kepada penyidik, dia mengaku telah membunuh Ustad Mujib. Motifnya, kata Hamid, persis seperti yang diberitakan media. Maka, dibuatlah surat dakwaan Hamid berdasarkan pengakuannya itu. Hamid mengaku pernah melihat korban pada suatu malam sedang bercumbu bersama istrinya di kamar rumahnya, Jl. Gembong VIII, Surabaya. “Dia bilang, ini adalah masalah prinsip. Karena itu dia kemudian merencanakan pembunuhan ini,” terang penasehat hukum terdakwa, Yuliana Herianti Ningsih, SH. Keluarga korban menanggapi pengakuan Hamid ini sebagai omong kosong. Pasalnya, bagi orang Madura, apalagi dia seorang jagoan, korak, atau apapun istilahnya yang sepadan dengan itu, jika dia melihat istrinya sedang bercumbu dengan orang lain, maka seketika itulah pasangan selingkuhannya itu langsung dibunuh. Kasus yang menimpa korban Ustad Mujib tidak begitu. Saudari korban, Mufarroh, saat menjadi saksi di pengadilan, hari Kamis (30/11), mengisahkan, bahwa adiknya itu, sesaat sebelum terjadi pembunuhan, pada sekitar pukul 02.00 pagi, baru saja pulang ke rumah sehabis beribadah dari Masjid Ampel. Lalu ponsel adiknya berdering, oleh karena ponsel yang digunakan adiknya ini dulunya adalah milik dia, maka Mufarroh yang mengangkatnya. Tapi tak ada suara dari seberang telepon. Beberapa kali ponsel adiknya berdering dan lagi-lagi dia yang menerima dan tak ada suara. “Sampai setelah beberapa kali berdering dan saya angkat lagi, barulah terdengar suara lelaki dari seberang telepon. Tapi tak bicara apa-apa dan setelah itu langsung ditutup lagi,” terangnya. Mufarroh menduga orang yang menelepon adiknya pada dini hari itu adalah Hamid. Dugaan itu diperkuat karena tak lama kemudian ponsel adiknya berdering lagi, tapi langsung diangkat sendiri oleh Ustad Mujib. Terdengar dia sedang berbicara dengan seseorang di ponselnya. “Setelah itu dia pamit ke saya mau pergi lagi. Dia bilang mau ke rumah Hamid, dan setelah itu, beberapa jam kemudian, Mujib dikabarkan telah meninggal,” kata Mufarroh. Sidang Pengadilan tentang kasus ini telah berlangsung sejak 19 Oktober lalu dan masih terus berlangsung hingga sekarang setiap hari Kamis. Dipimpin oleh Hakim Ketua, Hari Sukanti, SH, dengan Hakim Anggota Amir Madi, SH dan Bambang Sasmito, SH. Jaksa Penuntut Umumnya Setiawan Budi, SH. Sedangkan terdakwa didampingi oleh Penasehat Hukum, Yuliana Herianti Ningsih, SH. Dugaan Motif Lain Namun, sejauh ini, sidangnya berlangsung seperti dagelan. Seperti, misalnya, sampai sidang yang kesepuluh, hari Kamis lalu (14/12), tak ada saksi yang hadir di pengadilan, selain saksi dari pihak keluarga korban, Mufarroh dan Abdul Hafid, yang diundang dan datang pada dua pekan sebelumnya ((28/11). Jaksa Penuntut Umum, Setiawan Budi, berdalih saksi-saksi yang berusaha didatangkannya, yaitu Zainab dan Abdul Muis, keduanya warga Gembong Sawah, kini telah pindah rumah. Dia mengaku tidak tahu di mana rumahnya yang baru sehingga, menurut dia, susah dicari untuk didadatangkan ke pengadilan. Dagelan lainnya adalah soal barang-barang bukti yang tak pernah dibawa ke pengadilan. Padahal, khususnya soal barang bukti berupa dua keping VCD porno, pihak keluarga ingin tahu, apakah benar itu milik korban, serta sepucuk surat yang ditandatangani oleh perempuan bernama Nurhayati. Khususnya soal surat cinta ini masih menyisakan tanda tanya, apa benar itu ditulis oleh Nurhayati. Semua itu bisa dijawab salah satunya dengan mencocokkan sidik jari yang melekat di barang-barang bukti tersebut. Atau memanggil perempuan bernama Nurhayati, yang tak lain adalah suami terdakwa, Hamid, untuk didengar kesaksiannya. Menurut keluarga korban, keberadaan barang-barang bukti berupa VCD dan sepucuk surat itu, terlebih tentang siapa pemiliknya, sangat penting, utamanya untuk mengungkap motif yang sesungguhnya dari pembunuhan ini. Pihak keluarga korban meyakini, terdakwa Hamid hanyalah seorang eksekutor belaka yang membunuh Ustad Mujib. Dibalik itu, pihak keluarga korban menduga ada motif yang berupaya menghancurkan nama baik dinasti keluarga Abah. Kepada Sapujagat, Abah mengaku, saat disidik polisi dulu dia pernah berasumsi bahwa otak di balik pembunuhan yang dilakukan oleh Hamid ini bisa jadi seorang perempuan bernama Hj. Kodduk, warga Sidokapasan, Surabaya, yang masih ada hubungan famili dengan terdakwa Hamid. Abah mengisahkan, pada bulan Maulud (atau April) lalu, Hj. Kodduk pernah berniat menjodohkan putrinya, Fitria, dengan Abdul Mujib. Adapun, Hamid dan istrinya, Nurhayati, diberi peran sebagai pihak perantara yang memperkenalkan Fitria kepada Mujib pada bulan Maulud (atau April) lalu. Skenario itu berjalan mulus. Mujib kemudian beberapa kali sempat terlihat jalan berduaan dengan Fitria. Melihat hubungan kedua insan yang tampak mesra itu, Hj. Kodduk kemudian meminta keluarga Abah untuk melamar putrinya itu. Namun, ketika Abah mengkonfirmasikan tentang rencana lamaran ini kepada Mujib, dia mengaku belum srek dengan Fitria. Salah satu pertimbangan Mujib ketika itu, Fitria masih bersekolah. Mujib pun minta waktu, salah satunya dia masih ingin meminta petunjuk Allah dengan sholat istikhoroh. Sementara waktu berlalu dan Hj. Kodduk terus mendesak keluarga Abah untuk melamar putrinya. “Anak saya (Fitria) jangan dibuat main-main loh,” demikian Hj. Kodduk suatu ketika kepada Abah. “Mungkin karena kami tak kunjung melamar Fitria itu barangkali kemudian Hj.Kodduk merasa malu ke tetangga-tetangganya, terlebih anaknya sudah perawan (istilah bagi orang Madura untuk perempuan yang usianya sudah dirasa pantas untuk menikah, red). Bisa jadi karena itu kemudian dia punya niatan untuk mempermalukan keluarga kami,” kata Abah. Belakangan diketahui pula bahwa Hamid ternyata punya hutang sebesar Rp. 3 juta kepada Hj. Kodduk untuk keperluan membeli rumah di kawasan Gembong Sawah. Sementara sumber Sapujagat lainnya mengatakan bahwa Hj. Kodduk memerintahkan Hamid untuk menghabisi Mujib, yang juga termasuk guru ngajinya itu, dengan kompensasi hutang Rp. 3 jutanya itu lunas. Maka, ketika Hamid tertangkap polisi, mengakulah dia kepada penyidik telah membunuh Mujib dengan alasan telah menyelingkuhi istrinya. Penasehat Hukum terdakwa, Yuliana Herianti Ningsih, dikonfirmasi tentang dugaan motif yang satu ini, mengaku sudah tahu dan sudah menanyakan kepada kliennya. “Namun klien saya tetap bersikeras bahwa pembunuhan yang dilakukannya adalah persoalan prinsip, yaitu perselingkuhan korban terhadap istrinya,” katanya. Sementara Jaksa Penuntut Umum, Setiawan Budi, mengatakan bahwa motif yang diceritakan oleh Abah kepada Sapujagat ini hanyalah asumsi. “Sedangkan motif yang tertulis di Surat Dakwaan (yaitu tentang perselingkuhan korban dengan terdakwa) ini adalah fakta seperti yang dikatakan terdakwa kepada penyidik,” terangnya. Atas kenyataan ini, tentang berita di media yang telah mempermalukan pihak keluarga korban di awal-awal terjadinya pembunuhan, juga surat dakwaan yang ternyata isinya juga sama dengan yang diberitakan media, termasuk jalannya sidang yang terus ditunda-tunda dan tanpa saksi, maka tak berlebihan jika kemudian pihak keluarga korban menduga bahwa seluruh aparat hukum telah menerima suap dari keluarga terdakwa. “Keluarga kami telah berupaya untuk tidak membalas pembunuhan yang menimpa Mujib dengan pembunuhan pula. Selama ini saya meyakini hukum bisa memberi keadilan kepada keluarga kami. Dan kami telah berupaya menghormati hukum yang berlaku di negara ini. Tapi yang namanya kesabaran ini ternyata ada batasnya. Terus terang, sejauh ini kami kecewa dengan aparat hukum yang menangani kasus yang menimpa anak kami,” kata Abah kepada Sapujagat, seusai mengetahui bahwa sidangnya lagi-lagi ditunda, Kamis lalu (14/12). Apapun, keluarga korban masih berharap, sebelum hakim memutuskan dakwaan kepada Hamid, pengadilan harus membuktikan tentang kepemilikan VCD porno serta sepucuk surat yang ditandatangani oleh Nurhayati itu! (nif)

Barang Bukti Penting Raib di Kejaksaan

Kejanggalan demi kejanggalan kian tampak dalam lanjutan proses persidangan kasus pembunuhan Abdul Mujib, seorang ustad asal Madura yang tinggal di Kampung Randu, Surabaya. Pertengahan Januari lalu (11/1), Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ika Mauludina, SH, menuntut terdakwa pelaku pembunuhan itu, Abdul Hamid, yang juga orang Madura dan masih tercatat sebagai santri korban, dengan hukuman selama-lamanya 12 tahun penjara. Pihak keluarga korban mengaku kecewa dengan tuntutan yang diajukan JPU itu. “Tuntutan 12 tahun itu terlalu ringan bagi seorang terdakwa kasus pembunuhan berencana,” ujar Abdul Qadir, kakak kandung korban. “Jalannya proses pengadilan tentang kasus ini sendiri sejak awal memang penuh kejanggalan yang sangat merugikan bagi keluarga kami,” tambah Qadir. Bahkan kemunculan JPU Ika Mauludina itu sendiri mewarnai berbagai kejanggalan dalam proses hukum kasus ini. Dikisahkan Qadir, awalnya yang mewakili korban dalam persidangan kasus ini di Pengadilan Negeri Surabaya, yang telah berlangsung sejak 19 Oktober 2006 lalu, adalah JPU Setiawan Budi, SH. Adapun selama proses sidang yang diwakilinya ini dia tak mampu mendatangkan seorang saksi pun seperti yang tercantum di BAP – kecuali dua saksi dari pihak keluarga korban, Mufarroha dan Abdul Hafid, yang datang ke persidangan pada pekan kesembilan, 28 November lalu, karena memang berkepentingan sebab kasus ini menyangkut kematian saudara kandungnya. JPU Setiawan Budi juga tak pernah membawa barang bukti ke pengadilan selama dia menangani kasus ini di persidangan. Saat dua saksi dari pihak keluraga korban tersebut memberi kesaksian di pengadilan dan menyebut satu persatu barang bukti yang mereka lihat saat disidik di kepolisian dan menyebut ada celurit, tiga buah sandal, dua keping VCD Porno serta sepucuk surat cinta dari seorang perempuan bernama Nurhayati, sebenarnya Ketua Majelis Hakim, Hari Sukanti, SH, sempat menanyakan keberadaan barang-barang bukti tersebut kepada JPU. Dijawab Setiawan barang-barang bukti tersebut ada di kantornya dan akan dibawa pada lanjutan sidang ini pada pekan berikutnya. Namun belum sempat dia menunjukkan barang-barang bukti yang dijanjikannya itu untuk ditunjukkan di pengadilan, tiba-tiba dia menghilang. Itu terjadi pada pekan ke-11 persidangan kasus ini. JPU yang hadir di persidangan pada hari itu untuk mewakili korban bukan lagi Setiawan Budi, melainkan seorang perempuan bernama Ika Mauludina, SH. JPU pengganti ini juga tidak membawa barang-barang bukti yang pernah diminta Ketua Majelas Hakim pada persidangan sebelumnya itu. Celakanya, Majelis Hakim pun hanya diam saja, tidak pernah meminta lagi barang-barang bukti yang sempat ditanyakannya itu kepada JPU yang baru. Sementara itu, pihak keluarga korban mengaku tidak diberitahu dan sempat dipusingkan tentang pergantian JPU ini. Pasalnya, di hari kemunculan perdana JPU Ika Mauludina dalam menangani kasus ini, ada dua saksi yang dihadirkan oleh pengacara terdakwa, Yuliana Herianti Ningsih, SH, di mana salah satunya adalah Nurhayati, seorang perempuan yang disebut oleh dua saksi pada sidang sebelumnya telah menulis sepucuk surat cinta kepada korban seperti yang dilihatnya saat disidik polisi dulu. Namun JPU Ika Mauludina hanya duduk manis pada proses persidangan di hari itu. Dia hanya menggelengkan kepalanya saat Majelis Hakim memberikan kesempatan padanya untuk bertanya kepada saksi tersebut. Dengan begitu hilanglah kesempatan untuk mencocokkan apakah benar barang bukti berupa surat cinta itu ditulis oleh Nurhayati yang pada hari itu datang ke pengadilan. Seusai sidang, kepada wartawan Sapujagat, JPU Ika Mauludina mengaku tidak tahu menahu tentang adanya barang bukti berupa sepucuk surat cinta itu dan karena itu dia tidak mengungkit perihal barang bukti yang satu ini serta memilih diam – tidak melontarkan satu pertanyaan pun kepada semua saksi yang datang di hari itu. Ditanya tentang kemunculannya menggantikan JPU Setiawan Budi, dia mengaku telah diutus langsung oleh atasannya di Kejaksaan Negeri Surabaya. Sementara itu, dari Kantor Kejaksaan Negeri Surabaya diperoleh konfirmasi bahwa Setiawan Budi telah naik jabatannya menjadi Kasi Pidsus di Kejaksaan Negeri Tanjung Perak dan karena itu posisinya dalam menangani kasus ini digantikan oleh Ika Mauludina. “Sebenarnya JPU dalam kasus ini masih tetap dipegang Setiawan Budi. Hanya, karena kesibukannya yang meningkat di tempat kerja barunya maka terpaksa harus diwakilkan oleh jaksa lainnya. Tapi yang mengendalikan tetap Setiawan Budi. Sebenarnya dalam kasus apapun, ditangani oleh jaksa siapapun, sama saja kok, tidak ada masalah,” terang Kaur Tata Usaha Kejaksaan Negeri Surabaya, Drs. H. M. Ikbal Nurullah, mewakili Kajari, I Ketut Arthana, SH, menginformasikan kepada Sapujagat. Setiawan Budi saat dikonfirmasi membenarkan dirinya saat ini sedang dipindahtugaskan dan naik jabatannya menjadi Kasi Pidsus di Kejaksaan Negeri Tanjung Perak. Dia juga mengaku masih memegang kendali sebagai JPU dalam kasus pembunuhan Ustad Abdul Mujib ini. “Bu Ika itu hanya pelaksana saja, yang pegang kendali kasus ini tetap saya,” ujarnya. Namun ketika ditanya tentang barang-barang bukti yang tidak pernah dipertunjukkan di pengadilan, khususnya yang berupa sepucuk surat cinta dari Nurhayati itu tadi serta dua keping VCD Porno, dia mengaku tidak memegang barang-barang bukti tersebut. Lalu kenapa kepada Majelis Hakim dulu dia pernah bilang ada? “Yang ada di saya itu barang bukti berupa celurit serta tiga buah sandal. Sedangkan VCD Porno dan surat cinta seperti yang anda tanyakan itu sejak dari penyidik polisi memang tidak pernah saya terima,” terangnya. Padahal, seperti pernah ramai diberitakan oleh seluruh surat kabar yang terbit di Surabaya pada akhir Juni tahun lalu (28/6), polisi dalam olah TKP menemukan dua keping VCD Porno serta sepucuk surat cinta dari perempuan bernama Nurhayati di saku jaket korban, selain sejumlah barang bukti lainnya. Bahkan dari dua barang bukti itu polisi langsung menyimpulkan bahwa motif pembunuhan seorang ustad ini adalah karena perselingkuhan. Karena itu pula polisi langsung menetapkan suami dari perempuan yang bernama Nurhayati itu sebagai tersangka dan dinyatakan buron. Abdul Hamid, nama suami Nurhayati itu, yang kini menjadi terdakwa di persidangan dalam kasus ini, akhirnya tertangkap di Kecamatan Camplong, Sampang, selang tiga hari (29/6) setelah terjadinya pembunuhan itu. Tentang fakta bahwa VCD porno dan Surat Cinta ini pernah ada di penyidik polisi dengan bukti bahwa pers pernah memberitakannya, Setiawan tetap pada pendiriannya bahwa barang bukti yang ditanyakan wartawan sapujagat itu tidak pernah ada sejak dalam masa penyidikan polisi. Setiawan malah berani berkilah bahwa seluruh wartawan yang memberitakan kejadian itu saja yang bisa jadi keliru dalam memberitakan kasus ini. “Wartawan itu memang sering ngawur dalam memberitakan sesuatu,” katanya. Sementara itu, sejumlah wartawan harian cetak dan TV yang meliput kejadian ini pada enam bulan yang lalu mengaku dirinya tidak ngawur dalam memberitakan kejadian tersebut. Mereka mengaku melihat dengan mata dan kepalanya sendiri keberadaan barang bukti VCD Porno dan Surat Cinta itu saat ditunjukkan polisi kepada pers. Bagi pihak keluarga korban, keberadaan barang bukti berupa dua keping VCD Porno dan Surat Cinta itu sangatlah penting. Pasalnya, sejak awal pihak keluarga korban tidak percaya dengan motif perselingkuhan seperti yang disimpulkan polisi itu. Pembuktian kepemilikan barang-barang bukti tersebut dinilai penting bagi keluarga korban sebab pemberitaan pers menyangkut barang-barang bukti tersebut telah menghancurkan nama baik pihak keluarga korban. Seperti pernah diberitakan Sapujagat (No. 93, Tahun VII, 16 – 31 Desember 2006), H. Abdul Rachman, ayah korban, sebenarnya telah menduga ada motif lain yang berupaya menghancurkan nama baik keluarganya di balik pembunuhan ini. “Hamid memang pembunuh anak saya. Tapi ada orang lain yang menyuruh dia melakukan itu sebagai otaknya dengan tujuan untuk mempermalukan keluarga kami. Dengan kata lain, Hamid hanyalah eksekutor belaka,” ujar pria yang akrab disapa Abah oleh anak-anaknya maupun santrinya ini. Pun saat disidik polisi dulu, dia pernah berasumsi bahwa otak di balik pembunuhan yang dilakukan oleh Hamid ini bisa jadi adalah H. Sulaiman, warga Sidokapasan, Surabaya. Adapun Hamid masih ada hubungan famili dengan Hj. Kodduk, istri H. Sulaiman. Abah mengisahkan, pada bulan Maulud (April 2006) lalu, H. Sulaiman pernah berniat menjodohkan putrinya, Fitria, dengan Abdul Mujib. Lalu, Hamid dan istrinya, Nurhayati, diberi peran sebagai pihak perantara yang memperkenalkan Fitria kepada Mujib. Skenario itu berjalan mulus. Mujib kemudian beberapa kali sempat terlihat jalan berduaan dengan Fitria. Melihat hubungan kedua insan yang tampak mesra itu, H. Sulaiman kemudian meminta keluarga Abah untuk melamar putrinya. Namun, ketika Abah mengkonfirmasikan tentang rencana lamaran ini kepada Mujib, dia mengaku belum srek dengan Fitria. Salah satu pertimbangan Mujib ketika itu, Fitria masih bersekolah. Mujib pun minta waktu, salah satunya dia masih ingin meminta petunjuk Allah dengan sholat istikhoroh. Sementara waktu berlalu, H. Sulaiman terus mendesak keluarga Abah untuk melamar putrinya. “Anak saya (Fitria) jangan dibuat main-main!,” demikian Abah mengutip perkataan H. Sulaiman. “Mungkin karena kami tak kunjung melamar Fitria itu barangkali kemudian H. Sulaiman merasa malu ke tetangga-tetangganya, terlebih anaknya sudah perawan (istilah bagi orang Madura untuk perempuan yang usianya sudah dirasa pantas untuk menikah, red). Bisa jadi karena itu kemudian dia punya niatan untuk mempermalukan keluarga kami,” kata Abah. Belakangan diketahui pula bahwa Hamid ternyata punya hutang sebesar Rp. 3 juta kepada H. Sulaiman untuk keperluan membeli rumah di kawasan Gembong Sawah. Sementara sumber Sapujagat lainnya mengatakan bahwa H. Sulaiman memerintahkan Hamid untuk menghabisi Mujib, yang juga termasuk guru ngajinya itu, dengan kompensasi hutang Rp. 3 jutanya itu lunas. Maka, ketika Hamid tertangkap polisi, mengakulah dia kepada penyidik telah membunuh Mujib dengan alasan telah menyelingkuhi istrinya. Dengan ditemukannya barang bukti berupa dua keping VCD Porno dan surat cinta dari Nurhayati di saku jaket korban saat olah TKP itu maka polisi mengesampingkan asumsi yang disampaikan Abah tadi dan memperkuat kesimpulan yang kemudian dituangkan ke dalam berkas dakwaan bahwa motif pembunuhan yang dilakukan Hamid ini adalah cemburu. Sayangnya dua barang bukti penting ini kini dinyatakan hilang di kejaksaan. Pertengahan Januari lalu (11/1), JPU Ika Mauludina menuntut terdakwa, Abdul Hamid, dengan hukuman selama-lamanya 12 tahun penjara. Pihak keluarga korban sebenarnya tidak rela tuntutan itu dibacakan sebelum barang bukti berupa dua keping VCD dan surat cinta itu dibuktikan kepemilikannya di pengadilan. Namun apa boleh buat, barang bukti tersebut telah dinyatakan hilang. Dalam sidang lanjutan kasus ini hari Kamis pekan lalu (18/1), pihak terdakwa telah membacakan pembelaannya. Rencananya pada akhir pekan ini Majelis Hakim akan menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa. Pihak keluarga korban yang sangat mengharapkan mendapat keadilan dari proses persidangan ini pun tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak tahu mau melayangkan protes atas jalannya proses hukum yang dinilainya sangat miring ini kepada siapa lagi. (nif)

Tuntutan 12 Tahun Terlalu Ringan

Ketegangan mewarnai lanjutan proses pengadilan kasus pembunuhan Abdul Mujib (30), seorang ustad asal Kampung Randu, Surabaya, pada pekan ke-14 sidang, yang merupakan sidang pertama kasus ini di awal tahun 2007, Kamis (11/1). Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ika Mauludina, SH, menuntut terdakwa kasus pembunuhan itu, Abdul Hamid (32), dengan hukuman selama-lamanya 12 tahun penjara. Sontak keluarga korban tidak terima. Ruang Soebekti, tempat sidang di Pengadilan Negeri Surabaya ketika tuntutan itu dibacakan, langsung ricuh. Abdul Halim, adik korban, menanggapi tuntutan hukuman yang dianggapnya terlalu ringan itu dengan menggertak terdakwa dengan sebuah gerakan reflek seperti akan memukul ketika terdakwa sedang berjalan tepat di hadapannya saat meninggalkan ruang sidang menuju ruang tahanan. Hamid menanggapi gerakan reflek Halim itu dengan memasang kuda-kuda untuk melawan pula. Bahkan Hamid sempat memperagakan salah satu jurus pencak silatnya tepat di pintu keluar Ruang Sidang Soebekti. Reaksi Hamid ini memicu sejumlah keluarga korban lainnya yang juga hadir di persidangan pada hari itu untuk mengeroyoknya beramai-ramai. Mujur petugas cepat melerainya. Hamid segera digiring ke ruang tahanan pengadilan yang jaraknya hanya beberapa langkah saja dari tempat sidang sebelum mendapat rentetan bogem mentah dari keluarga korban. Namun situasi panas belum berhenti di situ. Pihak keluarga korban ganti mengeroyok Jaksa Penuntut Umum, Ika Mauludina. Beruntung dia tidak dianiaya secara fisik. Keluarga korban hanya beramai-ramai mendampratnya. “Tuntutan 12 tahun itu terlalu ringan. Tahu begitu, saya bunuh sendiri saja pelaku pembunuhan kakak saya itu,” teriak Halim di hadapan Ika. “Juga sejumlah barang bukti berupa dua keeping VCD porno beserta surat cinta dari Nurhayati (istri Hamid, red) itu mana? Kok tidak pernah ditunjukkan di persidangan? Kamu belum membuktikan di persidangan kalau barang-barang bukti itu milik adik saya!,” timpal Abdul Qadir, kakak korban. “Awas kamu, nanti akan saya bunuh juga sekalian,” imbuh Halim lagi. “Loh, kok kamu malah mau membunuh saya…,” demikian Ika dengan ekspresi ketakutan seraya berusaha melepaskan diri dari keroyokan keluarga korban. Insiden itu sendiri akhirnya berakhir setelah ayah korban, H. Abdul Rachman, yang juga seorang kiai, berhasil meredakan emosi anak-anaknya, serta mengajaknya pulang. “Insiden itu dipicu oleh sikap Hamid saat berjalan meninggalkan ruang sidang. Dia memasang wajah tak ramah saat lewat di depan keluarga kami. Kira-kira dari ekspresi wajahnya itu dia berupaya menyampaikan pesan bahwa ini loh aku telah membunuh keluargamu dan hanya dituntut hukuman 12 tahun,” terang Abdul Qadir kepada wartawan Sapujagat tentang asal mula kejadian itu. Ditambahkan Qadir, yang membuat emosi pihak keluarganya memuncak sehingga insiden di ruang sidang itu akhirnya tak terkendali karena tuntutan 12 tahun, seperti yang telah dibacakan jaksa, memang dirasanya terlalu ringan. “Sebelumnya kami sangat berharap Jaksa menuntut terdakwa dengan hukuman seberat-beratnya, yaitu hukuman mati/ seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun penjara (pasal 340 KUHP). Atau kami berharap paling ringan terdakwa dihukum 15 tahun penjara (pasal 338). Pasal-pasal yang kami harapkan itu seperti yang tercantum dalam berkas dakwaan,” ujarnya. Jaksa, Ika Mauludina, menolak memberikan berkas tuntutan yang baru saja dibacakannya dan membikin pihak keluarga emosi itu untuk difotokopi wartawan Sapujagat. Demikian pula pengacara terdakwa, Yuliana Herianti Ningsih, SH, serta Ketua Majelis Hakim, Heri Sukanti, SH, juga tidak bersedia menunjukkan isi dari berkas tuntutan yang bikin heboh pada persidangan di hari itu. “Berkas tuntutan itu untuk didengarkan (dan hanya dibacakan oleh Jaksa). Tidak boleh difotokopi (untuk wartawan sekalipun),” tegas Hari Sukanti. Masalahnya, dalam persidangan yang berlangsung sekitar pukul 13.00 pada Kamis (11/1) itu, Jaksa, Ika Mauludina, membacakan berkas tersebut tanpa power – seolah belum sarapan pagi – sehingga nyaris tak terdengar. Wartawan Sapujagat yang duduk di deretan kursi paling depan dan berjarak kurang dari setengah meter dari tempat dia membacakan berkas tuntutan itu dalam proses persidangan tersebut pun harus menyimak dengan membaca gerakan bibirnya. Sayup-sayup memang terdengar Jaksa menuntut terdakwa dengan hukuman 12 tahun di antaranya dengan mempertimbangkan bahwa terdakwa berkelakuan baik selama proses persidangan. Namun sama sekali tak terdengar tuntutan 12 tahun itu mengacu pada pasal berapa KUHP. Di luar sidang, Ika mengatakan bahwa tuntutan 12 tahun penjara bagi terdakwa itu sesuai dengan KUHP pasal 340, yaitu tentang pembunuhan berencana. Namun, setelah dicek dalam buku KUHP, ternyata isi hukuman pasal 340 itu tidak sama dengan yang dibacakan Ika di pengadilan. Pasal 340 yang sesungguhnya berbunyi bahwa barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum – karena pembunuhan direncanakan (moord) – dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun. Abdul Qadir mengungkapkan bahwa jika terdakwa, Abdul Hamid, hanya dituntut selama-lamanya 12 tahun dari yang semestinya hukuman mati/ seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun berdasarkan pasal 340 karena disebut telah berkelakuan baik, itu sungguh tidak masuk akal. “Buktinya, dalam sidang tanggal 21 Desember 2006, dihadapan hakim dia mencoba berbohong dengan mengaku telah membunuh adik saya sendirian. Padahal jelas-jelas dalam berkas dakwaan maupun BAP dia mengaku membunuh dengan dibantu oleh empat orang temannya yang sampai saat ini masih dinyatakan buron (DPO). Apa yang seperti itu termasuk berkelakuan baik?,” katanya. “Tidak itu saja, pada proses sidang di hari yang sama (21 Desember 2006), kepada hakim, dia bilang, setelah membunuh langsung menyerahkan diri. Padahal, yang benar, dia langsung melarikan diri. Lah wong dia ditangkap di Kecamatan Camplong, Sampang, kok – sedangkan tempat kejadiannya (TKP) di kawasan Gembong, Surabaya. Semua koran memuat itu dan saya masih simpan klipingannya. Di berkas dakwaan dan BAP juga tertulis begitu. Gitu kok dibilang berkelakuan baik,” tandasnya. Kamis pekan lalu (18/1), sidang kasus ini kembali digelar dengan agenda pembacaan pembelaan terdakwa. Hari kamis pekan ini rencananya pengadilan akan memutuskan hukuman bagi terdakwa. “Tuntutan 12 tahun itu terlalu ringan,” kata Qadir lagi dengan penuh harap masih ada keajaiban yang bisa merubahnya. Namun apa daya, pembacaan tuntutan sudah kadung dibacakan dan tinggal menunggu ketok palu. Dia mengaku kecewa terhadap JPU yang mewakilinya di pengadilan. Sebelumnya dia dan pihak keluarganya begitu yakin pengadilan bisa memberi hukuman yang setimpal bagi pelaku pembunuhan adiknya itu. Karena itu dia tidak membalas pembunuhan yang menimpa adiknya itu dengan pembunuhan pula. Sekarang dia tak tahu lagi kemana harus mencari payung hukum untuk mendapat pembelaan hukum yang seadiladilnya bagi pembunuhan yang menimpa anggota keluarganya ini. (nif)