Saturday, January 27, 2007

Tuntutan 12 Tahun Terlalu Ringan

Ketegangan mewarnai lanjutan proses pengadilan kasus pembunuhan Abdul Mujib (30), seorang ustad asal Kampung Randu, Surabaya, pada pekan ke-14 sidang, yang merupakan sidang pertama kasus ini di awal tahun 2007, Kamis (11/1). Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ika Mauludina, SH, menuntut terdakwa kasus pembunuhan itu, Abdul Hamid (32), dengan hukuman selama-lamanya 12 tahun penjara. Sontak keluarga korban tidak terima. Ruang Soebekti, tempat sidang di Pengadilan Negeri Surabaya ketika tuntutan itu dibacakan, langsung ricuh. Abdul Halim, adik korban, menanggapi tuntutan hukuman yang dianggapnya terlalu ringan itu dengan menggertak terdakwa dengan sebuah gerakan reflek seperti akan memukul ketika terdakwa sedang berjalan tepat di hadapannya saat meninggalkan ruang sidang menuju ruang tahanan. Hamid menanggapi gerakan reflek Halim itu dengan memasang kuda-kuda untuk melawan pula. Bahkan Hamid sempat memperagakan salah satu jurus pencak silatnya tepat di pintu keluar Ruang Sidang Soebekti. Reaksi Hamid ini memicu sejumlah keluarga korban lainnya yang juga hadir di persidangan pada hari itu untuk mengeroyoknya beramai-ramai. Mujur petugas cepat melerainya. Hamid segera digiring ke ruang tahanan pengadilan yang jaraknya hanya beberapa langkah saja dari tempat sidang sebelum mendapat rentetan bogem mentah dari keluarga korban. Namun situasi panas belum berhenti di situ. Pihak keluarga korban ganti mengeroyok Jaksa Penuntut Umum, Ika Mauludina. Beruntung dia tidak dianiaya secara fisik. Keluarga korban hanya beramai-ramai mendampratnya. “Tuntutan 12 tahun itu terlalu ringan. Tahu begitu, saya bunuh sendiri saja pelaku pembunuhan kakak saya itu,” teriak Halim di hadapan Ika. “Juga sejumlah barang bukti berupa dua keeping VCD porno beserta surat cinta dari Nurhayati (istri Hamid, red) itu mana? Kok tidak pernah ditunjukkan di persidangan? Kamu belum membuktikan di persidangan kalau barang-barang bukti itu milik adik saya!,” timpal Abdul Qadir, kakak korban. “Awas kamu, nanti akan saya bunuh juga sekalian,” imbuh Halim lagi. “Loh, kok kamu malah mau membunuh saya…,” demikian Ika dengan ekspresi ketakutan seraya berusaha melepaskan diri dari keroyokan keluarga korban. Insiden itu sendiri akhirnya berakhir setelah ayah korban, H. Abdul Rachman, yang juga seorang kiai, berhasil meredakan emosi anak-anaknya, serta mengajaknya pulang. “Insiden itu dipicu oleh sikap Hamid saat berjalan meninggalkan ruang sidang. Dia memasang wajah tak ramah saat lewat di depan keluarga kami. Kira-kira dari ekspresi wajahnya itu dia berupaya menyampaikan pesan bahwa ini loh aku telah membunuh keluargamu dan hanya dituntut hukuman 12 tahun,” terang Abdul Qadir kepada wartawan Sapujagat tentang asal mula kejadian itu. Ditambahkan Qadir, yang membuat emosi pihak keluarganya memuncak sehingga insiden di ruang sidang itu akhirnya tak terkendali karena tuntutan 12 tahun, seperti yang telah dibacakan jaksa, memang dirasanya terlalu ringan. “Sebelumnya kami sangat berharap Jaksa menuntut terdakwa dengan hukuman seberat-beratnya, yaitu hukuman mati/ seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun penjara (pasal 340 KUHP). Atau kami berharap paling ringan terdakwa dihukum 15 tahun penjara (pasal 338). Pasal-pasal yang kami harapkan itu seperti yang tercantum dalam berkas dakwaan,” ujarnya. Jaksa, Ika Mauludina, menolak memberikan berkas tuntutan yang baru saja dibacakannya dan membikin pihak keluarga emosi itu untuk difotokopi wartawan Sapujagat. Demikian pula pengacara terdakwa, Yuliana Herianti Ningsih, SH, serta Ketua Majelis Hakim, Heri Sukanti, SH, juga tidak bersedia menunjukkan isi dari berkas tuntutan yang bikin heboh pada persidangan di hari itu. “Berkas tuntutan itu untuk didengarkan (dan hanya dibacakan oleh Jaksa). Tidak boleh difotokopi (untuk wartawan sekalipun),” tegas Hari Sukanti. Masalahnya, dalam persidangan yang berlangsung sekitar pukul 13.00 pada Kamis (11/1) itu, Jaksa, Ika Mauludina, membacakan berkas tersebut tanpa power – seolah belum sarapan pagi – sehingga nyaris tak terdengar. Wartawan Sapujagat yang duduk di deretan kursi paling depan dan berjarak kurang dari setengah meter dari tempat dia membacakan berkas tuntutan itu dalam proses persidangan tersebut pun harus menyimak dengan membaca gerakan bibirnya. Sayup-sayup memang terdengar Jaksa menuntut terdakwa dengan hukuman 12 tahun di antaranya dengan mempertimbangkan bahwa terdakwa berkelakuan baik selama proses persidangan. Namun sama sekali tak terdengar tuntutan 12 tahun itu mengacu pada pasal berapa KUHP. Di luar sidang, Ika mengatakan bahwa tuntutan 12 tahun penjara bagi terdakwa itu sesuai dengan KUHP pasal 340, yaitu tentang pembunuhan berencana. Namun, setelah dicek dalam buku KUHP, ternyata isi hukuman pasal 340 itu tidak sama dengan yang dibacakan Ika di pengadilan. Pasal 340 yang sesungguhnya berbunyi bahwa barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum – karena pembunuhan direncanakan (moord) – dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun. Abdul Qadir mengungkapkan bahwa jika terdakwa, Abdul Hamid, hanya dituntut selama-lamanya 12 tahun dari yang semestinya hukuman mati/ seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun berdasarkan pasal 340 karena disebut telah berkelakuan baik, itu sungguh tidak masuk akal. “Buktinya, dalam sidang tanggal 21 Desember 2006, dihadapan hakim dia mencoba berbohong dengan mengaku telah membunuh adik saya sendirian. Padahal jelas-jelas dalam berkas dakwaan maupun BAP dia mengaku membunuh dengan dibantu oleh empat orang temannya yang sampai saat ini masih dinyatakan buron (DPO). Apa yang seperti itu termasuk berkelakuan baik?,” katanya. “Tidak itu saja, pada proses sidang di hari yang sama (21 Desember 2006), kepada hakim, dia bilang, setelah membunuh langsung menyerahkan diri. Padahal, yang benar, dia langsung melarikan diri. Lah wong dia ditangkap di Kecamatan Camplong, Sampang, kok – sedangkan tempat kejadiannya (TKP) di kawasan Gembong, Surabaya. Semua koran memuat itu dan saya masih simpan klipingannya. Di berkas dakwaan dan BAP juga tertulis begitu. Gitu kok dibilang berkelakuan baik,” tandasnya. Kamis pekan lalu (18/1), sidang kasus ini kembali digelar dengan agenda pembacaan pembelaan terdakwa. Hari kamis pekan ini rencananya pengadilan akan memutuskan hukuman bagi terdakwa. “Tuntutan 12 tahun itu terlalu ringan,” kata Qadir lagi dengan penuh harap masih ada keajaiban yang bisa merubahnya. Namun apa daya, pembacaan tuntutan sudah kadung dibacakan dan tinggal menunggu ketok palu. Dia mengaku kecewa terhadap JPU yang mewakilinya di pengadilan. Sebelumnya dia dan pihak keluarganya begitu yakin pengadilan bisa memberi hukuman yang setimpal bagi pelaku pembunuhan adiknya itu. Karena itu dia tidak membalas pembunuhan yang menimpa adiknya itu dengan pembunuhan pula. Sekarang dia tak tahu lagi kemana harus mencari payung hukum untuk mendapat pembelaan hukum yang seadiladilnya bagi pembunuhan yang menimpa anggota keluarganya ini. (nif)

No comments: