Saturday, January 27, 2007

Barang Bukti Penting Raib di Kejaksaan

Kejanggalan demi kejanggalan kian tampak dalam lanjutan proses persidangan kasus pembunuhan Abdul Mujib, seorang ustad asal Madura yang tinggal di Kampung Randu, Surabaya. Pertengahan Januari lalu (11/1), Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ika Mauludina, SH, menuntut terdakwa pelaku pembunuhan itu, Abdul Hamid, yang juga orang Madura dan masih tercatat sebagai santri korban, dengan hukuman selama-lamanya 12 tahun penjara. Pihak keluarga korban mengaku kecewa dengan tuntutan yang diajukan JPU itu. “Tuntutan 12 tahun itu terlalu ringan bagi seorang terdakwa kasus pembunuhan berencana,” ujar Abdul Qadir, kakak kandung korban. “Jalannya proses pengadilan tentang kasus ini sendiri sejak awal memang penuh kejanggalan yang sangat merugikan bagi keluarga kami,” tambah Qadir. Bahkan kemunculan JPU Ika Mauludina itu sendiri mewarnai berbagai kejanggalan dalam proses hukum kasus ini. Dikisahkan Qadir, awalnya yang mewakili korban dalam persidangan kasus ini di Pengadilan Negeri Surabaya, yang telah berlangsung sejak 19 Oktober 2006 lalu, adalah JPU Setiawan Budi, SH. Adapun selama proses sidang yang diwakilinya ini dia tak mampu mendatangkan seorang saksi pun seperti yang tercantum di BAP – kecuali dua saksi dari pihak keluarga korban, Mufarroha dan Abdul Hafid, yang datang ke persidangan pada pekan kesembilan, 28 November lalu, karena memang berkepentingan sebab kasus ini menyangkut kematian saudara kandungnya. JPU Setiawan Budi juga tak pernah membawa barang bukti ke pengadilan selama dia menangani kasus ini di persidangan. Saat dua saksi dari pihak keluraga korban tersebut memberi kesaksian di pengadilan dan menyebut satu persatu barang bukti yang mereka lihat saat disidik di kepolisian dan menyebut ada celurit, tiga buah sandal, dua keping VCD Porno serta sepucuk surat cinta dari seorang perempuan bernama Nurhayati, sebenarnya Ketua Majelis Hakim, Hari Sukanti, SH, sempat menanyakan keberadaan barang-barang bukti tersebut kepada JPU. Dijawab Setiawan barang-barang bukti tersebut ada di kantornya dan akan dibawa pada lanjutan sidang ini pada pekan berikutnya. Namun belum sempat dia menunjukkan barang-barang bukti yang dijanjikannya itu untuk ditunjukkan di pengadilan, tiba-tiba dia menghilang. Itu terjadi pada pekan ke-11 persidangan kasus ini. JPU yang hadir di persidangan pada hari itu untuk mewakili korban bukan lagi Setiawan Budi, melainkan seorang perempuan bernama Ika Mauludina, SH. JPU pengganti ini juga tidak membawa barang-barang bukti yang pernah diminta Ketua Majelas Hakim pada persidangan sebelumnya itu. Celakanya, Majelis Hakim pun hanya diam saja, tidak pernah meminta lagi barang-barang bukti yang sempat ditanyakannya itu kepada JPU yang baru. Sementara itu, pihak keluarga korban mengaku tidak diberitahu dan sempat dipusingkan tentang pergantian JPU ini. Pasalnya, di hari kemunculan perdana JPU Ika Mauludina dalam menangani kasus ini, ada dua saksi yang dihadirkan oleh pengacara terdakwa, Yuliana Herianti Ningsih, SH, di mana salah satunya adalah Nurhayati, seorang perempuan yang disebut oleh dua saksi pada sidang sebelumnya telah menulis sepucuk surat cinta kepada korban seperti yang dilihatnya saat disidik polisi dulu. Namun JPU Ika Mauludina hanya duduk manis pada proses persidangan di hari itu. Dia hanya menggelengkan kepalanya saat Majelis Hakim memberikan kesempatan padanya untuk bertanya kepada saksi tersebut. Dengan begitu hilanglah kesempatan untuk mencocokkan apakah benar barang bukti berupa surat cinta itu ditulis oleh Nurhayati yang pada hari itu datang ke pengadilan. Seusai sidang, kepada wartawan Sapujagat, JPU Ika Mauludina mengaku tidak tahu menahu tentang adanya barang bukti berupa sepucuk surat cinta itu dan karena itu dia tidak mengungkit perihal barang bukti yang satu ini serta memilih diam – tidak melontarkan satu pertanyaan pun kepada semua saksi yang datang di hari itu. Ditanya tentang kemunculannya menggantikan JPU Setiawan Budi, dia mengaku telah diutus langsung oleh atasannya di Kejaksaan Negeri Surabaya. Sementara itu, dari Kantor Kejaksaan Negeri Surabaya diperoleh konfirmasi bahwa Setiawan Budi telah naik jabatannya menjadi Kasi Pidsus di Kejaksaan Negeri Tanjung Perak dan karena itu posisinya dalam menangani kasus ini digantikan oleh Ika Mauludina. “Sebenarnya JPU dalam kasus ini masih tetap dipegang Setiawan Budi. Hanya, karena kesibukannya yang meningkat di tempat kerja barunya maka terpaksa harus diwakilkan oleh jaksa lainnya. Tapi yang mengendalikan tetap Setiawan Budi. Sebenarnya dalam kasus apapun, ditangani oleh jaksa siapapun, sama saja kok, tidak ada masalah,” terang Kaur Tata Usaha Kejaksaan Negeri Surabaya, Drs. H. M. Ikbal Nurullah, mewakili Kajari, I Ketut Arthana, SH, menginformasikan kepada Sapujagat. Setiawan Budi saat dikonfirmasi membenarkan dirinya saat ini sedang dipindahtugaskan dan naik jabatannya menjadi Kasi Pidsus di Kejaksaan Negeri Tanjung Perak. Dia juga mengaku masih memegang kendali sebagai JPU dalam kasus pembunuhan Ustad Abdul Mujib ini. “Bu Ika itu hanya pelaksana saja, yang pegang kendali kasus ini tetap saya,” ujarnya. Namun ketika ditanya tentang barang-barang bukti yang tidak pernah dipertunjukkan di pengadilan, khususnya yang berupa sepucuk surat cinta dari Nurhayati itu tadi serta dua keping VCD Porno, dia mengaku tidak memegang barang-barang bukti tersebut. Lalu kenapa kepada Majelis Hakim dulu dia pernah bilang ada? “Yang ada di saya itu barang bukti berupa celurit serta tiga buah sandal. Sedangkan VCD Porno dan surat cinta seperti yang anda tanyakan itu sejak dari penyidik polisi memang tidak pernah saya terima,” terangnya. Padahal, seperti pernah ramai diberitakan oleh seluruh surat kabar yang terbit di Surabaya pada akhir Juni tahun lalu (28/6), polisi dalam olah TKP menemukan dua keping VCD Porno serta sepucuk surat cinta dari perempuan bernama Nurhayati di saku jaket korban, selain sejumlah barang bukti lainnya. Bahkan dari dua barang bukti itu polisi langsung menyimpulkan bahwa motif pembunuhan seorang ustad ini adalah karena perselingkuhan. Karena itu pula polisi langsung menetapkan suami dari perempuan yang bernama Nurhayati itu sebagai tersangka dan dinyatakan buron. Abdul Hamid, nama suami Nurhayati itu, yang kini menjadi terdakwa di persidangan dalam kasus ini, akhirnya tertangkap di Kecamatan Camplong, Sampang, selang tiga hari (29/6) setelah terjadinya pembunuhan itu. Tentang fakta bahwa VCD porno dan Surat Cinta ini pernah ada di penyidik polisi dengan bukti bahwa pers pernah memberitakannya, Setiawan tetap pada pendiriannya bahwa barang bukti yang ditanyakan wartawan sapujagat itu tidak pernah ada sejak dalam masa penyidikan polisi. Setiawan malah berani berkilah bahwa seluruh wartawan yang memberitakan kejadian itu saja yang bisa jadi keliru dalam memberitakan kasus ini. “Wartawan itu memang sering ngawur dalam memberitakan sesuatu,” katanya. Sementara itu, sejumlah wartawan harian cetak dan TV yang meliput kejadian ini pada enam bulan yang lalu mengaku dirinya tidak ngawur dalam memberitakan kejadian tersebut. Mereka mengaku melihat dengan mata dan kepalanya sendiri keberadaan barang bukti VCD Porno dan Surat Cinta itu saat ditunjukkan polisi kepada pers. Bagi pihak keluarga korban, keberadaan barang bukti berupa dua keping VCD Porno dan Surat Cinta itu sangatlah penting. Pasalnya, sejak awal pihak keluarga korban tidak percaya dengan motif perselingkuhan seperti yang disimpulkan polisi itu. Pembuktian kepemilikan barang-barang bukti tersebut dinilai penting bagi keluarga korban sebab pemberitaan pers menyangkut barang-barang bukti tersebut telah menghancurkan nama baik pihak keluarga korban. Seperti pernah diberitakan Sapujagat (No. 93, Tahun VII, 16 – 31 Desember 2006), H. Abdul Rachman, ayah korban, sebenarnya telah menduga ada motif lain yang berupaya menghancurkan nama baik keluarganya di balik pembunuhan ini. “Hamid memang pembunuh anak saya. Tapi ada orang lain yang menyuruh dia melakukan itu sebagai otaknya dengan tujuan untuk mempermalukan keluarga kami. Dengan kata lain, Hamid hanyalah eksekutor belaka,” ujar pria yang akrab disapa Abah oleh anak-anaknya maupun santrinya ini. Pun saat disidik polisi dulu, dia pernah berasumsi bahwa otak di balik pembunuhan yang dilakukan oleh Hamid ini bisa jadi adalah H. Sulaiman, warga Sidokapasan, Surabaya. Adapun Hamid masih ada hubungan famili dengan Hj. Kodduk, istri H. Sulaiman. Abah mengisahkan, pada bulan Maulud (April 2006) lalu, H. Sulaiman pernah berniat menjodohkan putrinya, Fitria, dengan Abdul Mujib. Lalu, Hamid dan istrinya, Nurhayati, diberi peran sebagai pihak perantara yang memperkenalkan Fitria kepada Mujib. Skenario itu berjalan mulus. Mujib kemudian beberapa kali sempat terlihat jalan berduaan dengan Fitria. Melihat hubungan kedua insan yang tampak mesra itu, H. Sulaiman kemudian meminta keluarga Abah untuk melamar putrinya. Namun, ketika Abah mengkonfirmasikan tentang rencana lamaran ini kepada Mujib, dia mengaku belum srek dengan Fitria. Salah satu pertimbangan Mujib ketika itu, Fitria masih bersekolah. Mujib pun minta waktu, salah satunya dia masih ingin meminta petunjuk Allah dengan sholat istikhoroh. Sementara waktu berlalu, H. Sulaiman terus mendesak keluarga Abah untuk melamar putrinya. “Anak saya (Fitria) jangan dibuat main-main!,” demikian Abah mengutip perkataan H. Sulaiman. “Mungkin karena kami tak kunjung melamar Fitria itu barangkali kemudian H. Sulaiman merasa malu ke tetangga-tetangganya, terlebih anaknya sudah perawan (istilah bagi orang Madura untuk perempuan yang usianya sudah dirasa pantas untuk menikah, red). Bisa jadi karena itu kemudian dia punya niatan untuk mempermalukan keluarga kami,” kata Abah. Belakangan diketahui pula bahwa Hamid ternyata punya hutang sebesar Rp. 3 juta kepada H. Sulaiman untuk keperluan membeli rumah di kawasan Gembong Sawah. Sementara sumber Sapujagat lainnya mengatakan bahwa H. Sulaiman memerintahkan Hamid untuk menghabisi Mujib, yang juga termasuk guru ngajinya itu, dengan kompensasi hutang Rp. 3 jutanya itu lunas. Maka, ketika Hamid tertangkap polisi, mengakulah dia kepada penyidik telah membunuh Mujib dengan alasan telah menyelingkuhi istrinya. Dengan ditemukannya barang bukti berupa dua keping VCD Porno dan surat cinta dari Nurhayati di saku jaket korban saat olah TKP itu maka polisi mengesampingkan asumsi yang disampaikan Abah tadi dan memperkuat kesimpulan yang kemudian dituangkan ke dalam berkas dakwaan bahwa motif pembunuhan yang dilakukan Hamid ini adalah cemburu. Sayangnya dua barang bukti penting ini kini dinyatakan hilang di kejaksaan. Pertengahan Januari lalu (11/1), JPU Ika Mauludina menuntut terdakwa, Abdul Hamid, dengan hukuman selama-lamanya 12 tahun penjara. Pihak keluarga korban sebenarnya tidak rela tuntutan itu dibacakan sebelum barang bukti berupa dua keping VCD dan surat cinta itu dibuktikan kepemilikannya di pengadilan. Namun apa boleh buat, barang bukti tersebut telah dinyatakan hilang. Dalam sidang lanjutan kasus ini hari Kamis pekan lalu (18/1), pihak terdakwa telah membacakan pembelaannya. Rencananya pada akhir pekan ini Majelis Hakim akan menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa. Pihak keluarga korban yang sangat mengharapkan mendapat keadilan dari proses persidangan ini pun tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak tahu mau melayangkan protes atas jalannya proses hukum yang dinilainya sangat miring ini kepada siapa lagi. (nif)

No comments: