Dalam kurun waktu hampir 20 tahun, peradaban di Kampung Jetis Agraria, yang termasuk dalam lingkup wilayah RT 15/ RW 4, Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo, Surabaya, berangsur punah. Kepunahan ini bukan terjadi akibat bencana alam – melainkan oleh pertumbuhan kota yang tidak menentu. Namun begitu, masih ada sisa-sisa peradaban di Kampung Jetis Agraria 1, satu-satunya kampung yang tersisa di wilayah RT 15/ RW4 Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo.
Malam itu masih sekitar pukul pukul 22.00. Namun kampung Jetis Agraria 1 sudah tampak sepi. Dari ujung gang, di beberapa rumah rumah penduduk yang dikoskan untuk para karyawati Royal Plaza, memang masih ada tanda-tanda kehidupan. Sejumlah beranda depan di beberapa rumah penduduk yang rata-rata berpenerangan lampu remang-remang sekitar 5 watt itu terlihat satu-dua anak kos putri menerima tamu lelakinya. Mereka berbincang dengan suara hampir berbisik.
Sesekali kereta api yang sejak zaman kolonial Belanda selalu melewati Kampung ini setiap 30 menit sekali memecah kesunyian. Getaran roda kereta dengan suara gerbongnya di atas rel dengan kecepatan yang begitu tinggi bisa dirasakan penduduk dari dalam rumahnya. Selain itu, yang masih bisa terdengar dari dalam rumah di atas jam 22.00 itu adalah suara hak sepatu karyawati Royal Plaza yang berjalan pulang menuju rumah kosnya yang masih terletak di dalam kampung ini.
"Dulu di kampung ini serasa hidup selama 24 jam. Namun sekarang kampung ini sudah mati selepas pukul 22.00. Ini karena para pemuda kampung yang dulu biasa cangkruk menghabiskan malam sampai menjelang subuh sudah pindah semua menyusul rumahnya telah dibebaskan oleh pengembang Royal Plaza," ujar Bambang, 35 tahun, warga setempat yang telah mendiami kampung ini secara turun temurun sejak zaman nenek moyangnya.
Sebelumnya, wilayah di kawasan RT 15/ RW 4, Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo ini memang tercatat memiliki anggota sebanyak 355 Kepala Keluarga (KK) yang rumahnya tersebar di Kampung Jetis Kulon 1, Jetis Agraria 1, Jetis Agraria 2, Jetis Agraria 3, Jetis Agraria 4, Perumahan PNP/ PTP dan Perumahan Kehakiman. Namun, sekarang, tahun 2007, hanya tinggal Kampung Jetis Agraria 1 yang tersisa dengan 23 rumah yang didiami oleh sekitar 29 KK yang masih bertahan di wilayah ini. Serta satu lagi KK yang rumahnya berdiri sendirian di Kampung Jetis Agraria 3.
Berkurangnya jumlah penduduk yang drastis di lingkup RT 15/ RW 4, Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo ini berdampak pada pergeseran kehidupan bermasyarakat kampung itu. Dulu, misalnya, yang setiap minggunya selalu diramaikan oleh acara pengajian rutin secara bergantian oleh bapak-bapak, ibu-ibu, serta pemuda kampung dari rumah ke rumah, sudah tak bisa lagi dijumpai saat ini. "Sekarang yang tersisa cuma pengajian rutin ibu-ibu sebulan sekali," terang Bambang.
Juga tak terdengar lagi suara anak-anak mengaji dari Masjid Fathul Huda yang terletak di tengah kampung ini. Guru ngaji di Masjid ini sudah pindah rumah semua. Anak-anak yang mengaji di Masjid ini telah dipindahkan ke Masjid milik Telkom Divre V Jl. Ketintang yang berjarak 1 Km dari kampung ini. Bambang menandaskan, masjid ini telah berdiri sejak zaman neneknya masih muda. "Nenek saya bahkan pernah menjadi guru ngaji di Masjid ini. Ibu saya, juga saya dan saudara-saudara saya dulu, ya, belajar ngaji di Masjid ini," katanya.
Praktis setelah terjadi pembebasan lahan oleh Royal Plaza, kini Masjid Fathul Huda hanya berfungsi untuk sholat lima waktu saja. Pembebasan lahan terhadap warga setempat untuk pembangunan Mall Royal Plaza ini pun juga berdampak pada berkurangnya jumlah donatur di Masjid ini. Sekarang, paling banter Masjid Fathul Huda hanya memperoleh uang kas sebesar Rp. 25 ribu setiap bulannya.
Dengan perolehan kas segitu, sejumlah pengurus takmir masjid Fathul Huda selalu kebingungan setiap kali hari Jumat tiba. Yaitu ketika mereka harus membayar honor khotib Jumat minimal Rp. 50 ribu setiap minggunya. Akibatnya pengurus takmir harus terang-terangan meminta sumbangan secara door to door kepada warga kampung yang dianggap mampu secara bergantian untuk menalangi membayar kekurangan honor khotib Jumat tersebut.
Tidak hanya itu, dengan beranggotakan tak lebih dari 30 KK yang berdiam di 24 rumah, kas keuangan RT 15/ RW 4, Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo pun selalu kosong. "Pihak RT per bulan menarik iuran sebesar Rp. 2.500,- per rumah, bukan per KK. Jadi per bulan seharusnya RT 15 ini punya kas sebesar Rp. 60 ribu. Namun berhubung pihak RT masih dikenakan wajib bayar iuran ke kas RW sebesar Rp. 85 ribu per bulan, maka kas RT selalu kosong dan bahkan minus, ha-ha-ha," papar Bambang.
"Padahal, seharusnya, perincian iuran Rp. 2.500,-/ bulan itu selain untuk dibayarkan sebagian ke kas RW, separuh lainnya juga diperuntukkan bayar honor tukang sampah. Berhubung untuk bayar kas RW saja keuangan di RT ini masih kurang maka sudah beberapa bulan ini tukang sampah di kawasan ini tidak terbayar oleh warga kampung di sini," tambah Bambang seraya kembali ngakak.
Memang tak ada yang diuntungkan dengan berdirinya bangunan Royal Plaza bagi warga yang masih bertahan di lingkup RT 15/ RW 4, Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo ini, khususnya bagi sebagian besar warga kampung yang tersisa di Jetis Agraria 1. Satu-satunya keuntungan bagi warga kampung hanyalah usaha rumah kos. Itu pun cuma dipraktekkan oleh segelintir warga kampung saja. Sebab memang tak semua rumah di kampung itu memiliki cukup kamar untuk dikoskan. Untuk membangun kamar baru, selain tak ada biaya, juga tak ada lahan. Memang, kebanyakan adalah kerugian besar yang bisa dirasakan warga atas berdirinya Royal Plaza di kawasan itu.
Seperti, salah satunya, tak satupun warga kampung yang dipekerjakan untuk menjadi karyawan Royal Plaza. Padahal, dulu, pihak Royal, ketika sedang dalam proses membangun, pernah sesumbar akan mengutamakan warga kampung untuk menjadi karyawannya. Tampak pihak Royal ingkar akan janji yang satu ini. Sudah begitu, Fasilitas Umum (Fasum) milik warga kampung kini malah dicaplok pula oleh Royal untuk dibisniskan dalam bentuk Pujasera. Benar-benar celaka 12 bagi warga kampung setempat.
Warga di lingkup RT 15/ RW 4, Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo yang kini tinggal sedikit ini memang punya sejarah panjang dikuya-kuya oleh pihak pengembang. Adapun tanah warga di sana telah menjadi incaran pengembang sejak tahun 1989.
Sejarah hilangnya satu-persatu kampung beserta warganya di wilayah ini tak lain berawal dari berdirinya Hotel Beringin Permai di pinggir Jl. Ahmad Yani sejak tahun 1970 yang kemudian mangkrak di tahun 1980-an. Hotel ini kemudian dikuasai oleh Bank Bira yang kemudian dinyatakan tidak sehat dan disita oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Belakangan pada tahun 1989 bangunan ini jatuh ke tangan PT Seafer International Continental (SIC). Sejak itulah upaya pembebasan lahan warga dimulai. PT SIC ketika itu berencana akan membangun hotel dan pertokoan dan menyatakan butuh tanah seluas 5,5 Ha.
Tanah warga pun ditawar sebesar Rp. 200 – 450 ribu/ m2 termasuk harga bangunannya demi mewujudkan rencana bisnis ini. Adapun harga yang dipatok PT. SIC itu tak lebih dari separuh harga pasaran yang berlaku ketika itu di Kota Surabaya yang seharusnya berkisar antara Rp. 500 ribu – 748 ribu/ m2 (di luar harga bangunan). Namun sebagian warga yang dililit masalah keuangan untuk kelangsungan hidup keluarganya tanpa berpikir panjang seketika itu juga langsung melepaskan tanahnya dengan separuh harga yang dipatok PT SIC itu.
Di tengah jalan, upaya pembebasan lahan warga oleh PT. SIC ini kemudian terhambat oleh penemuan Komisi D DPRD Surabaya di tahun 1990 yang menyatakan bahwa tanah seluas 5 hektar yang didiami oleh warga RT 15/ RW 4, Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo yang sedang diincar PT SIC ini ternyata merupakan tanah milik Pemkot.
Maka, jika PT SIC masih bersikeras ingin membangun Hotel dan Pertokoan di kawasan ini, setelah membebaskan lahan warga itu tadi, diwajibkan membeli lahan tersebut seharga Rp. 3 Miliar ke Pemkot. Tentu PT SIC yang ketika itu telah membebaskan sekitar 88 % rumah warga tidak mau rugi dengan membayar uang sebesar itu pula ke pemkot. Tampaknya PT SIC kemudian menyerah dan tidak melanjutkan upaya pembebasan lahan warga. Lantas PT. SIC menelantarkan sebagian lahan yang telah menjadi miliknya itu begitu saja hingga bertahun-tahun. Sampai di sini saja, peradaban warga yang berdiam di kawasan RT 15 /RW 4 Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo sudah tersisa tinggal 45 rumah.
Detailnya, ketika itu, PT SIC telah memusnahkan peradaban di Kampung Jetis Agraria II dan IV serta Perumahan PNP/PTP dan Perumahan Kehakiman. PT SIC cuma menyisakan sederet kehidupan di Kampung Jetis Agraria I (sebanyak 44 rumah) serta satu kehidupan lainnya di sebuah rumah di Kampung Jetis Agraria III milik Suhandoko (almarhum) yang masih berdiri hingga sekarang dan ditempati oleh ahli warisnya.
Keberadaan total 45 rumah beserta kehidupannya yang tersisa di wilayah ini pun ternyata hanya bertahan sampai 15 tahun. Tahun 2006 datang anak perusahaan Pakuwon Jati, PT. Dwi Jaya Manunggal, mengambil alih lahan bekas milik PT SIC tersebut untuk dijadikan Mall.
Untuk kepentingan itu terjadilah lagi pembebasan lahan milik warga. Sebanyak 21 rumah utamanya yang berdiri tepat di batas garis sempadan rencana pembangunan Mall yang kini bernama Royal Plaza ini dibebaskan pada tahun itu juga dengan harga beragam antara Rp. 4 – 5,5 Juta/ m2 termasuk nilai bangunannya.
Kini totalnya tersisa 24 rumah di sana yang juga sempat ditawar untuk dibebaskan pula dengan harga seragam Rp. 5 jutaan/m2 beserta nilai bangunannya. Namun tak ada yang melepaskannya sehingga masih ada sisa-sisa peradaban di kampung itu sampai sekarang. Sedikit warga yang tersisa di kampung itu kini sedang bejuang mempertahankan hak atas tanah Fasumnya yang ikut dicaplok Royal Plaza untuk dijadikan bisnis Pujasera.
Mereka Berjuang Melawan Kapitalis
Pengukuran tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pemkot Surabaya di lahan Fasilitas Umum (Fasum) milik warga RT 15/ RW 4, Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo, yang telah dicaplok secara sepihak oleh pengembang Royal Plaza untuk dijadikan Pujasera, Rabu (20/6), mendapat perlawan sengit dari sisa-sisa warga setempat. Warga menilai petugas BPN mengambil gampangnya dalam melakukan pengkuran itu dengan hanya melakukan pengukuran dari tembok belakang sisi barat bangunan Royal Plaza ke arah Fasum.
Padahal, warga, seperti yang telah disepakati bersama oleh pihak/ instansi terkait dalam Hearing di hadapan anggota Komisi C DPRD Surabaya sehari sebelumnya (19/6), menghendaki pengukurannya dilakukan secara total. Yaitu luas wilayah di RT 15/ RW 4, Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo seluas 5,5 Ha dikurangi 1,7 Ha luas tanah properti yang telah dibeli Royal Plaza. Dengan begitu nantinya diharapkan akan memperoleh hasil apakah Fasum tersebut masuk sebagai tanah properti milik Royal atau tidak.
Namun petugas BPN menolak melakukan pengukuran total seperti itu. "Maklum, yang membiayai pengukuran ini adalah Pihak Royal Plaza itu sendiri. Royal telah menghabiskan sekitar Rp. 5,5 juta untuk keperluan pengukuran ini kepada BPN dengan dalih mengisi uang kas BPN. Jadi tak heran kalau petugas BPN akan memihak Royal Plaza dalam pengukuran ini," ujar seorang warga yang minta namanya dirahasiakan karena takut dikejar-kejar preman peliharaan pengembang Royal kalau masuk koran.
Upaya pengukuran ini pun akhirnya digagalkan warga. Pengukuran akan kembali dilakukan menunggu hasil Hearing berikutnya bersama pihak/ instansi terkait di Komisi C DPRD Surabaya. Sengketa ini memang telah mendapat perhatian dari anggota Komisi C DPRD Surabaya. Namun tercatat tiga kali Hearing tentang masalah ini yang telah digelar di Komisi tersebut berlangsung tidak serius.
Seperti pada Hearing pertama pertengahan Mei lalu yang hanya dihadiri oleh tiga orang anggota dewan yang akhirnya digagalkan karena tidak memenuhi kuorum. Hearing kedua (7/6) tidak dihadiri oleh pihak BPN. Serta Hearing ketiga yang berlangsung pekan lalu (19/6), kendati memutuskan untuk dilakukan pengukuran, hanya berlangsung tak lebih dari 15 menit karena kesibukan masing-masing anggota dewan di komisi itu yang bersikeras harus segera meninggalkan ruang rapat untuk kepentingan lainnya yang tidak jelas.
Seperti pernah diberitakan, pihak pengembang Royal Plaza diam-diam, tanpa sepengetahuan warga, membangun pujasera untuk para Pedagang Kaki Lima (PKL) di belakang sisi barat bangunan Royal Plaza yang tak lain merupakan lahan Fasum berupa jalan umum milik warga RT 15/ RW 4, Kelurahan/ Kecamatan Wonokromo. Padahal masih ada tiga rumah warga yang tersisa di sepanjang jalan itu yang kalau bangunan Pujasera itu benar-benar berdiri tentunya nanti pasti kebingungan kalau akan keluar rumah mau lewat jalan yang mana lagi.
Sementara itu pihak Royal telah memasang harga sewa sekitar Rp. 7 – 9 jutaan per tahun bagi para pedagang (PKL) yang berminat untuk berjualan di masing-masing stan Pujasera-nya yang kini, sejak didemo warga tiga bulan lalu, pembangunannya mangkrak. Kendati bangunannya berlum rampung, ternyata sudah banyak pedagang yang telah memesan dengan membayar uang muka sebesar Rp. 3 jutaan.
Akhir Maret lalu, warga pernah menghubungi Satpol PP agar membongkar bangunan Pujasera yang kini mangkrak itu agar selanjutnya bisa digunakan kembali sebagai jalan umum. Namun, dijawab langsung oleh Kepala Satpol PP Kota Surabaya, Drs. Utomo, bahwa perkara Fasum yang dicaplok Royal Plaza ini merupakan masalah kecil yang tidak perlu ditangani oleh Satpol PP – melainkan cukup diselesaikan oleh Camat saja.
Namun Camat Wonokromo terbukti mandul dalam menyelesaikan masalah ini. Hingga akhirnya warga mengirim surat ke Walikota Surabaya yang membuat Camat Wonokromo kemudian mendapat teguran keras langsung dari Walikota dan dituntut untuk segera mengembalikan fungsi tanah Fasum itu ke bentuk semula. Belakangan, pada tanggal 20 Maret 2007, Lurah Wonokromo, Abdul Latief, S.Sos, MSi, mengeluarkan surat perintah pembongkaran Pujasera kepada pihak Royal Plaza.
Namun, tak lama setelah mengeluarkan surat perintah pembongkaran itu posisi Abdul Latief sebagai Lurah Wonokromo segera digantikan oleh Riyadi yang kemudian selalu mengatakan tidak ngerti apa-apa atas sengketa Fasum ini ketika didesak warga untuk menindak lanjuti Surat Perintah Pembongkaran Pujasera yang dikeluarkan oleh Lurah sebelumnya. Praktis kini warga sangat berharap bantuan dari Komisi C DPRD Surabaya untuk merebut kembali hak lahan Fasumnya yang telah dicaplok Royal Plaza untuk kepentingan bisnisnya ini. (nif)