Sunday, July 20, 2008

IN MEMORIAM Sumiasih 20 Tahun Lalu Sumiasih (60) dan putranya, Sugeng (44), akhirnya tewas di tangan tim regu tembak Kejati Jatim di Lapangan Tembak Mapolda Jatim, Jl. A. Yani, Surabaya, sekitar pukul 00.20, Sabtu dini hari (19/7). 20 tahun lalu, Sumiasih, yang ketika itu masih berusia 40 tahun, dinyatakan terbukti sebagai otak pembunuhan berencana keluarga Letkol Marinir Poerwanto. Dalam persidangan terungkap, dia mengarsiteki pembantaian sadis pada pagi hari tangal 13 Agustus 1988, bersama suaminya, Djais Adi Prayitno (54); menantunya, Serda Pol. Adi Saputra; anaknya, Sugeng (24); serta keponakannya, Daim dan Nano (27). Atas pembunuhan berlatar belakang hutang-piutang senilai Rp. 36 juta dalam pengelolaan bisnis Wisma Happy di Kompleks Prostitusi Dolly Surabaya itu, PN Surabaya, pada tanggal 19 Januari 1989, mengeluarkan putusan vonis mati terhadap Sumiasih, Djais Adi Prayitno, Serda Pol. Adi Saputra dan Sugeng. Dua komplotan lainnya, Daim dan Nano, cuma divonis masing-masing hukuman 15 dan 12 tahun penjara dan telah dibebaskan beberapa tahun lalu. Eksekusi terhadap Serda Pol. Adi Saputra telah dilakukan terlebih dahulu pada tahun 1992 terkait posisinya waktu itu yang berstatus anggota polisi aktif. Sedangkan Djais Adi Prayitno meninggal sebelum dieksekusi karena usianya yang kian menua dan sakit-sakitan pada tahun 2005. Dalam rekontruksi terungkap, sekitar pukul 10.00 pada pagi hari tanggal 13 Agustus 1988 itu, Sumiasih, Djais Adi Prayitno, Serda Pol. Adi Saputra, Sugeng, Daim dan Nano, mengendarai Suzuki Carry, tiba di rumah Poerwanto, Jalan Dukuh Kupang Timur XVII Surabaya. Kedatangan mereka dianggap kunjungan biasa oleh Poerwanto yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Primkopal (Koperasi Angkatan Laut) dan lantas menemuinya di ruang tamu. Maklum kedua keluarga ini telah dikenal sebagai kerabat akrab. Ketika itu, ketiga anak Poerwanto tidak ada di rumah. Haryo Bismoko (siswa kelas 1 SMA Trimurti) dan Haryo Budi Prasetyo (siswa SD kelas VI) sedang bermain di rumah tetangga. Sementara, Haryo Abrianto mengikuti pendidikan taruna AAL di Bumimoro, Surabaya. Sedangkan Sunarsih, isteri Poerwanto yang dalam kondisi hamil, sedang memasak di dapur. Pada kondisi rumah yang sepi itulah, lima tamu tersebut langsung menghabisi Poerwanto. Perwira Marinir itu dipukul menggunakan alu di bagian belakang kepalanya. Pada jenasahnya ditemukan memar di beberapa bagian di tubuhnya serta tulang iganya patah. Mendengar keributan di rumahnya, Bismoko dan Budi Prasetya datang menghampiri. Keduanya lantas disambut oleh Adi Saputra. Sempat melarikan diri sambil berteriak, anak-anak itu kemudian diselesaikan oleh Sugeng. Sunarsih yang mendengar keributan itu, bersama Sumaryatun, keponakannya, langsung bergegas menengok. Namun Prayit dan Sumiasih sudah berjaga-jaga. Adi dan Sugeng langsung menghabisi Sunarsih. Sedangkan Sumaryatun mati di tangan Daim. Kelima korban dalam satu keluarga itu pun tewas seketika. Mayatnya diseret ke garasi dan dimasukkan ke mobil Daihatsu Taft milik korban. Adi dan Sugeng membawa mobil berisi mayat itu ke kawasan Songgoriti, Batu. Mobil beserta kelima jenazah itu dibikin seolah terjadi kecelakaan, dibakar dan kemudian diterjunkan ke jurang. Evakuasi korban terbilang cukup merepotkan karena posisi jurang yang begitu terjal dan curam. Sementara itu, di rumah korban, Prayit telah menyiapkan skenario. Dia membersihkan, menata kursi, dan menyuruh orang-orang mengganti lampu neon. Malamnya, ketika kabar kecelakaan tersebut telah menyebar, sebelum mayat dibawa ke rumah duka, Prayit ikut mempersiapkan rumah Poerwanto untuk para pelayat. Haryo Abrianto, satu-satunya keluarga Poerwanto yang selamat, ketika pulang ke rumahnya pada malam kejadian itu, tampak terpukul. Prayit, sebagai kerabat dekat keluarga itu, terlihat turut menenangkannya. Prayit pun bertindak sebagai orang pertama yang membuka peti mati para korban. Bahkan, dia sempat merekam gambar kedatangan jenazah itu dengan kamera video amatirnya. Pembantaian itu memang dirancang cukup bersih. Namun penyidik berhasil menemukan banyak kejanggalan dan menyimpulkan para korban meninggal bukan karena kecelakaan setelah melihat banyak benturan benda tumpul di kepala. Setelah 20 tahun lamanya, Sabtu, dini hari tadi (19/7), vonis mati terhadap otak pembunuhan itu, Sumiasih, beserta putranya, Sugeng, dilakukan. Masing-masing enam peluru dari tim regu tembak Kejati Jatim menembus jantung ibu dan anak ini. Bukan berarti kisah tentang pembunuhan sadis ini lantas akan turut ikut mati sampai di sini. Kisah tentang peristiwa ini tampaknya akan terus mewarnai sejarah dunia hukum dan kriminalitas di Indonesia. Foto: Doc. Kejati Jatim

No comments: