Tuesday, October 03, 2006
Apalah Arti Gedung Kesenian yang Megah dan Representatif
“Kota seperti Surabaya, saya kira, memang memerlukan sebuah gedung kesenian yang representatif. Surabaya perlu menampilkan wajah yang berbudaya, bukan wajah sangar seperti sekarang. Namun, apalah arti sebuah gedung kesenian yang megah dan representatif bila kita tidak mampu mengisi dengan kesenian-kesenian yang bermutu.”
Tanggal 18 Agustus lalu, Max Arifin genap berusia 70 tahun. Ulang tahunnya dirayakan kecil-kecilan di rumahnya oleh sejumlah seniman muda, baik dari dalam maupun luar kota (Mojokerto), yang selama ini memang sering mengunjunginya, di Jl.Bola Voli Blok E 33, Perum Griya Japan Raya, Sooko, Kabupaten Mojokerto. Yang sangat membanggakan, bertepatan dengan hari ulang tahunnya itu, buku terbarunya, “Antonin Artaud, Ledakan dan Bom” (terjemahan dari karya Stephen Barber, Blows and Bombs,) telah diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Tentunya ini semakin membuat hari ulang tahun Max Arifin di Bulan Agustus itu semakin spesial.
Pada suatu kesempatan ketika Max Arifin diundang menjadi pembicara dalam forum diskusi yang digelar oleh Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), akhir Agustus lalu, tentang buku terbarunya ini sudah banyak ditanyakan oleh sejumlah seniman Surabaya yang menyapanya. Namun, buku yang bercerita tentang biografi dan konsep teater Antonin Artaud tersebut ketika itu masih belum sampai di Surabaya. Jadilah para seniman yang menanyakannya itu harus gigit jari. Adapun buku itu baru beredar di Surabaya pada bulan berikutnya. Isinya telah dibedah di DKJT pada Selasa, 19 September lalu.
Buku Stephen Barber ini memotret Antonin Artaud sebagai sosok yang unik sekaligus sangat memilukan--sebuah buku yang luas dan otoritatif tentang sejarah hidup dan karya dari orang yang mengubah arus teater modern. Antonin Artaud adalah salah seorang dari legenda-legenda kultural besar abad dua puluh. Theatre of Cruelty-nya mengubah arah arus teater modern dan eksperimen-eksperimennya dengan gerakan Surrealis telah memberi inspirasi yang menembus Eropa dan Amerika.
Di akhir dari sebuah rangkaian perjalanannya yang panjang--baik fisikal maupun spiritual yang ditujukan untuk menciptakan sebuah budaya yang magis dari tubuh manusia--dia ditahan dan dikurung selama sembilan tahun di berbagai asilum di Prancis, di mana dia menderita kelaparan dan menjadi “kelinci percobaan” dari lima puluh kali pengobatan lewat kejutan listrik (electroshock). Digambarkan dalam buku itu, kehidupan Artaud merupakan kegagalan yang mengerikan dan konfrontasi dan eksplorasi yang ekstrim dari luka derita dan kegembiraan.
Sampai hari ini, Max Arifin, kira-kira sedikitnya telah menghasilkan 34 karya buku. Jumlah itu belum termasuk beberapa puisi dan cerpen dari timur tengah yang juga sempat diterjemahkannya. Memang, sebagian besar dari total karyanya itu, 26 di antaranya adalah karya terjemahan, termasuk tujuh karyanya yang belum diterbitkan. Seperti; Suara yang Lain (dari buku The Other Voice, karya Octavio Paz); Surat-surat Negro (The Fire Next Time, karya James Baldwin); Teater Politik (Political Theatre, karya David Goodman); Teater dan Kembarannya (Theatre and it’s Double, karya Antonin Artaud); Masalah-masalah Seni (The Problems of Art, karya Susanne K. Langer); Kapal Orang-orang Bodoh (Ship of Fool, dari karya Christiana Perri Rossi) dan Hidupku dalam Seni (My Life in Art, karya Konstantin Stanislavsky).
Beberapa di antara judul-judul buku yang belum diterbitkan tersebut telah berada di tangan penerbit. Seperti; Masalah-masalah Seni yang sudah berada di penerbit Bentang, Yogyakarta; Hidupku dalam Seni yang telah ditangani oleh penerbit Pustaka Kayutangan, Malang dan Kapal Orang-orang Bodoh yang kini berada di tangan penerbit Biduk, Bandung.
Pada karya yang disebut terakhir, bahkan telah berada di pihak penerbit sejak lima tahun yang lalu. Namun tak pernah ada kabar sampai sekarang. Celakanya Max Arifin tidak menyimpan kopi terjemahannya. Untungnya naskah dari buku aslinya, Ship of Fool, masih tersimpan rapi di rak bukunya.”Ah, sudahlah, saya tak ingin ribut dengan orang soal itu,” katanya ketika disinggung tentang nasib karyanya yang satu ini.
Begitulah, Max Arifin sebenarnya punya seabrek pengalaman yang tidak enak semacam itu. Contoh lain, naskah Surat-surat Negero yang diterjemahkannya dari karya James Baldwin sempat dinyatakan raib ketika dibawa oleh salah seorang redaktur budaya untuk dimuat di koran harian nasional terbitan Surabaya. Pengalaman pahit seperti itu sering terjadi karena Max Arifin selalu ingin membagi isi buku tersebut kepada orang lain. Suatu keinginan yang selalu ada dibenaknya setiap kali dia akan mengawali menerjemahkan buku.
Adapun sampai hari ini Surat-surat Negero tak pernah muncul di koran seperti yang telah dijanjikan oleh redakturnya tersebut. Hingga suatu ketika pernah Max Arifin mengirim pesan singkat (SMS) kepada Jurnal: ”Malam ini, salah satu televisi swasta menayangkan Malcolm X. Namun pikiranku melayang pada Surat Surat Negro.”
Karir Max Arifin sebagai penerjemah buku kira-kira berawal sejak tiga puluh tahun yang lalu. Bermula dari seorang wartawan Kompas bernama Trees Nio yang datang mengunjungi Dirman Toha, sahabat Max Arifin, yang merupakan koresponden Kompas di Mataram. Saat itulah Trees Nio melihat dua naskah novel terjemahan karya Max Arifin, masing-masing Walkabout, karya James Vance Marshall dan The Sound of Waves, karya Yukio Mishima.
Trees Nio langsung tertarik dengan dua naskah itu dan membawanya ke Jakarta. Berturut-turut kemudian masing-masing dijadikan Cerita Bersambung (Cerber) di Kompas (1976 dan 1978). ”Honor dari Kompas waktu itu sebesar delapan puluh rupiah. Sementara gaji sebagai pegawai negeri tujuh puluh lima rupiah,” kenang Max Arifin.
“Kami langsung beli pompa air yang uangnya dikumpulkan dari sebagian honor Kompas itu. Waktu itu kira-kira harganya Rp. 125 ribu,” timpal Siti Hadidjah (70), isteri Max Arifin, yang juga pekerja seni. Sementara, Max Arifin, masih dari sebagian honornya itu, pada 28 Februari 1986, membeli mesin ketik Brother Deluxe 550 TR untuk hadiah ulang tahun isterinya, dengan tak lupa dituliskannya pesan pendek terlebih dahulu: Without Fear and Favor!
Karya-karya naskah/ buku yang pernah ditulis Max Arifin memang kemudian banyak yang dijadikan cerber di sejumlah koran harian yang terbit di negeri ini. Selain dua karya yang telah disebut tadi, masih ada Kecantikan dan Kesedihan (terjemahan dari naskah The Beauty and Sadnes, karya Yasunari Kawabata) yang juga menjadi cerber di Kompas pada tahun 1984.
Selain itu, masih ada lagi; Matinya Demung Sandubaya yang menjadi cerber di harian Suara Nusa (Mataram); Kemelut (naskah terjemahan dari The Blind Owl, karya Sadeq Hedayat) yang menjadi cerber di Surabaya Post; serta Seratus Tahun Kesunyian (naskah terjemahan dari One Hundred Years of Solitude, karya Gabriel Garcia Marques) yang menjadi cerber di Jawa Pos (1997).
Kendati demikian, dengan jumlah karya yang telah dihasilkannya sebanyak itu, Max Arifin tidak mau disebut sebagai sastrawan. “Saya ini orang teater, bukan sastrawan,” ujarnya. Barangkali dia berkata begitu karena kebanyakan karyanya, baik itu yang terjemahan maupun tidak, sebagian besar adalah tentang drama/ teater.
Terlebih, dia juga pernah mendirikan kelompok teater Gugus Depan di Mataram. Bahkan, selama tinggal di Mataram dulu, dia adalah pembina teater di beberapa SMA dan universitas. Pun di tempat kerjanya, Depdikbud Nusa Tenggara Barat (sekarang sudah pensiun, red), dia juga diserahi tugas untuk menangani bidang Kesenian seksi drama (tradisional dan modern).
Kepada Jurnal, Max Arifin bersoloroh, jika ada yang mengira bahwa dirinya adalah seorang sastrawan, itu karena selama berkesenian dia juga suka menulis puisi dan cerpen. Percayalah, Max Arifin akan lebih antusias jika diajak ngobrol soal teater.
*****
Bagaimana perkembangan teater di tanah air, khususnya di Surabaya dan Jawa Timur (Jatim)?
Perkembangan teater di Indonesia timbul tenggelam. Ada masa ketika teater itu sedang marak, atau sedang digandrungi, ada juga masa ketika teater sedang sepi.
Perkembangan teater di Surabaya atau Jatim sekarang ini, termasuk pada masa yang mana?
Seperti yang anda lihat sendiri, sejak beberapa tahun terakhir, banyak festival dan pementasan (teater) di sini (Surabaya, red). Itu artinya teater sedang berkembang pesat di sini. Tapi itu kalau kita bicara soal kuantitas loh ya…
Kebanyakan dari mereka tidak berkualitas, ya, Pak?
Tidak semua kelompok teater yang pernah mentas--sepanjang yang saya saksikan--tidak berkualitas. Ada beberapa yang cukup berkualitas di samping ada yang memang di bawah standar.
Apa kira-kira yang membuat penampilan kelompok-kelompok teater kita banyak yang tidak berkualitas?
Ada banyak faktor. Tapi, sebenarnya, kualitas bisa dicapai bila kelompok-kelompok teater tersebut memahami benar tuntutan-tuntutan atau hukum-hukum yang ada dalam seni teater. Bukan cuma memahami secara teoritik, tetapi mampu mengimplementasi aspek-aspek teoritik tersebut ke dalam praktik, ke dalam realitas pentas yang bersifat visual.
Tuntutan-tuntutan atau hukum-hukum yang ada dalam seni peran (teater) tersebut memang cukup tinggi. Saking tingginya, orang memerlukan membangun sekolah tinggi yang mengajar seni teater dan seni teater merupakan suatu disiplin tersendiri.
Ada kelompok teater yang sejak awal penampilannya tidak berkualitas dan celakanya pada penampilan selanjutnya, hingga sampai pada penampilannya yang kesekian kali atau bahkan sampai sekarang tetap saja tidak berkualitas. Bagaimana caranya meningkatkan kualitas kelompok teater yang seperti ini, atau sudah susahkah untuk memperbaiki kualitas pada kelompok teater yang seperti ini?
Saya tidak mengatakan susah atau tidak susah, karena semuanya juga akan terpulangkan pada manusianya. Sebagaimana seni-seni yang lainnya, seni teater menuntut latihan-latihan yang terus menerus dan studi, di samping--barangkali--sedikit bakat.
Latihan-latihan dibagi dalam dua macam: latihan-latihan persiapan dan latihan-latihan produksi. Mereka yang sudah matang dalam latihan-latihan persiapan baru bisa mengikuti latihan-latihan untuk produksi, untuk pementasan. Ada jenjang-jenjang di setiap macam atau tahap latihan tersebut. seni teater disebut juga sebagai seni vokal dan seni akting. Ada tuntutan-tuntutan yang cukup berat untuk keduanya. Sudah terlalu banyak buku yang mengupas masalah tersebut. Lalu tanpa membaca satu bukupun, apakah bisa dikatakan adanya pementasan yang berkualitas?
Menurut saya, tak ada cara lain untuk meningkatkan kualitas selain dari belajar, studi dan latihan yang terus menerus. Seperti dikatakan oleh Stanislavsky, aktor-aktor harus menjalani latihan-latihan dan disiplin yang ketat, selalu menguji dirinya, standar-standar etika yang tinggi, mengejar selera yang baik di atas dan di luar pentas. Ia menolak aktor-aktor yang bebal, malas, yang suka mejeng, melacurkan hidupnya hanya untuk dikeploki penonton.
Aktor harus memiliki disiplin ketat. Aktor harus selalu menguji dirinya, memiliki standar etika yang tinggi dan mengejar selera, baik di atas pentas maupun di luar pentas.Sutradara-sutradara pun harus memahami sejarah teater--di dunia dan di tanah air--paham-paham, gagasan-gagasan yang ada dalam dunia seni teater dan memahami perbedaan-perbedaannya.
Paham-paham atau gagasan-gagasan ini mungkin saja akan menuntun dia dalam menentukan strategi dramaturgi yang akan dipakai dalam pementasannya. Sutradara dan aktor harus memahami di mana letak keindahan seni teater dan mampu mewujudkan keindahan tersebut dalam realitas pentas.
Menurut anda, apakah workshop-workshop, tentang teater khususnya, yang digelar oleh komunitas atau lembaga atau instansi pemerintah, yang umumnya paling lama cuma berlangsung satu minggu, bisa bermanfaat bagi seorang aktor/ aktris, terlebih dalam kaitannya demi meningkatkan kualitas pertunjukan mereka di atas panggung?
Tergantung pada sistem, metode yang dipakai oleh instruktur workshop itu. Seperti workshop-workshop yang saya perhatikan selama ini, saya tidak begitu yakin akan segera meningkatkan kualitas seni pertunjukan. Walau dia mengundang Rendra atau Putu Wijaya sekalipun. Mereka cuma mempelajari bagaimana sebuah peran itu (akan) dimainkan dan bukan tentang bagaimana hal itu diciptakan secara organik.
Seni sejati harus mengerjakan bagaimana cara membangkitkan dalam diri seorang aktor apa yang disebut “Superconscious Creative Nature” untuk menjadi “The Superconscious Organic Creation”. Saya mengusulkan sistem workshop yang berjenjang dan berkelanjutan: elementer, intermediate dan advance dengan kurikulum yang berjenjang pula. Dengan begitu akan ada seleksi alam di sana. Pada jenjang advance, tahun ketiga, saya yakin akan tinggal beberapa orang saja dan itu adalah yang benar-benar dan sungguh-sungguh tekun dan disiplin atau mau maju.
Belakangan ini ramai disoal tentang perlunya gedung kesenian di Surabaya, sampai beberapa waktu yang lalu pernah dijadikan bahan diskusi dalam forum yang digelar oleh Kompas (Jatim). Banyak yang berpendapat, kota sebesar Surabaya sudah saatnya (perlu) punya gedung kesenian yang representatif. Menanggapi tuntutan itu, Wakil Walikota, Arif Affandi, menjanjikan akan membangun gedung tersebut di Kompleks Balai Pemuda pada 2008 nanti, yaitu menunggu kontrak Gedung Mitra 21 di kompleks tersebut habis. Gedung bioskop inilah yang akan direnovasi untuk gedung kesenian. Menurut anda, apakah memang perlu dibangun gedung kesenian (yang representatif) di kota Surabaya?
Kota seperti Surabaya saya kira memang memerlukan sebuah gedung kesenian yang representatife. Surabaya perlu menampilkan wajah yang berbudaya, bukan wajah yang sangar seperti sekarang.
Setelah ada gedung kesenian (yang representatif) itu dibangun, dengan seniman atau kelompok kesenian di kota ini yang kebanyakan kualitasnya masih dibawah standar, lalu selanjutnya apa?
Memang, apalah arti sebuah gedung kesenian yang megah dan representative bila kita tidak mampu mengisi dengan kesenian-kesenian yang bermutu. Oleh sebab itu, di samping akan dibangunnya gedung kesenian itu, grup-grup/ sanggar-sanggar harus meningkatkan mutu dan kualitasnya untuk bisa tampil di sana.
Berarti, tentang siapa saja (seniman/ kelompok kesenian yang seperti apa) yang berhak main di gedung yang representatif itu, harus disaring terlebih dahlu. Hanya seniman atau kelompok kesenian yang sudah terbukti kualitasnya saja yang berhak main di gedung itu, seperti itukah nantinya? Lalu, siapa (orang) yang berhak menyaringnya?
Untuk bisa main di gedung itu memang perlu selektif dalam arti tidak asal-asalan. Ada ukuran atau patokan. Memberikan kesempatan pada kelompok yang (mau) maju agar kreatifitasnya meningkat. Patokan atau ukuran itu dibuat oleh badan pengelola itu sendiri.
Sebaiknya gedung kesenian itu dikelola oleh siapa (misalnya: pemerintah, swasta, seniman, dewan kesenian, atau tak satupun dari mereka)?
Dalam badan pengelola nanti harus ada tiga unsur itu (pemerintah, swasta dan seniman). Badan ini harus independen dalam membuat dan melaksanakan program kerjanya. Tapi harus dicatat: dia yang mewakili pemerintah bukanlah orang-orang yang gampang diatur (lagi) oleh atasannya. Swasta pun bukanlah kepanjangan tangan untuk mengurus para rekanan. Serta, seniman, bukanlah kepanjangan tangan sebuah partai yang lalu bergagahgagahan bahwa dia dekat dengan gubernur, bupati atau walikota karena satu partai. Orang-orang seperti itu cuma akan jadi broker kesenian. Celaka, bukan? Untuk itu perlu digariskan kualifikasi-kualifikasi yang diperlukan.
Menurut anda, apakah pemerintah seharusnya turut bertanggungjawab/ ikut andil dalam membentuk kualitas seniman?
Pemerintah juga berkepentingan bila kesenian di daerahnya berkualitas. Sebab persyaratan sebuah kota berbudaya sangat bergantung pada karya-karya kreatif dan berkualitas para senimannya.
Sebaliknya, haruskah seniman bergantung pada pemerintah untuk berkesenian atau mengembangkan kesenian di kotanya?
Seniman tidak harus bergantung pada pemerintah dalam mengembangkan keseniannya. Namun tidak dapat dipungkiri, ada seniman yang bergantung pada (sumbangan) pemerintah dan ada yang tidak. Tergantung sejauh mana sikap seniman itu menjaga independensinya.
Haruskah kita/ seniman menuntut pemerintah untuk memperhatikan kesenian, atau keberadaan senimannya?
Kita tidak menuntut, tapi memang kewajiban pemerintah untuk memperlakukan kesenian atau keberadaan senimannya.
Kebanyakan seniman, biasanya kelompok teater, di Surabaya khususnya, masih bergantung pada pemerintah untuk urusan membiayai ongkos produksinya. Haruskah begitu, atau, kalau tidak, alternatifnya seperti apa?
Selain pemerintah, masih ada masyarakat dan pihak swasta yang peduli pada perkembangan kesenian. Tapi seniman perlu memperbaiki citranya dalam mengelola bantuan (baik dari pemerintah maupun swasta). Ada seniman atau badan/ kelompok yang kurang sehat dalam mengelola bantuan ini. Lalu kita harus bagaimana terhadap seniman/kelompok yang seperti itu? Indonesia adalah negara terkorup nomor tiga di dunia, bukan? Ya, mau gimana lagi…
*****
Dalam suatu kesempatan di Museum Mpu Tantular, Surabaya, saat ditemui seusai berbicara dalam suatu forum diskusi yang digelar oleh DKJT akhir Agustus lalu, kepada Jurnal, Max Arifin sempat melontarkan gagasan tentang seniman teater yang professional. Dalam artian: 24 jam seorang seniman mengabdikan hidupnya untuk teater, mencari makan dari teater. “Seniman ludruk bisa (professional), kenapa seniman teater (modern) tidak?,” ungkapnya.
Diakuinya, seniman teater modern memang sulit untuk berlaku seperti seniman ludruk. Sebab seniman teater (modern) terikat pada banyak hal, seperti hukum-hukum yang melingkupi seni teater tersebut, semacam menghafal naskah, latihan-latihan blocking, grouping dan lain-lain yang berbeda-beda sesuai dengan (tuntutan) naskah yang akan dipentaskan. (Untuk keterangan lebih terperinci, lihat buku Jamaes L.Peacock, Ritus Modernisasi, hal.58 dst,).
Sehingga dengan begitu, dalam sekali berproduksi saja, dalam kaitannya untuk memenuhi naskah yang akan dipentaskan itu, sebuah kelompok teater sedikitnya butuh waktu enam bulan, bahkan ada yang sampai satu tahun, untuk kemudian dipentaskan.
Berbeda dengan seniman ludruk yang memang nonkonsptual sehingga tanpa berlatih terlebih dahulu, langsung naik ke atas panggung pun jadi. “Seni ludruk dari dulu tetap begitu-begitu saja. Tak ada "keinginan" untuk meningkatkannya. Yang ada adalah pakem-pakem dan ugeran-ugeran. Tak ada pertimbangan nilai pada kualitas bentuk-bentuk kesenian tersebut yang mempunyai pola dramatik tertentu yang dapat diduga sebelumnya. Tak ada naskah, yang ada cuma catatan-catatan (outline),” terang Max. Namun begitu, bukan berarti seniman teater modern tidak bisa professional.
“Profesioanalisme dalam arti yang ketat membutuhkan kualifikasi, pemahaman teoritik yang mendalam, seperangkat etika profesi, sertifikasi sebagai pengakuan akan kemampuannya. Juga dibutuhkan ketekunan dan dedikasi. Dalam pengertian tersebut, seniman teater (modern) dimasukkan ke dalam seniman yang professional,” terangnya. “Sementara itu, dalam arti yang longgar (sehari-hari), orang yang bisa mencukupi hidupnya dengan pekerjaan yang ditekuni disebut sebagai orang-orang profesional. Ludruk dapat dimasukkan ke sana,” ujarnya menambahkan.
Max Arifin lahir di Sumbawabesar, Nusa Tenggara Barat (NTB), 18 Agustus 1936. Masa kecilnya, dari SD hingga SMP, dihabiskan di kota kecil itu. Dia sempat pindah ke Yogjakarta dan menyelesaikan pendidikan SMA-nya di sana. Dia pun sempat mengenyam pendidikan di jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Gadjah Mada. Tapi tak lama kemudian dia kembali lagi ke NTB dan melanjutkan pendidikannya di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris IKIP Mataram.
Lalu dia bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Depdikbud Provinsi NTB, Mataram (Lombok). Di masa pensiunnya, dia kini tinggal di Sooko, sebuah kecamatan yang terletak di kota Mojokorto, Jatim. Praktis Max Arifin lebih banyak menghabiskan hidupnya di kota-kota kecil.
Menurut anda, bagi seniman muda di daerah, tanpa harus datang ke kota besar, seperti Surabaya atau bahkan Jakarta, misalnya, bisakah karyanya menasional?
Yang penting, bagi seni modern adalah bagaimana meningkatkan mutu dan bobot karya, terlepas di manapun dia berdomisili, di pusat atau daerah, di tempat terpencil sekalipun. Mutu dan bobot akan memunculkan seorang seniman untuk dikenal secara nasional. Tak ada kesulitan bagi seniman yang tinggal di daerah. Sekali lagi, yang penting adalah mutu dan bobot karyanya.
Saturday, September 16, 2006
Masyarakat Australia Perlu Berpandangan Luas
Mahasiswi dari Australia National University, Jemma Parsons (23 tahun), berbicara dalam suatu acara renungan yang digelar oleh Komunitas Bangbang Wetan, di Surabaya, Selasa malam (5/9). Pada kesempatan itu, dia mengungkapkan bahwa saat ini universitas-universitas serta beberapa lembaga dan gereja di Australia sedang sibuk berupaya meluruskan tentang Islam kepada masyarakat setempat.
Sepengetahuan Jemma, tentang alasan sebagian besar masyarakat Australia sangat membenci islam, seperti disampaikannya pada malam itu, lebih disebabkan oleh karena kebanyakan dari mereka hanya sebatas mengetahui Islam (di Indonesia) dari pemberitaan di surat kabar belaka.
Kira-kira sejak peristiwa Bom Bali pada tahun 2002 silam yang menewaskan sedikitnya 200 warga Australia, koran-koran yang terbit di Negeri Kanguru itu seakan serempak berlomba-lomba memberitakan miring tentang (umat) Islam di Indonesia.
“Kebanyakan masyarakat Australia yang tidak pernah berkunjung ke Indonesia terpengaruh dengan pemberitaan di koran-koran itu,” terang Jemma. Dari pemberitaan koran-koran tersebut agaknya kemudian sukses membentuk opini pada publik Australia bahwa seluruh umat Islam di Indonesia adalah teroris.
“Saya pikir masyarakat Australia perlu terbuka pandangannya agar lebih luas lagi dalam menelan informasi yang dibacanya dari surat kabar,” demikian Jemma. Barangkali karena itu beberapa lembaga, universitas, serta gereja di Australia kemudian saat ini sedang berupaya meluruskan pemahaman tentang Islam.
Dalam upaya itu, salah satu cara yang ditempuh, adalah dengan mengundang beberapa tokoh dari Indonesia untuk berbicara langsung tentang Islam di depan publik Australia. Seperti, salah satu contohnya, pada bulan lalu mereka mengundang budayawan, Emha Ainun Nadjib.
Budayawan yang di Indonesia akrab disapa Cak Nun itu pada bulan lalu berbicara di enam forum gereja yang semuanya terletak di Ibukota Australia, Melbourne. Selain itu, Cak Nun juga bekesempatan bicara dalam suatu forum yang digelar di Australia National University, yang masih terletak di Kota Melbourne. Ketika Cak Nun berbicara di Australia National University itu, Jemma bertindak sebagai moderatornya.
Kepada bule-bule Aussie dalam forum-forum yang dihadirinya itu, Cak Nun, yang di Indonesia sempat mendapat julukan Kiai Mbeling, menyampaikan bahwa 98% orang Indonesia tidak ada masalah dengan orang Barat. Ditegaskan pula oleh Cak Nun kepada mereka, bahwa jika pemerintah Australia serius mau menjalin hubungan dengan Indonesia, seharusnya membentuk tim yang obyektif untuk melihat Islam di Indonesia.
Diharapkan dengan menggelar forum-forum seperti yang dihadiri Cak Nun di Kota Melbourne itu setidaknya nantinya bisa meluruskan Trial by the Press yang sudah kadung dikobarkan oleh koran-koran di Australia tentang (umat) Islam di Indonesia.
Seperti diketahui, masalah terorisme, terlebih semenjak pecah peristiwa Bom Bali, hingga peledakan di Kedutaan Besar Australia di Jakarta beberapa waktu lalu, sempat memicu ketegangan hubungan bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Australia.
Di antaranya, sikap pemerintah Australia yang dinilai mengintervensi penegakan hukum, utamanya dalam berlangsungnya peradilan Abu Bakar Baasyir, beberapa waktu lalu, sempat membuat berang masyarakat Indonesia. (nif)
Ketika Simbol-simbol Figuratif Wayang Susah Ditangkap
Andai agama Islam tidak pernah sampai ke Indonesia, barangkali negeri ini tidak akan pernah melahirkan suatu karya seni berkualitas tinggi seperti Wayang Kulit (Purwa). “Seorang pakar sinematografi pernah berkata: karya animasi pertama di dunia sebenarnya diadopsi dari bentuk Wayang Kulit Purwa,” kata Pengamat Wayang dari STSI Solo, Bambang Murtiyoso.
“Jadi, kita sebenarnya punya warisan seni bernilai tinggi. Cuma kita tidak bisa menggunakannya. Bahkan simbol-simbol pada wayang klasik tidak tertangkap oleh anak-anak kita,” demikian Bambang menandaskan.
Memang nyatanya anak-anak Indonesia sekarang lebih suka mengidolakan Pokemon, Doraemon, Superman, Spiderman, Batman atau semacamnya. Sementara tak ada satu pun tokoh dari dunia pewayangan yang dikenalnya. Begitulah, kalau tidak mengidolakan tokoh imajinatif dari Jepang, maka pilihan anak-anak akan jatuh pada tokoh-tokoh imajinatif yang ditawarkan oleh Amerika Serikat lewat televisi.
“Jelas, ini merupakan bentuk kebudayaan yang keliru. Kita sudah punya tokoh sendiri kok anak-anak kita malah mengidolakan Pokemon dan Doraemon. Padahal, kita punya wayang yang punya nilai filosofi kebudayaan tinggi. Jelas ada yang salah dalam peradaban di negeri ini sehingga anak-anak kita punya jarak dengan keseniannya sendiri,” tandas Budayawan Mohammad Sobari, MA, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya melihat fenomena itu.
Percakapan tentang wayang dan anak-anak itu terjadi dalam suatu diskusi pada Selasa sore lalu (18/7) di Ruang Kaca, Taman Budaya Jawa Timur, Jl. Genteng Kali 85 Surabaya, yang masih merupakan satu rangkaian dengan acara pameran Wayang Kulit Rai Wong Ki Enthus Susmono.
Bermula dari pengakuan Ki Enthus Susmono tentang proses awal gagasannya yang mendorong dirinya untuk kemudian membikin Wayang Rai Wong yang pamerannya digelar di Gedung Merah Putih, Jl. Pemuda 15 Surabaya (12-19/7).
“Saya sedang mempertunjukkan wayang kulit Arjuna di depan murid-murid SD di Jogjakarta. Lalu seorang siswa bertanya: “Itu burung apa, pak?” sambil tangannya menunjuk pada wayang kulit Ksatria Panengah Pandhawa, yang bentuk hidungnya memang kelewat lancip menyerupai paruh burung. Dari pengalaman itu saya berniat membuat wayang Kulit Rai Wong yang sekaligus saya maksudkan untuk lebih mendekatkan wayang pada generasi muda,” demikian pengakuan dalang kondang asal Tegal ini.
Maka, terlontarlah pembicaraan seperti di atas tadi. Bambang Murtiyoso dan Sobari memang didaulat sebagai pembicara dalam forum diskusi itu. Menurut Sobari, pertanyaan seorang siswa SD di Jogja itu membuktikan bahwa negeri ini kalah dalam berjualan (kebudayaan) dengan bangsa lain.
“Maka, dalam hal ini, mari kita rebut anak-anak kita kembali ke pangkuan kita. Marilah kita rebut anak-anak kita ke dalam pangkuan kebudayaan kita sendiri. Masak kita rela anak-anak kita duduk dalam pangkuan kebudayaan bangsa asing. Kita bolehlah kehilangan peran rohani dari gempuran bangsa Barat. Bolehlah rohani dikalahkan oleh materi. Tapi dalam hal kesenian, kita seharusnya tidak bisa dikalahkan,” tegas Sobari dengan nada bersemangat.
Lewat penciptaan wayang Rai Wong Ki Enthus Susmono ini, Sobari kemudian berharap agar bisa menjadi titik awal bagi wayang modern yang bisa menarik kembali minat generasi muda. Selanjutnya Sobari juga berharap agar Pak Dalang untuk terus mencipta tradisi. “Tradisi bukan hanya milik yang lalu. Bukankah nenek moyang kita dulu juga muda. Anak sekarang kalau kita tidak mencipta, maka kita tidak akan dikenang. Maka dari itu, selama kita punya keyakinan yang lurus, kenapa kita tidak mencipta,” katanya.
Peradaban Wayang
Tentang perjalanan seni wayang, adalah Sultan Demak di Abad ke-15, seiring masuknya agama Islam di Indonesia, yang merombak bentuk wayang kulit purwa, dari yang semula berwujud realistik proporsional (visioplastik)–yang masih sempat diabadikan oleh nenek moyang dengan pahatannya di candi-candi–menjadi suatu karya seni figuratif (ideoplastik) seperti yang masih sering dimainkan para dalang sampai sekarang.
Ide perombakan figur yang semula dimaksudkan demi mematuhi ajaran hadis Islam yang melarang segala bentuk wujud manusia pada suatu karya seni (rupa dan patung) itu ternyata membawa perubahan besar pada stagnasi bentuk wayang kulit purwa.
Hasil perubahan figur pada wayang purwa–dari bentuk visioplastik menjadi ideoplastik–seperti yang tampak sekarang adalah klasik. Bernilai artistik tinggi karena dipenuhi simbol-simbol yang mengajak penontonnya untuk berpikir. Gradasi warnanya yang tembus pandang pun membuat semakin tampak indah di mata. Bahkan, dalam pertunjukannya, jika ditonton dari belakang layar, efek shadow-nya semakin memberi nilai filosofi yang tak terhingga.
Barangkali karena itu, dibanding dengan jenis keluarga wayang lainnya, seperti Wayang Madya, Gedhog, Klithik, Golek, Dupara, Perjuangan, Wahyu, Warta, Adam Ma’rifat ataupun Sadat, misalnya, maka wayang kulit purwa sudah dianggap final (yang paling sempurna).
Sampai sejauh ini, tak ada satu pun seniman yang berani merubah bentuk figur wayang klasik purwa. Adapun perubahan bentuk pada wayang purwa dalam perkembangannya memang ada. Tapi yang terjadi hanyalah perubahan semu pada wanda wayang.
Munculnya berbagai wanda wayang kulit pada hakikatnya terbatas pada tunduk tengadahnya roman muka, tinggi-pendek atau kurus-gemuknya postur, serta perubahan aksesoris semata. Sementara bentuk figuratif secara menyeluruh pada masing-masing tokoh wayang masih tetap sama, seperti bisa disaksikan hanya ada sedikit perbedaan pada masing-masing tokoh pada wayang kulit (purwa) Surakarta, Yogyakarta, Kedu, Cirebon, Sasak dan Bali.
Rai Wong
Pun munculnya wayang kulit baru, Rai Wong, karya Ki Enthus Susmono, yang sebelum dipamerkan di Surabaya telah di-launching-kan terlebih dahulu di Galeri Besar Taman Budaya Jawa Tengah pada akhir April lalu ini sepenuhnya masih belum menanggalkan figur dari wayang kulit purwa. Hanya saja, wajah para tokoh dalam Wayang Rai Wong Ki Enthus ini semuanya didesain mendekati manusia, namun karakternya masih mengacu pada Wayang Kulit Purwa.
“Pada tahun 1984 saya pernah membuat wayang “Rai Wong”, yaitu tokoh Buta Cakil. Tapi berhubung pada saat itu masih kuatnya orang-orang tradisi yang berpijak pada pakem, maka saya merasa takut untuk mempekenalkannya ke khalayak. Sekarang zamannya sudah moderen. Wayang sudah bisa mengikuti perkembangan jaman. Maka saya mendukung karya Ki Enthus,” demikian Ki Manteb Soedarsono mengomentari wayang “Rai Wong”-nya Enthus.
Manteb mengaku gembira melihat perkembangan wayang akhir-akhir ini. “Sebelum ini saya sudah melihat wayang karya Mas Hajar Satoto yang merupakan Wayang Sunggingan yang bergaya seni rupa. Juga ada Wayang Ukur, karya Ki Sukasman, dari Yogyakarta dan wayang karya Mas Bambang Suwarno, seperti Kayon Kecil Klowong, Ramawijaya Gimbal (Rama Ngalas) dan sebagainya sampai akhirnya sekarang muncul Wayang Rai Wong Karya Ki Enthus,” katanya.
“ Khusus buat Ki Enthus, saran saya: maju terus pantang mundur: yen wani ojo wedi-wedi, yen wedi ojo wani-wani. Jangan lupa, buat wayang sekaligus juga nama wandanya. Kalau boleh saya yang memberi nama: Bima wanda Bandol, Rahwana wanda Asu, Kangsa wanda Preman, Baladewa wanda Bantheng, Gatot Kaca wanda Mendung dan Setyaki wanda Kancil,” tambahnya.
Menurut Manteb, nama-nama wanda yang ditawarkannya itu cocok dengan gaya panggung Enthus yang sering menyuguhkan fenomena-fenomena aktual secara eksplisit dengan bahasanya yang komunikatif serta ditunjang pula oleh garapan pekelirannya yang spektakuler.
Memang, sebelum ini Enthus dikenal selalu tampil nakal (inovatif), di antaranya dengan menampilkan figur-figur non-tokoh wayangnya di atas pentas seperti Batman, Superman, Saras dan Panakawan Teletubbies. Pernah pula Enthus menggubah wayang kulit purwa Cirebon dengan tata busana model planet. Justru dari proses panjang berkesenian seperti itulah kini Enthus menemukan Wayang Rai Wong yang dirasa pas untuknya.
“Saya merasa lebih sreg jika memainkan figur yang wayang kulitnya lebih bersifat visioplastik,” ujar Enthus tentang karya inovasi terbarunya, Wayang Rai Wong. Penciptaan figur wayang jenis Rai Wong ini, menurut Enthus, pada dasarnya bertujuan ingin membangun image baru tentang tokoh-tokoh pewayangan. Dia ingin menunjukkan ketampanan Arjuna, kecantikan Banuwati, kebengisan Rahwana dan tokoh-tokoh wayang lainnya secara kasat mata.
Untuk itu, utamanya bentuk wajah, seperti hidung, mulut, mata dan cambang para tokoh dalam dunia pewayangan versi Rai Wong itu dibikin mendekati realis. Begitu juga dengan tangan, kaki dan bagian tubuh lainnya, termasuk atribut yang dikenakan oleh tokoh-tokoh tersebut. Namun begitu, tentunya beberapa karakter dari wayang purwa pada masing-masing tokoh pada wayang Rai Wong-nya Enthus ini masih tampak.
“Yang paling susah adalah ketika mendesain wayang raksasa dan yang berwajah kera. Butuh imajinasi dan konsentrasi tinggi dalam proses pemembuatannya. Sebab seumur hidup saya belum pernah bertemu Butho,” terang Enthus berkelakar.
Dalam pengamatan Bambang Murtiyoso, kehadiran Wayang Rai Wong Ki Enthus Susmono dalam peradaban dunia pewayangan ini justru lebih dianggapnya sebagai kemunduran. “Disebut kemunduran karena Enthus bukan yang pertama bikin wayang,” ujarnya.
Terlebih, Bambang memaparkan, jauh-jauh hari sebelumnya sudah ada Wayang Kulit Menak Rai Wong di Solo. Tapi Wayang Menak ini tidak bekembang. “Ketika kreatornya meninggal dunia, wayangnya juga ikut tenggelam,” terang Bambang.
Bambang melanjutkan, RM Sayid pada zaman kemerdekaan dulu juga sudah bikin wayang Sulung. Selain itu, di tahun 1970-an, Bruder Temitius juga pernah bikin Wayang Wahyu yang digunakannya untuk syiar agama Kristen. Di era-era tahun itu pula Suryadi juga bikin wayang Sadat untuk syiar agama Islam.
“Umumnya memang wayang-wayang purwa yang mendekati Rai Wong lazimnya tidak baku –lebih mendekati seperti manusia. Tapi semua wayang Rai Wong yang saya sebutkan tadi semuanya sudah tinggal berita seiring ditinggal mati oleh kreatornya,” ujar Bambang menerangkan.
Bambang menambahkan, sebenarnya kekuatan dari wayang kulit adalah justru terletak pada bentuk imajinatif dan figuratif yang tandawani atau tanwantah. “Terlepas dari adanya larangan hadis yang melarang menggambar wajah manusia, nyatanya Wayang Rai Wong yang tidak persis wajah manusia itulah yang justru diterima para wali songo untuk dijadikan sarana dakwah. Hanya saja sayangnya simbol-simbol pada wayang klasik itu tidak tertangkap oleh masyarakat kita,” ungkapnya menyayangkan.
Namun begitu Bambang tidak mencibir gebrakan Enthus yang baru saja menciptakan wayang yang mencoba kembali direaliskan untuk berwajah sama seperti manusia itu. Bambang hanya berharap, ketika ada wayang baru seharusnya juga lahir sastra baru di dunia pewayangan. Biasanya, selama ini, yang terjadi hanya wayangnya saja yang baru sementara sastranya masih menggunakan yang lama.
Idealnya, menurut Bambang, semua aspek pertunjukan dalam Wayang Rai Wong Ki Enthus Susmono ini juga dikemas baru. “Paling tidak garapan lakon, bentuk sable dan musik iringannya. Bumbu-bumbu sinematografi pun agaknya juga perlu dicoba. Dengan begitu barangkali Wayang Rai Wong ini kemudian bisa menarik minat generasi muda untuk kembali mencintai kebudayaannya sendiri,” tandasnya. (nif)
Orang-Orang pun Bertanya Siapa Sidiq Martowidjoyo
Kolektor lukisan asal Magelang, Jawa Tengah, yang kini barangkali boleh juga disebut sebagai pengamat seni rupa, dr. Oei Hong Djien, muncul di Surabaya. Tepatnya di Gracia Art Gallery, Jl. Raya Bukit Darmo 29, pada selasa malam (21/3). Dia didaulat untuk membuka acara pameran lukisan di sana.
Sebagai sosok yang berpengalaman –telah malang melintang berburu lukisan selama bertahun-tahun– kedatangan Hong Djien cukup menarik kehadiran banyak kolektor pada acara pembukaan lukisan yang sebagian besar diikuti oleh perupa asal Bandung dan sedikit dari Surabaya di malam itu.
Djien memang lebih dikenal sebagai pengamat seni rupa ketimbang sebagai dokter. Maklum, dia telah menyelami seluk beluk seni rupa dari berbagai perupa dan kolektor di berbagai belahan bumi dalam upayanya berburu lukisan sejak masa remaja. Dia telah menjalani aktivitas ini sejak masih kuliah di FK UI di awal tahun 1970-an silam.
Dari situlah jaringan yang luas dengan berbagai perupa, kolektor dan pemilik galeri, baik dari dalam maupun luar negeri, kini dikuasainya. Keasikannya ini membuat Hong Djien yang sempat bekerja sebagai tester tembakau di salah satu pabrik rokok di Jawa Tengah itu kemudian memilih untuk eksis di bidang seni rupa dan menggeletakkan title dokternya begitu saja.
Dari berbagai pengalaman yang dilaluinya inilah Hong Djien memiliki sense tersendiri terhadap karya seni rupa. Lebih dari itu, kini ungkapan apresiasinya terhadap karya seni rupa bahkan banyak ditunggu oleh para kolektor maupun oleh para pelukis itu sendiri. Di bidang ini, Hong Djien sekarang sudah diakui sebagai ‘Empu’.
Oleh karena itu, apapun yang dilontarkan Hong Djien terhadap suatu karya lukisan bisa sekaligus sangat menentukan harga jualnya. Dampaknya, jika dia memuji suatu karya lukisan, meski berapapun nantinya harga yang dipatok oleh pelukisnya, sudah pasti akan tetap diburu oleh para kolektor.
Dalam kaitannya dengan itu, di mana belakangan ini minat mengoleksi lukisan yang awalnya sebagai hobby sudah berkembang menjadi gaya hidup bagi orang kaya, maka beruntunglah para perupa yang karyanya dipuji oleh Hong Djien. Sebaliknya, menangislah para perupa yang karyanya dicibir Hong Djien.
Barangkali karena itu, dalam kesempatan di Gracia Art Gallery, orang-orang pun, terlebih para kolektor dan pelukis, langsung khusuk begitu Hong Djien mulai melontarkan kata-kata sambutannya. Malam itu, Hong Djien menekankan pidatonya tentang minimnya pelukis Indonesia yang bisa menembus pasar dunia. Jika dibandingkan dengan Cina, yang menurut Hong Djien merupakan barometer pasar seni lukis Asia, pelukis Indonesia bisa dibilang tidak ada apa-apanya.
“Hampir setiap bulan Cina selalu melahirkan pelukis baru yang diundang untuk memamerkan karyanya di salah satu galeri di kota New York, Amerika Serikat. Sementara pelukis kita, sejak era Orde Baru hingga sekarang, bahkan boleh dibilang tak ada satu pun yang mampu menerobos masuk dalam bursa seni rupa dunia,” begitu kira-kira Hong Djien.
Tapi untungnya, Hong Djien menambahkan, ternyata masih ada pelukis Indonesia yang mampu menembus kebuntuan ini. “Bulan lalu saya menjumpai karyanya dipamerkan di salah satu galeri di Cina. Lukisannya bagus sekali. Yaitu tentang kaligrafi Cina. Kalau tidak ada halangan, rencananya dalam waktu dekat, dengan rekomendasi dari galeri di Cina yang memamerkan karyanya itu, dia dijadwalkan untuk berpameran di New York,” terangnya.
Menurut Hong Djien, pelukis yang dimaksudnya ini sebenarnya sudah lama melukis namun mengaku sengaja tidak pernah keluar (maksudnya berpameran di tanah air, red) selama masa pemerintahan Orde Baru. Sebab rezim Orde Baru ketika itu terkenal sangat represif terhadap karya-karya yang berbau Cina.
“Adapun nama pelukisnya adalah Sidiq Martowidjoyo. Dia berasal dari Jogjakarta,” tandasnya seraya mempromosikan pelukis yang baru saja diceritakannya ini. Sontak orang-orang yang hadir di Gracia Art Gallery pada malam itu langsung bertanya-tanya tentang siapa Sidiq Martowidjoyo dan seperti apa karyanya. Terlebih nama pelukis tersebut tidak turut serta dalam pameran yang dijadwalkan berlangsung selama sebulan (21 April – 21 Mei 2006) di Gracia Art Gallery itu.
Namun demikian, sudah dapat dipastikan sejak malam itu pun para kolektor yang hadir di sana akan langsung berlomba untuk berburu segala lukisan yang berbau Sidiq Martowidjoyo seperti yang telah disebut-sebut oleh sang ‘Empu’ Hong Djien tadi. (nif)
Kota Pahlawan Tanpa Soekarno-Hatta
Predikat Kota Pahlawan yang dianugerahkan Pemerintah Republik Indonesia (RI) kepada Kota Surabaya bukannya asal jeplak begitu saja. Gelar itu dipersembahkan atas peristiwa yang sangat penting dalam sejarah bangsa Indonesia yang terjadi di Surabaya. Yaitu heroisme Arek-arek Suroboyo dalam mempertahankan kemerdekaan RI dari gempuran sekutu pada pertempuran 10 November 1945 silam. Hari terjadinya peristiwa itu sendiri kemudian setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Masyarakat Surabaya (seharusnya) patut berbangga atas julukan Kota Pahlawan pada kotanya. Terlebih, dari sekian kota yang ada di seluruh dunia, cuma kota inilah yang mendapat sebutan Kota Pahlawan. Dengan kata lain, Surabaya adalah satu-satunya Kota Pahlawan di dunia.
Kini, 60 tahun sembilan bulan sudah Indonesia merdeka dan pada bulan ini Kota Surabaya genap merayakan hari jadinya yang ke-713. Namun, seperti yang terlihat sekarang, kota ini sama sekali tak mirip seperti Kota Pahlawan.
Ini karena Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, dari tahun ke tahun, mengembangkan pembangunan di kota ini tanpa pernah memperhatikan aspek sejarah bangsa. Akibatnya, wajah Surabaya kini sudah berubah seiring dengan masuknya penduduk pendatang yang dalam dua puluh terakhir telah mendominasi sekitar 60% dari warga asli.
Dalam catatan Pakar Tata Kota, Prof. Ir. Johan Silas, dulu Surabaya punya corak kampung yang khas –yang tak mungkin dijumpai di kampung-kampung manapun di kota lain– di mana di setiap kampung bisa dijumpai sejumlah makam yang tak lain adalah makam para pahlawan yang berasal dari masing-masing kampung tersebut. Simbol perjuangan Kota Pahlawan ini, dulu, tercermin dari makam para pahlawan di kampung-kampung itu.
Tapi Pemkot Surabaya kemudian memilih melokalisasi makam-makam para pahlawan yang berserakan di kampung-kampung itu ke suatu tempat. Johan Silas adalah salah satu penduduk di kota ini yang paling getol menentang rencana Pemkot ketika itu.
Nyatanya, kini Taman Makam Pahlawan yang terletak di Jl. Mayjend Sungkono, sebagai realisasi dari upaya lokalisasi itu, jadinya malah bersandingan dengan restauran cepat saji asal Amerika Serikat, Mc Donald. Ini, menurut Johan Silas, semakin menghilangkan kekhasan Kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan.
Jati diri Kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan semakin sirna dengan hancurnya sejumlah bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang memiliki nilai sejarah tinggi. Sebut contoh Hotel Centrum di Jl. Bubutan dan Kompleks Gedung Sentral di Jl. Tunjungan. Lebih parah lagi, beberapa bangunan peninggalan kolonial bahkan ada yang sengaja dirombak dan digantingan dengan bangunan baru, seperti yang terjadi pada Stasiun Semut, Rumah Sakit Mardi Santoso dan Toko Nam.
Padahal, jenis-jenis arsitektur pada gedung-gedung peninggalan kolonial tersebut, dalam pengamatan Ketua Jurusan Arsitektur Universitas Petra, Timoticin Kwanda, memiliki aliran Neo-Gotik, Neo-Renaissance, Neo-Klasik, Nieuwe Kunst (Art Nouveau versi Belanda), Amsterdam School dan Destijl yang unik dan berbeda dari bentuk-bentuk bangunan eropa klasik yang berdiri di negeri lain.
“Karya bangunan-bangunan peninggalan kolonial, baik bangunan umum maupun rumah tinggal, yang ada di Indonesia ini telah disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya dan iklim setempat. Jika dibandingkan dengan bangunan berarsitektur modern yang sekarang, arsitektur pada bangunan peninggalan kolonial ini jauh lebih sesuai dengan kondisi iklim di Indonesia,” demikian Timoticin.
Sebaliknya, bangunan-bangunan real estate baru yang bercorak Eropa (yang bentuk arsitekturnya jauh dari bangunan-bangunan seperti peninggalan kolonial Belanda) justru semakin marak di kota ini. Ditunjang oleh nama-nama kawasan yang Asal British pada real estate tersebut, semakin menjauhkan Kota Surabaya dari Kota Pahlawan.
Ambil contoh: pada kawasan real estate Laguna Indah, milik Pakuwon Group, yang baru saja selesai dibangun, selain memberi warna bangunannya dengan model arsitektur eropa, nama-nama kawasannya juga dinamai dengan nama-nama asing yang sama sekali tak ada hubungannya dengan sejarah bangsa Indonesia. Seperti San Antonio, San Diego, Sorrento, Westwood, Riviera, Royal, Virginia dan masih banyak lagi.
Ironisnya, sementara nama-nama asing banyak bertebaran menjadi nama kawasan, justru nama Proklamator Kemerdekaan RI sama sekali tak dapat dijumpai di kota ini. Untuk diketahui, dari total 156 nama pahlawan –yang terdiri dari 106 Pahlawan Nasional dan 50 pahlawan lokal– yang terdaftar oleh Pemerintah RI, Kota Pahlawan ini hanya mengabadikan 39-nya saja. Yaitu 29 pahlawan nasional dan 10 pahlawan lokal yang semuanya dijadikan nama jalan.
Jika ini dibiarkan, sedikit jumlah pahlawan yang telah diabadikan menjadi nama jalan di Kota Pahlawan ini dalam waktu dekat bisa tergeser oleh dominasi nama-nama asing yang sama sekali tak punya kaitan dengan sejarah bangsa. Tidak adanya aturan –entah itu UU atau Perda– yang mengatur soal pentingnya aspek historis dalam membangun kota ini sangat memungkinkan hal itu terjadi.
Tidak adanya aturan itu membuat selama ini semua investor yang membangun real estate di Kota Pahlawan ini merasa dibebaskan untuk memilih kreasi sesuai dengan keinginannya dalam mengisi ruang terbuka kawasannya –entah itu taman atau patung– dengan nama apa saja. Karenanya nama-nama asing di sejumlah kawasan belakangan ini mulai bermunculan satu per satu. Dalam penilaian budayawan Abdul Hadi WM, semua itu terlanjur terjadi karena pemerintah tidak memiliki politik kebudayaan yang jelas. (nif )
Sampai Kapan Seniman Muda Harus Menunggu?
Ketika Djuli Djatiprambudi ditunjuk sebagai salah satu kurator Pra Bali Biennale 2005 untuk wilayah Surabaya/ Jawa Timur (Jatim), banyak penikmat seni berharap bisa memunculkan seniman muda ke pentas nasional.
Terlebih, Pra Bali Biennale 2005, meski baru pertama kali ini digelar, merupakan serangkaian acara seleksi dari Summit Event Bali Biennale yang ditargetkan menjadi peristiwa internasional bagi seniman tanah air demi menembus jenjang seni rupa tingkat dunia. Proses seleksinya, Pra Bali Biennale 2005, selain di Surabaya, juga digelar di Kota Malang, Jogjakarta, Semarang dan Jakarta.
Harapan tadi terbesit karena dari berbagai even kesenian yang digelar di Jawa Timur, sejak lebih dari dasawarsa terakhir – sebut Festival Seni Surabaya dan Festival Cak Durasim, misalnya, yang sudah diangap bertaraf nasional – tak pernah melahirkan satu pun seniman muda lokal (Jatim) berbakat di kancah kesenian nasional.
Nah, kebetulan Pra Bali Biennale 2005 untuk wilayah Surabaya/ Jatim dikuratori oleh Djuli Djatiprambudi yang juga berasal dari Jatim (kelahiran Tuban, 12 Juli 1963) di mana reputasinya sudah dianggap setingkat nasional. Untuk itu, maka kali ini, lewat ajang Pra Bali Biennale 2005, Djuli diharapkan tergugah kesadarannya untuk bisa memecah kebuntuan tentang lahirnya seniman muda (perupa khususnya) asal Jatim selama ini. Tapi, apa lacur, Djuli kemudian ternyata meloloskan seniman-seniman Jatim yang itu-itu saja.
Dengan demikian pupus sudah harapan perupa muda Jatim untuk ikut unjuk kebolehan pada Summit Event Bali Biennale di penghujung tahun nanti. Sebab, Djuli, sang kurator untuk wilayah Surabaya/ Jatim, seperti yang telah diumumkan kepada publik di Gedung Utama Balai Pemuda Surabaya dua pekan lalu, sudah menunjuk nama-nama seniman yang sudah tidak asing lagi seperti Asri Nugroho (53 tahun), Dwijo Sukamto (53), Slamet Hendri Kusumo (51), Ojite Budi Sutarno (45) dan Rilantono (45) sebagai wakil Jatim pada ajang itu.
Padahal, tercatat sedikitnya tujuh seniman muda yang umurnya masih jauh dibawah 40 tahun dengan karyanya-karyanya, seperti yang telah dipamerkan di Gedung Balai Pemuda pada tanggal 9 – 15 September lalu, terbukti perlu dipertimbangkan dengan karya-karya para kontestan Pra Bali Biennale 2005 lainnya yang lebih tua.
Sebut Tony Jafar (29 tahun), Jopram (30), E.Y Fibri Andriantono (31), Isa Anshory (32), Fadjar Djunaedi (35), Gatot Pudjiarto (35) dan Agung Suryanto Tato (35). Karya-karya mereka tidaklah memalukan jika disandingkan dengan karya-karya pelukis gaek yang dimenangkan Djuli.
Tak ayal, seperti yang sudah-sudah dalam even kesenian lainnya (di Jatim khususnya), muncul kontroversi pula dalam ajang Pra Biennale 2005 ini. Utamanya yang menyerang pribadi Djuli sebagai kurator, tentu saja, yang (lagi-lagi) tidak mengangkat seniman muda Jatim ke permukaan.
Terlebih, nama-nama seniman yang dimenangkan Djuli adalah teman-teman dekatnya sendiri. Barangkali tentang tuduhan yang satu ini terlalu berlebihan bagi seorang kurator sekelas Djuli. Seperti yang ditepis Saiful Hadjar (46 tahun), salah satu dari total 25 seniman kontestan Pra Bali Biennale 2005 untuk wilayah Surabaya/ Jatim. “Saya tidak yakin Djuli sebagai kurator yang sudah punya nama besar memilih pemenang dari teman-temannya sendiri,” katanya.
Menurutnya, malah yang lebih berperan dalam proses kurasi untuk menentukan pemenang adalah pihak pemilik modal, dalam hal ini adalah Gracia Art Galeri sebagai penyelenggara (Venue Partner) Pra Bali Biennale 2005 untuk wilayah Surabaya/ Jatim. Pihak penyelenggara, jelas Saiful, kira-kira tidak mau ambil resiko dalam aspek jual beli. Dalam campur tangan yang satu ini, Saiful menegaskan, jangankan kurator setingkat Djuli, kurator sekelas Jim Supangkat pun tidak bisa berbuat apa-apa.
“Pemilik modal bisa melihat lukisan mana yang lebih laku dijual dengan harga mahal. Untuk itu, selalu saja turut menentukan dan yang dimenangkan sudah pasti para pelukis dengan jam terbang tinggi. Cara-cara seperti ini sudah sejak lama terjadi. Setiap even selalu saja begitu. Sudah bukan rahasia lagi. Mereka selalu mengebiri proses kreatif anak muda,” terangnya. “Sudahlah, pada intinya, semua even, termasuk Pra Bali Biennale 2005, adalah jualan lukisan,” timpalnya kemudian.
Sudah Diatur
Sebenarnya, Saiful menambahkan, kalau mau ditelaah lebih jeli lagi, permainan antara pihak penyelenggara dan kurator sudah bisa ditebak dengan membaca katalognya. Dalam pengantar katalog yang ditulis oleh kurator Djuli Djatiprambudi dan Syarifuddin, halaman 12 – 15, yang dibahas lebih rinci adalah lukisan para pemenang. Sementara nama-nama pelukis lainnya hanya ditempelkan begitu saja. “Dari sini sudah bisa ditebak bahwa para pemenang sepertinya sudah diatur sebelumnya,” terangnya. Dugaan ini dirasakan pula oleh Agus Koecink (38), peserta Pra Bali Biennale 2005 lainnya, begitu menerima katalognya yang belakangan ternyata terbukti benar.
Koecink juga sependapat tentang adanya timbal balik antara pihak penyelenggara dan kurator dalam hubungannya dengan jualan lukisan. Namun begitu, Koecink berpendapat bahwa sebenarnya itu bukan masalah. Pasalnya sudah menjadi kuasa kurator untuk menentukan pemenang. “Tidak masalah kurator menentukan pemenang dengan nama-nama seniman yang sudah ternama. Asal dengan catatan; harus ada ide atau gagasan yang diimbangi dengan cara penyampaiannya dalam karya-karya itu sehingga bisa memberi wacana baru,” katanya.
“Tapi yang lebih penting di sini adalah kita punya generasi muda. Maksud saya, kita punya generasi baru yang bisa dimunculkan. Sudah waktunya untuk memunculkan anak muda. Ini penting dalam hubungannya dengan berproses. Dengan begitu kita bisa melihat wacana apa yang ditawarkan oleh anak muda itu lewat karya-karyanya,” imbuhnya.
“Kita punya Isa Anshori dan Jopram, misalnya. Saya yakin anak-anak muda ini kalau disuruh menggambar lagi (dengan bimbingan kurator) masih bisa menghasilkan lukisan yang lebih maksimal lagi. Dalam Pra Bali Biennale 2005 ini, selain lima lukisan seperti yang telah dipamerkan, bukankah dengan bimbingan kurator kemudian pemenangnya disuruh membikin satu lukisan lagi untuk dibawa ke puncak acara Bali Biennale nanti. Nah, kenapa tidak dimunculkan saja salah satunya dari para peserta yang masih muda ini?,” demikian Koecink menyesalkan kurator yang sama sekali tidak menoleh pada karya seniman muda Jatim.
Yang jadi soal, masih menurut Koecink, adalah pengertian ‘Discourse’ – tema yang diusung dalam Pra Bali Biennale 2005 – itu sendiri. “Sepertinya terjadi bias di antara peserta dan kurator dalam memaknainya. Temanya menyangkut kebudayaan dari luar Bali. Tapi kalau ngomong soal wacana Urban, saya lebih srek dengan karyanya Isa Anshori yang diberi judul Bath Tub. Artistiknya bagus. Dia mengusung Bath Tub yang sudah menjadi barang konsumtif orang-orang di kota ke tengah sawah. Menurut saya, Isha Anshori lebih mengena untuk mewakili seniman muda Jatim dalam Pra Bali Biennale 2005 ini,” ungkapnya.
Sementara itu, Agung Suryanto Tato lebih menyesalkan pada proses kurasi oleh para kurator yang tidak turun langsung ke ‘bawah’. “Seharusnya kurator turun langsung melihat sendiri lukisan para peserta dan menunjuk lukisan mana saja yang layak diikutkan seleksi Bali Biennale sekaligus untuk dipamerkan. Tapi ini tidak. Kurator mempersilahkan sepenuhnya kepada para peserta untuk memilih lukisannya sendiri. Lalu cuma dari karya-karya yang diusung di pameran itu saja kurator bekerja. Padahal kurator tidak bisa menilai seorang seniman hanya dengan melihat dari segelintir karya saja,” keluhnya.
Lebih lanjut Tato mengisahkan bahwa dalam Pra Bali Biennale 2005 ini kurator hanya memberi ketentuan minimal membawa lima lukisan dengan batasan ukuran maksimal 2 x 2 meter. “Ketentuan dan batasan ini tentu merugikan pelukis pemula yang sama sekali tidak berpengalaman mengikuti even besar. Mereka mengumpulkan lukisan dengan ukuran biasa yang jauh dari ketentuan maksimal. Mereka mana tahu kalau pelukis yang sudah berpengalaman ternyata berlomba-lomba membikin lukisan dengan ukuran maksimal (2 x 2 meter). Ini membuat lukisan yang disertakan oleh para pelukis pemula semakin tenggelam,” jelasnya.
Tato mengaku selama pameran berlangsung dirinya tidak merasa kalau Pra Bali Biennale 2005 ini pemenangnya sudah diatur sejak awal. Dia justru baru menyadarinya setelah membaca pengantar kurator (oleh Djuli Djatiprambudi dan Syarifudin) dalam katalog. Itu pun setelah mendengarkan para pemenang yang diumumkan langsung oleh Djuli Djatiprambudi.
Lalu Tato teringat dengan pernyataan Dwijo Sukamto tentang pelukis muda dalam diskusi yang digelar di sela-sela acara pameran Pra Bali Biennale 2005 di Gedung Utama Balai Pemuda. Saat itu Dwijo terang-terangan mengungkap bahwa kebanyakan pelukis yang sudah tenar memang tidak mau disandingkan dengan pelukis yang masih berbau kencur. Pun Dwijo mengaku bahwa sebenarnya tidak sudi pula kalau karyanya dipamerkan berbarengan dengan pelukis muda seperti dalam Pra Bali Biennale 2005 ini.
Menurut Dwijo, suatu even kalau mengundang pelukis besar maka selayaknya tidak perlu melibatkan pelukis muda. Begitu juga sebaliknya, even yang mengetengahkan pelukis muda tidak perlu mengajak yang sudah tua. “Melahirkan seorang pelukis tidak bisa dengan cara instan begini,” begitu alasannya. (nif)
Balada Kasikan
Musium Rekor Indonesia (Muri) harusnya mencatat nama Kasikan ke dalam buku rekornya. Kakek renta berusia 76 tahun ini menjadi tahanan titipan Polda Jatim di Mapolsek Krian, Sidoarjo. Dengan demikian ia menjadi tahanan tertua, setidaknya di Mapolsek Krian.
Beruntung ada yang menebusnya, sehingga ia hanya mendekam di balik terali selama seminggu – ditangkap hari Senin (7/2), dibebaskan hari Minggu (13/2). Seharusnya ia menghadapi tuntutan 2 tahun penjara oleh karena terbukti menjual returan tabloid porno (pasal 282 KUHP – soal pornografi).
Sekadar diketahui, Kasikan tak lain adalah mertua Singgih Sutoyo (Raja Media Porno Indonesia yang telah berkali-kali diberitakan Sapujagat sejak 2003 dan sampai hari ini masih licin dari jerat hukum). Dengan kata lain, Kasikan adalah bapak (tiri) Kuniwati Rahayu, istri Singgih Sutoyo.
Kebetulan Kasikan memang tinggal bertetangga dengan Singgih di Desa Wonokupang, Balongbendo Sidoarjo – di mana letak industri pornografinya (berikut percetakannya) yang diberi label Top Group Media juga berkantor tak jauh dari sana.
Adapun pekerjaan sehari-hari Kasikan hanyalah menghabiskan hari tuanya dengan duduk-duduk minum kopi sambil menghisap rokok kretek di depan pintu gerbang kantor milik sang menantu yang memproduksi berbagai Tabloid Panas – seperti Hot, X Tra, Sexy, Blitz, Top, Buah Bibir, On Line dan masih banyak lagi.
Tiap pagi duduk-duduk di sana dengan tumpukan returan produk pornografi di sekitarnya. Pun tak sedikit anak-anak kecil yang lewat di sana merengek-rengek kepadanya minta dikasih tabloid bergambar wanita telanjang yang sebagian besar berserakan di lantai itu. Kasikan sungguh baik hati, dengan ringan tangan ia memberinya tanpa memungut biaya sepeser pun.
Jangankan minta sebuah, minta segebok pun pasti dikasih sama Pak Tua yang dikampungnya akrab dipanggil Abah ini. “Untuk apalagi barang returan ini?” begitu kira-kira yang ada dibenaknya saat membagi-bagi gratisan barang dagangan menantunya ke setiap orang yang memintanya.
Usut punya usut, returan pornografi yang diberikan secara cuma-cuma ini ternyata dijual kembali secara eceran di jalan-jalan raya oleh anak-anak itu, pada umumnya di kawasan yang ada lampu merahnya. Jika tabloid itu masih baru harga per-eksemplarnya Rp. 3000-an, maka returannya oleh anak-anak itu dijual kembali dengan banting harga Rp. 500-an, atau Rp. 1000 dapat tiga. Keuntungan finansial dipihak anak-anak. Lumayan, buat tambahan uang jajannya.
Tapi nahas buat Kasikan. Hari minggu awal Februari lalu (6/2), salah seorang anak yang menjajakan returan eceran itu dicokok petugas Polda Jatim. “Ambil dari mana kamu, barang-barang ini?,” bentak penyidik di Mapolda Jatim. Mumpung belum dihajar habis-habisan, langsung saja anak itu menunjuk ke Abah Kasikan.
Tidak begitu sulit. Esoknya (7/12), pas adzan Lohor, Kasikan pun digiring oleh petugas serse saat mau sholat di Langgar yang terletak di samping rumahnya, Desa Wonokupang, Balongbendo, Sidoarjo. Selanjutnya ia diangkut Mobil Panther menuju Mapolda Jatim Jl. A Yani Surabaya. Sambil menunggu berkasnya sempurna (P21), Kasikan kemudian dipindahkan ke Mapolsek Krian.
Kuniwayati Rahayu yang dikampungnya biasa disapa Yayuk tentu kalang kabut menyaksikan ayahnya ditangkap. Ia langsung menelpon suaminya, Singgih Sutoyo, yang sejak salah satu tabloidnya (Buah Bibir) kesandung pasal pornografi lebih milih untuk banyak tinggal di Jakarta. “Pa, sini pulang, Abah ditangkap,” kata Yayuk. “Emoh, aku wedhi,” jawab Singgih dari seberang telepon.
Maklum, Singgih adalah target utama dalam pemberantasan pornografi ini. Terlebih, sejak awal Januari lalu, DPRD Jatim telah merekomendasikan kepada Kapolda Jatim untuk menangkapnya. Tentu saja ia takut ikut ditangkap pula jika pulang.
Lalu, bagaiamana nasib mertuanya di Tahanan Mapolsek Krian? Dari ruang pengap tahanan Polsek Krian, Kasikan sempat mengaku sedih kepada salah seorang yang membesuknya. “Apes nian nasibku ini. Ketika teman-temanku baru tiba dari pergi haji dengan wajah cerah penuh harap, aku kok malah dipenjara,” ungkapnya.
Namun belakangan, informasi terakhir yang diterima redaksi Sapujagat, Kasikan akhirnya dibebaskan pada hari Senin (14/2) tanpa harus menunggu P21-nya rampung. Belum diketahui siapa yang menebusnya. Juga tidak jelas pula berapa harga tebusannya. (nif)
Ketika Orang-orang Menangisi Hidupnya
Di tengah kegalauan hidup di kota dengan struktur besar–ketika rakyat memimpikan demokrasi dan negerinya dipimpin oleh saudagar yang ketika melihat rakyatnya sedang antri minyak tanah dianggap hal yang lumrah seperti halnya nonton bioskop juga harus antri tiket– (almarhum), Amang Rahman berjalan terus dengan segala kesepiannya.
Menarik mengikuti Jejak Amang Rahman, pameran lukisan yang memang digelar untuk mengenang seniman nasional beraliran surealis asal Surabaya ini di Gedung Utama Balai Pemuda selama sepekan, 28 November – 2 Desember lalu. Karya-karyanya tampak begitu sederhana. Puisinya juga pendek-pendek. Warna-warna yang dipilihnya di atas kanvas (paling banyak kaligrafi) pun kebanyakan bernuansa lembut di mata. Itu menjadi ciri khasnya dan sudah cukup membawa imaji para pengunjung pameran ke suasana kontemplasi.
Jika ditarik pada pribadi Amang Rahman dengan kondisi serba susah yang melanda negeri ini –seperti yang masih dirasa sampai hari ini– ada banyak hal yang bisa dipetik dari pameran itu. Utamanya tentang kegigihan perjalanan seorang manusia (Amang Rahman) dalam menghadapi pahitnya realita kehidupan.
Terlebih ketika selama pameran berlangsung kemudian terlontar sejumlah pengalaman tentang sisi lain (di luar kesenimanan) Amang Rahman dari sejumlah teman yang pernah dekat dengannya. “Amang Rahman ini pandai menjahili orang lain tanpa membuat yang bersangkutan marah. Justru sebaliknya, atas ulah Amang ini malah membuat yang bersangkutan jadi tertawa terpingkal-pingkal,” kata sesepuh Kota Surabaya, Cak Kadaruslan, saat didaulat memberi sambutan sebagai teman terdekat Amang Rahman di hari pembukaan pameran (28/ 11).
“Aneh kan, orang disakiti sampai terkaget-kaget kok malah tertawa,” tambahnya. “Yang dijahilinya pun mulai dari orang biasa sampai pejabat setingkat walikota,” terangnya. Cak kadar kemudian mengisahkan, pernah suatu ketika dia sedang jalan-jalan bareng lalu tanpa direncanakan sebelumnya tiba-tiba Amang mengajaknya belok ke rumah walikota. “Dipencetnya bel rumah walikota. Kok ya untungnya kami berdua diterima, dipersilahkan masuk dan dijamu makan malam,” kenang Cak Kadar.
Dalam kesempatan lain, masih menurut penuturan Cak Kadar, pernah almarhum iseng menelepon rumah walikota, mengabarkan bahwa keluarga walikota ada yang sakit keras dan sedang dirawat di rumah sakit. Tentu walikota kaget dan sontak bertanya: “Siapa yang sakit?” “Saya,” jawab Amang kemudian dari seberang telepon dengan nada sedikit tersipu.
Cak Kadar mewanti-wanti, khusus tentang tingkah laku Amang yang baru saja diceritakannya ini tidak untuk ditiru. Sebab cuma Amang yang bisa melakukannya. Memang begitulah cara Amang menghibur diri dari pahitnya hidup dan dengan begitu dia bertahan hidup.
Cerita lain, pernah pagi sekali Amang muncul di kantor redaksi Mingguan Mahasiswa (sekarang Harian Memorandum, red) dengan tergopoh-tergopoh sembari berteriak dari kejauhan: “Ada berita besar, ada berita besar…”. Teriakannya ini tentu menarik perhatian sejumlah wartawan di kantor itu yang sedang bergegas mencari berita. “Berita apa?,” tanya salah satu wartawan di sana yang spontan terperanjat begitu melihat Amang nongol dengan nafas terengah-engah. Sejenak Amang mengatur nafasnya lalu menjawab lirih: “Saya belum sarapan”. Para wartawan punlangsung gerrr. Lalu mengajaknya sarapan bersama.
Dalam catatan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), seperti yang dituangkan dalam bukunya, Demokrasi Tolol Versi Saridin (1999), adapun orang yang paling sering dijahili Amang tak lain adalah isterinya sendiri. Seringkali sang isteri dibuat jengkel bukan main oleh tingkah laku suaminya, tulis Cak Nun. Bayangkan, Amang Rahman “wajib” pulang dini hari. Tapi Amang sudah punya 1001 alasan untuk setiap kali pulang kelewat malam tanpa harus membuat isterinya marah ketika membukakan pintu untuknya. Misalnya, sambil mengetuk pintu jam 3 pagi, Amang berteriak: “Cepat bukakan pintu, Dik, martabaknya keburu dingin!” Tapi ternyata ketika pintu dibuka, Amang tidak membawa apa-apa. Dia hanya menunjuk ke arah celananya sembari berkata: “Ayo cepat masuk kamar! Selak Adem!”
Di mata Cak Nun, Amang adalah kawan yang kemethak. Sisi lainnya, masih menurut Cak Nun di buku itu, Amang Rahman adalah lelaki tua yang tak pernah berhenti ndagel namun kejiwaannya sangat sufistik. Ditambahkan pula, betapa beruntungnya isteri Pak Amang dianugerahi Allah suami yang membuatnya tak pernah berhenti tertawa meskipun beras jelas-jelas sudah habis dan uang sekolah anak-anak entah harus dihutangkan pada siapa lagi (halaman 21).
Melawan dengan Caranya Sendiri
Pengamat social, politik dan budaya, Prof. Hotman Siahaan, saat memberi ceramah kebudayaan di sela-sela acarapameran Jejak Amang Rahman ini, hari Kamis (1/12), membuka pidatonya dengan memori tentang Amang yang pernah bersinggungan langsung dengannya ketika Amang Rahman akan memasukkan salah satu anaknya ke bangku SD dan sama sekali tidak punya uang.
“Tengah malam Pak Amang datang ke rumah membawa sebuah bingkisan dan berkata: “besok Ilham (anaknya, red) harus masuk sekolah dan saya tidak tahu bagaimana caranya,” lalu dia pulang,” kenang Hotman.
Bagi Dekan FISIP Unair ini, Amang Rahman adalah sosok kebudayaan. Seorang Amang dengan segala perilakunya mengingatkan Hotman pada pemikir Antoni Gidden, yang menelurkan teori strukturasi: ada struktur yang mengatur dan manusia sebagai aktor bisa menjadi agensi yang merombak struktur itu.
“Ini struktur besar, katakanlah, dari kota ini. Manusia sebagai agensi bisa merombaknya. Jawa Timur sebagai struktur gagal dirombak oleh para aktornya karena selalu kalah oleh struktur nasional. Struktur kita tidak memberi tempat yang layak pada kesenian. Lalu dibentuk lembaga. Padahal tidak ada orang yang dibesarkan oleh lembaga. Lembaga semacam Dewan Kesenian Surabaya (DKS) misalnya, malah justru dibesarkan oleh pendirinya (Amang Rahman salah satu pendiri DKS, red),” demikian Hotman mencoba menjelaskan tentang Teori Strukturasi.
Jadi, menurut Hotman, ada kaitan antara struktur dengan aktornya. Amang Rahman sebagai aktor menjadi agensi yang mampu merombak struktur sehingga dia punya tempat di kota ini. “Amang Rahman berhasil mengubah struktur, bukan berarti struktur berubah mengikuti dia. Tapi dia punya tempat dalam struktur itu. Dia melawan struktur dengan caranya sendiri,” terangnya.
Hotman menandaskan, seorang Amang Rahman, sejauh yang dikenalnya, tidak peduli keadaan. Dia juga tidak pernah menyalahkan orang lain. Pun ketika banyak orang hanyut dengan arus struktur yang menekan, ketika orang-orang menangisi hidupnya, Amang Rahman tidak. Ia bahkan menertawakan hidupnya. Dia tetap bertahan di Kota Surabaya menjadi seniman justru ketika struktur besar di kota ini melawan seluruh kiprah kesenian.
Tidak jauh-jauh, Hotman memberi contoh tentang ganasnya struktur besar yang melanda kota Surabaya pada dirinya sendiri ketika ikut mendirikan Akademi Seni Surabaya (Aksera). “Saya gagal membangun Aksera di tengah-tengah kota yang begitu cair. Aksera terus menghilang sampai sekarang sebab secara struktur memang tidak bisa dilawan lagi,” paparnya. Lebih lanjut Hotman mencontohkan, banyak seniman Surabaya yang ketika menyadari struktur di kota ini sama sekali tidak mendukung iklim keseniannya lalu hijrah dan berkesenian di kota lain. Bahkan banyak pula yang kemudian banting setir beralih ke profesi lain.
Hotman menambahkan, dalam hal ini lalu orang Surabaya beranggapan merasa kalah dengan orang Jakarta. Padahal tidak. “Ini hanya karena kita tidak mendapat tempat di kota ini. Untuk itu, sebagai peristiwa kebudayaan, menempatkan Amang Rahman bukanlah main-main. Setidaknya Amang Rahman telah menjawab seluruh persoalan yang dihadapi dengan dirinya. Ia menjadi sejarah di kota ini. Di kota yang tidak memberi tempat, dia eksis. Karya-karyanya menjadi teks yang bisa dibuat untuk melawan struktur,” ujarnya. (nif)
Lupakan Predikat Kota Pahlawan, Patung Penjajah Bertebaran di Surabaya
Protes warga kota yang menginginkan Surabaya kembali ke bentuk jati dirinya yang semula, sebagai satu-satunya kota pahlawan di dunia, akhirnya terabaikan. Sebab, Citra Raya; The Singapore of Surabaya, yang menempatkan patung penjajah Sir Thomas Stamford Rafless setinggi 5 meter sebagai ikonnya itu sudah diresmikan pekan lalu. Agaknya, Surabaya sudah disingapurakan.
Dikukuhkan lewat acara The Colours of Nature, Jumat malam(18/6), disaksikan sedikitnya 2000 undangan yang sebagian besar merupakan customer dan rekanan prospek Citra Raya, perumahan elit (real estate) yang terletak di kawasan Surabaya Barat itu pun resmi menjadi Singapura-nya Surabaya (seperti slogan yang sudah lama dijanjikan oleh pihak pengembang bagi customernya: Citra Raya, The Singapore of Surabaya).
Turut hadir dalam pesta kebun berkarpet merah di sepanjang Bukit Telaga Golf Citra Raya itu: perwakilan dari Kedutaan Besar Singapura, Lem Wei Siong dan Raja Real Estate, Ciputra. Dalam perayaannya yang dimeriahkan oleh Penyanyi ABG yang karirnya sedang naik daun, Agnes Monica, ini juga dimanfaatkan untuk mempromosikan tujuh produk real estate dari Citra Raya.
“Acara ini sebagai ucapan terimakasih kepada semua pihak yang mendukung Citra Raya dan sekaligus untuk memantapkan Citra Raya sebagai The Singapore of Surabaya,” demikian Cindy Olivia, Manager Promotion Citra Raya.
Seperti ramai diberitakan di Surat Kabar terbitan Surabaya belakangan ini, Citra Raya sebelum peresmiannya (bahkan sampai sekarang) sering diprotes sebagian besar warga kota karena menempatkan Patung Rafless sebagai ikonnya. Sekadar tahu saja, Sir Thomas Stamford Rafless yang dipatungkan dan bahkan dijadikan ikon di Citra Raya itu adalah Gubernur Jenderal Inggris saat menjajah Indonesia dulu. Dialah pula yang mendirikan Kota Singapura.
Sekadar informasi lagi, di kawasan Citra Raya itu juga berdiri patung Merlion (ikan berkepala singa, lambang khas Singapura), tugu air mancur dan monument yang tidak jelas diperuntukkan untuk mengenang siapa atau memperingati apa. Pokoknya, demi mewujudkan slogan Citra Raya: The Singapore of Indonesia di perumahan itu, patung-patung dan taman yang ada di Singapura pun semuanya diusung ke Citra Raya. Nahas bagi pihak pengembang, karena bangunan-bangunan di Citra Raya yang asal jiplak dari Singapura itu kemudian dianggap tidak sesuai dengan aspek histories terbentuknya kota ini.
“Taman-taman yang tidak sesuai dengan sejarah bangsa, termasuk nama-nama asing jangan sampai menjadi klasemen tersendiri di kota ini. Biarlah kota ini marak dengan namanya sendiri sesuai dengan sejarah berdirinya kota ini,” kata Karsono, Ketua Dewan Harian Cabang (DHC) Angkatan 45 Surabaya seraya mengecam Jl. Darmo Boulevard sebagai salah satu nama jalan di kawasan itu.
Karsono menambahkan, ada satu lagi patung sepasang orang barat berlainan jenis disana (Citra Raya, red) yang juga tidak jelas. “Sepertinya sih sedang menari balet. Tapi, menurut orang awam yang lewat disana menganggapnya sebagai patung mentil. Sebab, patung itu terlihat seperti layaknya orang perempuan bertelanjang dada sedang menggeliat dipeluk laki-laki yang mengangkat mukanya seraya meraih buah dada perempuan itu,” terangnya.
DHC Angkatan 45 Surabaya adalah salah satu pihak dari warga kota ini yang terusik dengan konsep The Singapore of Surabaya di Real Estate Citra Raya. Selain itu, yang giat melancarkan protes lewat pernyataannya di koran-koran adalah Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dan Tim Cagar Budaya Kota Surabaya. Ketiga elemen ini pekan lalu menyatakan sikap protesnya atas bangunan-bangunan yang tidak jelas di Citra Raya lewat jumpa pers bersama di Pusura, Jl. Yos Sudarso Surabaya.
Pendiri Putra Surabaya (Pusura), Kadaruslan, juga salah satunya yang paling getol memprotes bangunan-bangunan itu. Kepada wartawan Sapujagat, ia mengeluhkan mahasiswa Universitas Surabaya (Unesa) di Lidah Kulon yang membiarkan bangunan Patung Rafles berdiri di depan kampusnya.
“Patung Rafles di Citra Raya itu kan berdiri pas di depan kampus Unesa Lidah Kulon. Lah kok mahasiswa disana diam saja ada patung penjajah berdiri megah di depan kampusnya. Coba patung Rafless itu berdiri di depan kantor Pusura sini, wis tak sawati celetong kit biyen kon,” kecam tokoh kawakan yang akrab disapa Cak Kadar ini dengan nada emosi. “Patung Rafles di Citra Raya itu besarnya dua kali lipat dari patung Rafles aslinya di Singapura. Ada kira-kira tingginya sekitar 5 meter. Padahal patung aslinya di Singapura tidak setinggi itu,” tambahnya.
Direktur pengembang Citra Raya, Ir. Sutoto Yakobus, MBA tidak ambil pusing dengan banyaknya kecaman yang ditujukan ke patung-patungnya di Citra Raya. Malah, ia mempersilahkan siapapun warga di kota ini yang mau mengecam keberadaan kota Singapura-nya di Surabaya Barat yang selalu mendapat limpahan banjir disetiap hujan turun itu. “Saya ini demokratis saja. Maka, siapapun yang mengecam keberadaan patung-patung di Citra Raya, ya silahkan saja. Demokratis kan jika ada perbedaan pendapat,” kata Yakob yang menganggap Rafles sebagai ilmuwan yang banyak memberi kontribusi di bidang ilmu botani, bukan pahlawan apalagi penjajah yang harus dihina.
Bagi sejarawan, Prof. Aminudin Kasdi, patung Rafless yang di Indonesia lebih dikenal sebagai penjajah ketimbang ilmuwan itu akan berdampak pada perkembangan moral anak-anak kecil yang tinggal di kawasan itu.
“Otomatis anak-anak kecil dilingkungan sana akan mencari tahu latar belakang tokoh yang dipatungkan itu. Dalam perkembangan usianya, heroisme dari tokoh di patung itu akan ditiru oleh anak-anak nantinya. Dan jika ternyata tokoh di patung itu lebih dikenal sebagai penjajah, ditakutkan anak-anak itu akan tertarik untuk menanamkan jiwa penjajah sejak dini,” papar Kasdi. (nif)
Kombes Pol Endro Wardoyo Agaknya Butuh Psikiater
Sikap ramah dan murah senyum biasanya selalu ditonjolkan oleh mereka yang berprofesi di bidang Public Relation (Humas). Seperti yang ditekankan dalam ilmu Hospitality Industry; Greet and Smile – agaknya seorang staf humas betul-betul menerapkan teori ini. Jadilah ia selalu bersikap ramah dan murah senyum kepada setiap orang yang dilayaninya.
Bagi mereka yang berprofesi sebagai wartawan, pasti sudah hafal betul dengan sikap seorang humas yang kebanyakan menyenangkan. Memang, sebagai salah satu tugasnya dalam melayani masyarakat, kerap kali seorang Humas menjadi juru bicara di instansi tempatnya bekerja.
Seorang humas sudah seharusnya bersikap aktif ketika dihubungi atau menghubungi wartawan. Meski instansi tempatnya bekerja melakukan penyimpangan yang merugikan uang negara miliaran rupiah sekali pun, seorang humas yang professional masih saja menampakkan sikap greet and smile saat dikerubuti wartawan.
Seperti yang tampak dilayar kaca akhir-akhir ini, mumpung polisi sedang getol-getolnya menangkapi koruptor, coba perhatikan sikap mereka yang bertindak sebagai juru bicaranya, putri tertua Mulyana W. Kusumah misalnya. Tetap saja dilayaninya para wartawan itu.
Sekalipun pertanyaan para wartawan itu terasa sangat menyakitkan, tetap saja dijawabnya dengan ramah. Seorang humas profesional dituntut pandai berkilah saat menghadapi sekeras apapun pertanyaan wartawan – dan menyembunyikan emosinya, tentu saja.
Tapi gambaran di atas tak tampak sama sekali pada sosok Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Endro Wardoyo. Sejak dilantik satu setengah tahun yang lalu, bekas Kapolres KP3 Tanjung Perak Surabaya ini nyatanya langsung menekuk mukanya tiap kali ketemu wartawan.
Jika ditanya wartawan tentang perkembangan suatu kasus yang berada di wilayah naungan Polda Jatim, sering kali dengan entengnya Endro menjawab: “Saya kok belum tahu ya.” Lalu, sambil mempercepat langkahnya, buru-buru ia angkat kaki. “Bagaimana bisa seorang humas tidak tahu perkembangan kasus di wilayah kerjanya,” keluh seorang wartawan.
Kalau pun Endro kepojok dan tidak bisa lari dari kejaran wartawan, paling-paling ia hanya bisa mengumpat; “Tuyul kamu!,” Ungkapan ini menjadi senjata pamungkasnya yang sering dilontarkan kepada siapapun wartawan yang terlalu banyak bertanya kepadanya.
Pernah Endro dalam suatu wawancara dengan wartawan Sapujagat tiba-tiba darahnya muntab sampai ke ubun-ubun. Lalu dimakinya wartawan tabloid ini. “Kamu tidak mengerti hukum. Sudah sana jangan wawancara dengan saya lagi!,” begitu hardiknya kemudian.
Maklum, waktu itu Endro habis ‘dibantai’ anggota Komisi E DPRD Jatim saat hearing yang menyoal lolosnya gembong Pornografi, Singgih Sutoyo. Pertanyaan wartawan Sapujagat yang membuat Endro naik darah tadi adalah; “Kenapa Singgih kok bisa lolos padahal waktu itu mudah saja Polda menjadikannya tersangka sebab salah satu produk tabloidnya telah dikategorikan porno oleh saksi ahli?”.
Endro langsung menuduh wartawan Sapujagat tidak ngerti hukum sebab menurutnya yang menetapkan status tersangka adalah pengadilan, bukan polisi. Selanjutnya ia mempersilahkan wartawan Sapujagat untuk protes ke pengadilan. Padahal faktanya pengadilan hanya memvonis terdakwa dari tersangka yang ditetapkan polisi.
Demikianlah, Endro memang sering ngawur kalau ngomong. Seperti saat ia didemo sejumlah wartawan karena diduga melakukan tindak kekerasan setelah mendorong wartawan Suara Surabaya FM, Muklas Fajarudin, hingga jatuh terjungkal saat mencoba mendapatkan informasi dari Kapolri Da’i Bachtiar dalam kunjungannya ke Surabaya baru-baru lalu.
Enteng saja Endro berkilah bahwa yang mendorong Muklas hingga jatuh adalah satpam setempat, bukan dia. “Masak pengamanan orang nomor satu di kepolisian dilakukan oleh satpam,” demikian wartawan The Jakarta Post, yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua AJI Jatim, Iman Dwianto, tidak puas dengan pembelaan Endro.
Dalam ingatan wartawan yang sehari-harinya mencari berita di Polda, sudah tidak terhitung lagi berapa kali Endro membelokkan informasi. Ini sangat merugikan wartawan. Utamanya fotografer di media harian yang dituntut untuk mengabadikan momen penting untuk diterbitkan sebagai pendukung berita.
Diakui fotografer Harian Surya, Eric Siswanto, dan fotografer Jawa Pos, Boy Slamet, informasi salah yang diberikan Endro kerap kali membuatnya kecele. “Pernah Endro menginformasikan kedatangan seorang jenasah TKW korban kriminal yang diduga meninggal akibat dihajar majikannya. Endro menyebut jenasah akan disemayamkan di jalan A, misalnya, tapi kenyataannya jenasah disemayamkan di jalan Z. Padahal para fotografer sudah siap di jalan A untuk mengambil gambar. Jadinya para fotografer urung mendapatkan gambar,” kenang Eric. Boy Slamet menandaskan bahwa yang diceritakan Eric tadi bukanlah kejadian pertama hasil ulah Endro yang dialaminya. “Sudah berkali-kali,” ungkapnya.
Terhitung sejak menjabat sebagai Kabid Humas Polda Jatim, belum pernah sekalipun Endro menyelenggarakan jumpa pers. “Kalau pun ada jumpa pers di saat Endro sudah menjabat sebagai Kabid Humas, itu pun bukan inisiatifnya. Melainkan inisiatif Kepala Satuan di sini. Misalnya reskrim mau membeberkan penemuan kasus soal narkoba dan mau menginformasikannya kepada wartawan. Maka jumpa pers itu diselenggarakan atas kemauan Kasat Reskrim. Saat jumpa pers, Endro memang datang. Tapi ia tidak ikut ngomong. Hanya sekadar datang saja dan tidak ngapa-ngapain,” terang seorang wartawan surat kabar harian sore yang sehari-harinya mencari berita di Polda.
Sejumlah wartawan menduga Endro Wardoyo menderita sakit secara psikologis yang membuatnya begitu kaku untuk ukuran seorang humas. Lebih ekstrim lagi ada yang bilang ia sedang mengidap psikopat. Ada pula yang menuduhnya schizofernia. Tapi yang jelas secara medis Endro didiagnosis menderita kencing manis seperti yang pernah diutarakannya langsung kepada sejumlah wartawan di Polda. Barangkali ini yang membuatnya cepat naik darah ketika pertanyaan wartawan dirasanya begitu menusuk.
Praktisi psikologi klinis, Margaretha, S.Psi, tidak berani mendiagnosis Endro begitu saja berdasarkan deskripsi diatas. “Saya tidak bisa mendiagnosis seseorang begitu saja. Dia harus melewati proses pemeriksaan dan menjalani serangkaian tes terlebih dahulu untuk kemudian bisa menyebutnya sakit secara patologis,” katanya.
Dalam pandangan Margaretha, seorang humas tidak harus melulu memasang wajah ramah dan selalu tersenyum. Lebih lanjut, dosen di Fakultas Psikologi Unair ini menduga, bisa jadi apa yang biasa dilakukan Kabid Humas Polda Jatim ini merupakan perilaku buruk belaka.
“Orang yang berperilaku buruk itu tidak mesti sakit. Sebagaimana orang yang sedang mengalami stres juga tidak mesti ia sakit,” jelasnya. “Maka dari itu, untuk mendiagnosis seseorang hingga bisa dinyatakan sakit secara patologis, harus melewati proses serangkaian tes dan pemeriksaan berkali-kali. Tidak cukup dengan mendengarkan gejalanya saja,” tandasnya. Agaknya Kombes Pol Endro Wardoyo butuh psikiater. (nif)
Tania Di-TO Samsung, Panitia Di-TO Bodrex
Keputusan bodoh diambil Panitia Gebyar HUT ke- 712 Kota Surabaya yang terdiri dari sejumlah Event Organizer yang tergabung dalam Konsorsium 031Link. Sementara seorang professional merekrut pekerja dengan rangkaian tes seleksi yang rumit dan ketat. Tidak bagi Panitia Gebyar HUT Surabaya. Asal comot saja, kenalan dari browsing dunia maya pun direkrutnya.
Ceritanya; salah seorang panitia Gebyar HUT Surabaya punya hobi chatting di internet. Dari situ dia kenal seseorang asal Jogjakarta yang mengaku bernama Tania Nasution. Belum diketahui ini nama asli atau samaran. Yang pasti Tania punya good looking.
Entah sudah berapa lama mereka saling kenal lewat media cyber space itu. Entah pula pakai pertimbangan apa kemudian Tania disepakati untuk bergabung dalam Kepanitiaan Gebyar HUT ke- 712 Kota Surabaya. Terlepas dari itu, penampilan Tania memang meyakinkan sekali, seperti seorang professional.
Ia muncul pertama kali bersama kepanitiaan Gebyar HUT Surabaya menjadi pemandu acara saat launching 43 program yang akan memarakkan HUT Surabaya selama sebulan penuh di hadapan segenap pemred Surat Kabar terbitan Surabaya – di Convention Hall Pemkot, Jl. Jimerto, pertengahan April lalu.
Dalam kepanitiaan Konsorsium 031Link, Tania bertindak sebagai marketing event. Ia langsung dipercaya memimpin setiap rapat yang berhubungan dengan marketing. Sering kali dalam rapat ia memaparkan rencana-rencananya demi meraup sponsor besar dengan menggambarkannya pakai model diagram akar pohon yang njelimet di papan tulis. Tentu saja anggota panitia lainnya terpesona sampai terbengong-bengong menyaksikan pemaparannya. Maklum, di Surabaya belum ada yang ahli dalam hal marketing event. Kalau marketing promo banyak.
Tak salah jika melihat dari caranya memimpin rapat kemudian Ketua Panitia Gebyar HUT Surabaya, Heri ‘Lentho’ Prasetio, langsung membangga-banggakan anak buahnya yang didapat dari hasil rekruitmen chatting ini. Dalam berbagai kesempatan, setiap ketemu orang, tak pernah lupa ia memperkenalkan Tania.
Tania yang dibanggakan ini selalu menolak usulan dari anggota panitia lain yang berencana mendatangkan sponsor dalam jumlah kecil. “Untuk apa cari sponsor kecil. Kalau bisa mendapatkan sponsor besar, kenapa harus ambil yang kecil,” begitu alasannya.
“Sudah, biar saya saja yang tangani. Nanti kalian tinggal ambil uangnya,” usulnya kemudian. Anggota Panitia lainnya mengangguk saja tanda setuju. Maklum, untuk acara Gebyar HUT Surabaya ini, panitia menganggarkan dana besar – Rp. 4,5 Miliar yang tidak dianggarkan secara khusus di APBD. Selanjutnya, Tania diandalkan untuk mendatangkan sponsor yang banyak.
Maka mulailah Tania bekerja. Tapi, sebelumnya, dia minta berbagai fasilitas pribadi untuk dipenuhi; mulai dari pulsa handphone, uang makan sehari-hari, sampai sewa mobil pribadi lengkap dengan sopirnya, dan masih banyak tetek bengek lainnya. Dengan pertimbangan profesionalisme, semua permintaan itu dipenuhi panitia.
Hasilnya? Tunggu dulu. Sponsor besar yang dijanjikan Tania tidak pernah jelas sementara waktu terus berjalan – perayaan HUT Kota Surabaya tinggal menghitung hari. Tania justru dinyatakan hilang saat Gebyar HUT Kota Surabaya dimulai, 1 Mei lalu.
Agaknya pembukaan HUT Surabaya yang spektakuler lengkap dengan pesta kembang apinya di empat tempat itu dijadikannya sebagai ajang yang pas untuk melarikan diri. Panitia baru saja menyadari kalau pihaknya tertipu oleh perempuan itu saat semua sponsor besar yang dijanjikan Tania terpaksa harus ditanganinya sendiri dan ternyata palsu semua. Sampai hari ini Tania tidak pernah menampakkan batang hidungnya. Sementara pesta spektakuler yang sejak jauh hari sudah diagendakan selama sebulan hingga 31 Mei kedepan harus terus berjalan.
Humas Gebyar HUT ke- 712 Kota Surabaya, Rokim Dakas mengakui canggih sekali cara Tania menipunya. “Caranya meyakinkan orang luar biasa. Siapa kira, kalau di kantor datang surat-surat dari pihak sponsor besar yang mengaku mau bekerja sama. Ada juga yang langsung menelepon, mengkonfirmasi apa benar di sini kantor Panitia HUT Surabaya dan mengaku mau mengucurkan dana. Tapi ternyata itu hanya hasil kerja komplotannya belaka. Semua surat-surat dan telepon yang sampai di kantor panitia dari pihak yang mengaku sponsor besar ternyata semuanya palsu,” terang Rokim.
Untungnya Panitia Gebyar HUT Surabaya tidak terlalu bodoh. Seperti dikatakan Rokim, awalnya Tania meminta honornya 30% dari uang sponsor itu dibayar dimuka. Tapi permintaan yang satu ini tidak dituruti. Sehingga panitia tidak rugi terlalu banyak. Dengan demikian Panitia hanya dirugikan sejumlah biaya untuk keperluan sehari-hari Tania saja selama di Surabaya – dan kehilangan waktu untuk mencari sponsor tentu saja.
Akibatnya, dari 43 acara yang diagendakan panitia, 12 diantaranya harus dibatalkan karena dana dari sponsor yang masuk tidak mencukupi. “Kurang ajar Tania ini. Dia ternyata seorang hacker yang telah lama menjadi TO (Target Operasi) Polda Jogjakarta. Bukan hanya itu, Tania juga di-TO PT Samsung. Ia dianggap mencemarkan nama baik perusahaan ini karena telah berkali-kali dengan cara yang sama membawa-bawa nama Samsung untuk meraup keuntungan pribadi,” ungkap Rokim.
Atas kejadian konyol ini, kemudian muncul anekdot; sementara Tania di-TO Samsung, Panitia di-TO Bodrex (istilah untuk wartawan gadungan yang kerjanya memeras narasumber, red). Diakui Rokim, banyak wartawan bodrex mencarinya dengan berlagak mau wawancara yang ujung-ujungnya memelas. “Pak, kami-kami ini apa nggak dikondisikan?,” demikian Rokim menirukan ‘bahasa’ salah seorang bodrex yang pernah menemuinya. “Dipikir panitia ini banyak duitnya apa,” imbuh Rokim. (nif)
Gara-gara Dipusatkan Jadi Pasar Kelontong
Carut marutnya segala sistem di negeri ini tak lain hanya disebabkan oleh infiltrasi budaya asing. Sebenarnya ini sudah disadari sejak lama. Tapi seakan seluruh penduduk negeri tak berdaya melawannya. Kenapa? Karena Pemerintah Indonesia tidak punya politik kebudayaan yang jelas!
Demikian diungkapkan budayawan, Abdul Hadi WM, dalam suatu kesempatan di Surabaya beberapa waktu lalu. Dicontohkan: Belanda saja yang cuma berpenduduk 10 juta jiwa masih mampu mempertahankan diri dari serbuan budaya negara-negara tetangganya.
Sebut Inggris, Jerman dan Prancis, misalnya, yang telah membentuk kekuatan besar di Eropa, sama sekali tak membuat penduduk Belanda meninggalkan kebudayaannya sendiri. Dalam kesibukan sehari-hari, dalam aktivitas apapun, orang Belanda sampai hari ini masih setia menggunakan bahasanya sendiri. “Ini tak lain karena Pemerintah Belanda punya politik kebudayaan yang jelas,” terang Hadi.
Bandingkan dengan Indonesia, bisa disaksikan dari banyak iklan yang sering diputar di televisi swasta nasional, rasanya tidak PD kalau tidak didukung dengan menggunakan Bahasa Inggris. Bahkan film-film bioskop lokal yang diproduksi belakangan ini, kalau tidak menggunakan judul dalam bahasa Inggris pun takut tak laku.
“Ini membuktikan bahwa mental kita masih mental kolonial. Selalu saja mengekor kepada budaya barat. Terlebih, yang diajarkan di lembaga pendidikan kita semuanya tentang asing. Pemikiran-pemikiran oleh ilmuwan kita hampir tak pernah diajarkan. Ideologi oleh Soekarno atau Sjahrir, misalnya, sama sekali tak tersentuh. Referensi yang digunakan semuanya berasal dari pemikir-pemikir asing. Akibatnya, ketika keluar (lulus), kita menjadi asing melihat negeri sendiri. Ditambah dengan sistem pendidikan yang tidak pernah mengajarkan untuk menjadi subjek yang merdeka, jadilah orang Indonesia seperti yang sekarang ini; menjadi Amerika tidak, menjadi Indonesia pun juga tidak,” papar Hadi kemudian.
Menurutnya, ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia selama ini sudah dijajah mulai dari organ pikiran sampai di bawah perut. “Kalau kita sering dugem ke diskotik tiap malam, bukankah yang bekerja – dari bagian tubuhnya– cuma perut dan yang di bawahnya. Ini membuat orang jadi bangkrut,” jelasnya.
Hadi menandaskan, bangsa Indonesia memang sengaja dibentuk demikian oleh kolonial. VOC sejak datang ke Indonesia di Abad ke-14 tidak pernah menciptakan kota-kota di Indonesia sebagai pusat kebudayaan. “Kita sejak awal memang dididik untuk tidak menghargai seni dan intelektual,” katanya.
Untuk itu, semua kota di Indonesia oleh VOC justru sengaja diciptakan sebagai pusat pasar kelontong. Bisa dilihat dari tata letak bangunannya hingga sekarang. Di kota mana pun, di pusat kota selalu ada pasar. Dengan begitu akan susah mencari taman bacaan, susah mencari perpustakaan. Sementara, saat itu di Eropa tiap negara sudah mulai menggarap masing-masing kotanya sebagai pusat kebudayaan, kota lainnya bahkan dibentuk sebagai pusat pendidikan dan museum. Di Indonesia tidak, semua kotanya diseragamkan untuk menjadi pasar kelontong.
Celakanya, kegiatan pasar kelontong ini masih terus berlangsung. Jadinya, seperti yang tampak sekarang, banyak Mall bertebaran di mana-mana. Di kota besar apalagi, meskipun sudah penuh sesak dengan Mall, masih saja dibangun Mall baru lagi. Seakan penduduk kota kekurangan tempat untuk berbelanja saja. Ironisnya, apa yang ada di Mall itu pada akhirnya yang menjadi inspirasi melebihi realitas sosial yang sesungguhnya. Padahal, Hadi menekankan, tidak ada Mall pun tidak apa-apa. “Kita masih bisa hidup tanpa Mall,” tegasnya.
Lebih lanjut Hadi membandingkan: Khomeini ketika berkuasa di Iran segera merombak tata letak sejumlah kotanya dengan menempatkan perpustakaan atau taman-taman bacaan sebagai pusat kota. Menurut Hadi, tidak pernah terlintas ide seperti itu dibenak penguasa Indonesia sebab memang tidak terdidik dengan baik. Sudah begitu, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, yang menguasai pasar Indonesia pun investor asing.
“Kenyataannya kita memang serba asing. Ini akibat selalu menggunakan referensi dari asing (barat) di lembaga pendidikan kita. Salah satu contohnya adalah di UI, buku panduannya dari barat semua. Mana referensi dari timur? Dari Cina atau Iran misalnya? Di Cina pasarnya dikuasai oleh investornya sendiri, begitu juga di Arab. Bidang ekonomi kita seharusnya anti asing. Tapi untuk kepentingan Neokolonial, akhirnya, ya, beginilah Indonesia!,” tegasnya lagi.
“Sebenarnya tidak perlu jauh-jauh belajar. Kita secara tidak sadar punya ilmu sejarah. Hanya saja kita hidup di negara yang tradisinya terpotong-potong. Di jaman saya sekolah dulu diajarkan Sastra Jawa dan bahasa Jawa kuno. Sehingga ketika saya mendapat pelajaran Sastra Jerman, Inggris atau bahasa asing lainnya, masih ada perbandingan budaya,” lanjutnya.
Sekarang ini, Hadi menambahkan, kita tidak boleh sakit karena biaya rumah sakit mahal. Tidak boleh bepergian karena transportasi mahal. Bandingkan dengan Libya: orang sakit di sana diberi kupon, orang sekolah diberi kupon, orang menikah diberi kupon –diberi rumah– oleh Negara. Hanya, mereka tidak diperbolehkan punya rumah lebih dari satu. Indonesia bisa paling tidak seperti itu hanya jika sudah mempunyai sikap politik kebudayaan yang tegas. (nif)
Suku Alif Huru Masih Hidup No Maden
Di abad ke- 21 ini ternyata masih ada suku yang bertempat tinggal No Maden. Suku Alif Huru yang mendiami pedalaman Pulau Buru di Provinsi Kepulauan Maluku contohnya. Mereka masih sering berpindah-pindah tempat tinggal. Mereka adalah penduduk asli Pulau Buru.
Pekan lalu, wartawan Sapujagat sempat mengunjungi perkampungan suku yang dipimpin oleh Mohammad Baman Besugi ini. Terletak di pesisir Pantai Waihotong, Kecamatan Buru Utara Barat, berjarak kira-kira 100 Km dari Namlea, Ibukota Kabupaten Buru. Untuk sampai ke sana, kendati terletak di pulau yang sama, harus ditempuh melalui jalur darat dan laut.
Maklum, Jalan Raya di utara pantai Pulau Buru hanya berujung buntu di Desa Air Buaya. Selebihnya, alam disana masih dalam keadaan kontur aslinya, berupa pegunungan. Karenanya masih belum bisa ditembus kendaraan bermotor, apalagi mobil. Maka, kecuali mau berjalan kaki dengan naik turun gunung, jalan lainnya adalah menyisir pantai menggunakan perahu motor.
Kira-kira 6 jam dari Namlea, meliputi tiga jam ke Desa Air Buaya menggunakan mobil. Kemudian harus ganti alat transport, perahu motor, untuk kira-kira tiga jam kemudian, kalau ombak dilaut normal, pasti akan sampai di pesisir pantai tempat tinggal salah satu suku terisolir di Pulau Buru yang oleh mereka dinamakan Kampung Baru Waihotong itu.
“Semalam, seseorang mendatangi saya lewat mimpi, mengatakan bahwa hari ini saya tidak boleh ke luar rumah. Sebab ada tamu yang akan datang. Maka, pagi tadi, saya perintahkan kepada segenap warga saya untuk tidak keluar rumah terlalu jauh agar bisa menyambut kedatangan tamu itu. Ternyata benar, terbukti dengan kedatangan Anda di sini,” demikian Baman saat menerima wartawan Sapujagat di kediamannya.
Baman diyakini sebagai Kepala Suku tertua dari sekian banyak Kepala Suku di Pulau Buru. Tidak diketahui berapa umur pastinya karena setiap warga Suku ini dilahirkan tanpa akte kelahiran. Umurnya diperkirakan sudah lebih dari 100 tahun dengan asumsi pada tahun 1956 Baman yang saat itu telah menjabat Kepala Suku Alif Huru tercatat sebagai salah satu penduduk asli yang berkesempatan mengawal kunjungan presiden Soekarno di Pulau Buru.
Taruhlah jika saat itu ia masih berusia 40 tahun, maka berarti tahun ini usianya telah mencapai 105 tahun. Baman mengaku, kendati ia tidak tahu usianya kini berapa, tapi biasanya, pendahulunya diperkirakan meninggal pada umur 130-an tahun.
Di usianya yang setua itu, Baman masih tampak gagah. Malah, menurut sejumlah warganya, Baman masih kuat berjalan kaki naik turun gunung. Baru-baru ini, ia malah membawa serta semua anggota sukunya yang beranggotakan 77 KK ini untuk boyongan meninggalkan tempat tinggalnya yang lama dan kini baru tiga bulan menempati Pesisir Pantai Waihotong, tempat tinggal barunya yang berjarak kira-kira 1 Km arah ke timur dari tempatnya yang lama. Mereka menamakan tempat tinggal barunya ini dengan nama Kampung Baru.
Sebanyak jumlah KK anggota sukunya itulah rumah-rumah di Kampung Baru itu berdiri. Seluruh bangunan rumah itu terbuat dari kayu, beratapkan rumbai (daun sagu) dan masih beralaskan tanah liat. Semuanya dibangun secara kerja bakti warganya. Kampung ini dirampungkan hanya dalam jangka waktu satu bulan dengan peralatan sederhana berupa dua buah mesin pemotong kayu (mereka menyebutnya Censo, nama merk mesin pemotong kayu berupa gergaji tangan itu) yang telah lama menjadi inventaris suku ini, serta peralatan pertukangan tradisional lainnya milik warga.
Tata letak kampungnya, antara posisi rumah yang satu dengan rumah tetangga lainnya sangat mengesankan. Mereka menyetingnya bagaikan sarjana lulusan teknik sipil saja. Tak lupa, di tengah kampung ini dibangun mushalla – layaknya pusat kota (alun-alun) yang selalu ada masjidnya. Untuk saluran air (untuk keperluan minum, mandi atau cuci), mereka membuat pipa-pipaan dari bambu yang dihubungkan langsung ke sumber air pegunungan.
Tentunya, jaringan listrik PLN belum masuk sampai disini. Maka, keperluan listrik, untuk penerangan lampu di malam hari misalnya, warga suku ini menggerakkan listrik menggunakan generator set. Ada sejumlah 3 set generator (warga suku ini menyebutnya mesin engkol, red) milik inventaris kampung untuk menghidupkan aliran listrik di Kampung Baru ini.
Dengan demikian, jangan heran kalau menjumpai parabola di desa ini. Ada dua rumah yang dilengkapi televisi plus parabola milik warga setempat yang bisa dijumpai. Biasanya, tetangga yang tidak punya TV, ikut menyaksikan siaran televisi di rumah yang ada parabolanya. Mereka menonton televisi secara beramai-ramai di malam hari.
Dengan segala kesederhanaannya, warga suku terisolir yang hidup dengan cara bercocok tanam ini terlihat hidup tenteram di tempat barunya yang dikelilingi oleh hutan dan pantai itu, kendati mereka harus mengawali hidup dari titik nol lagi.
Padahal, dari hasil cocok tanamnya yang berlimpah dari pemukiman lamanya yang juga terletak di Desa Waihotong, mereka sempat meng-up grade rumah mereka – dari yang semula berdinding kayu dan beratapkan rumbai menjadi tembok beton dan atap seng.
Mereka pun rela meninggalkan rumah lamanya yang terbilang telah mapan itu demi tradisi No Maden-nya. Terhitung, sampai saat ini, Soa (demikian warga setempat menyebut kata Suku) pimpinan Baman ini, sejak 60 tahun terakhir, telah mengalami tiga kali perpindahan tempat tinggal.
Konon, Suku yang yang tak kenal lelah ini berasal dari Desa Wangrahi, Dataran Rana, puluhan kilo meter ke atas (di puncak gunung) dari tempat tinggalnya yang sekarang. Sejak di Dataran Rana itu, Baman telah memimpin sukunya ini. Waktu itu, mereka masih memeluk Animisme.
Kala itu mereka percaya, kalau salah seorang warganya meninggal dunia, maka seluruh warga suku itu harus meninggalkan tempat itu untuk cari tempat tinggal baru. Sementara, setelah warganya yang meninggal itu ditanam di pohon (bukan dikubur), lalu mereka meninggalkan desanya untuk cari tempat tinggal baru lagi dan membangun rumah disana. Tapi, khusus tradisi yang satu ini telah mereka tinggalkan sejak 1980-an.
Menurut Baman, untuk menentukan pindah ke tempat barunya, ia sembahyang terlebih dahulu. Sembahyangnya itu disebut Semake. Lalu, hasil sembahyangnya ini kemudian datang lewat mimpi. Misalnya, saat menentukan untuk pindah di Kampung Baru Waihotong ini, di dalam mimpinya itu tampak suatu dataran luas dengan banyak burung beterbangan diatas. Ini menandakan dataran itu sangat subur untuk didiami, apalagi dipakai untuk bercocok tanam. Belakangan, setelah ia memeluk Islam, Baman tahu bahwa cara sembahyang untuk menentukan tempat tinggalnya yang baru ini disebut shalat istikharah.
Memeluk Islam
Saat masih tinggal di Dataran Rana (Baman tidak ingat tahun berapa), ketika mereka masih tidak mengenal tuhan (animisme), selain bercocok tanam, suku ini juga beternak babi dan kus-kus. Suatu ketika kemudian, seseorang mendatangi Baman lewat mimpi. Orang itu berkata agar jangan lagi makan babi. Saat terbangun di pagi harinya, Baman mendapatkan binatang kus-kus tepat dihadapannya. Entah mengapa, kemudian Baman merasa risih melihat kus-kus. Ia merasa tidak suka lagi dengannya, melihat pun juga enggan.
Baman pun juga merasa risih melihat Babi. Karenanya ia kemudian memerintahkan warganya untuk berhenti beternak babi. Selanjutnya, ia memerintahkan untuk beternak ayam saja. Selama tiga tahun beternak ayam, ternyata sukses juga. Yang membuatnya sedikit kaget, pada akhir tahun ketiga lama ternaknya itu, orang yang sama – yang dulu memerintahkan untuk tidak makan babi – datang lagi di mimpinya.
Orang itu memerintahkan, kalau warganya sudah tidak makan babi lagi, hendaknya mereka meninggalkan Dataran Rana untuk turun ke Pantai Waihotong. Segera, keesokan harinya, Baman dengan mengajak semua warganya yang laki-laki – sementara warganya yang perempuan dan anak kecil tetap tinggal di Dataran Rana – langsung pergi turun gunung menuju Pantai Waihotong. Ini kira-kira terjadi pada tahun 80-an.
Di dekat pantai itu, sebagian dari mereka membangun rumah besar untuk tempat tinggal bersama. Sementara yang lain membuka lahan kebun kacang dan ubi. Selama sebulan, ternyata kebunnya membuahkan hasil. Maka, pada bulan kedua, mereka yang telah merasa lahan kebun barunya berhasil, langsung menjemput anggota keluarganya masing-masing, isteri dan anak-anaknya, untuk meninggalkan Dataran Rana guna menempati tempat barunya, pantai Waihotong. Lalu, mereka pun bikin perkampungan di sana dengan rumah masing-masing, tidak tinggal bersama lagi di rumah besar seperti yang mereka bikin saat pertama kali sampai di pantai ini.
Tahun 1988, Kepala Soa, Baman, mendapat surat dari Raja Petuanan Lisela, Mohammad Toyib Hintihu, untuk menghadap ke kediamannya di Batu Merah, Kota Ambon. Kesempatan itu dipergunakannya untuk masuk Islam. Raja Mohammad sendiri yang mengislamkannya. Saat itu, Baman yang terlahir dengan nama Baman Besugi, setelah dinyatakan masuk Islam, langsung menambahkan nama Mohammad di depan namanya. Maka, sejak saat itu, ia bernama lengkap Mohammad Baman Besugi.
Sejak diislamkan itu, ia pun mengaku bulat meyakini Islam sebagai agamanya. Untuk itu, ia betekad untuk bisa menjalankan kelima hukum Islam. Sayangnya, hingga kini, di usianya yang telah menginjak satu abad ini, ia masih belum mampu melaksanakan hukum Islam yang terakhir, menunaikan ibadah haji.
Atas kesediaan Baman yang masuk Islam tanpa paksaan itu, Raja Mohammad memberi banyak bantuan berupa beras, pakaian dan juga uang untuk warganya. Saat pulang ke Pantai Waihotong, Baman tidak semena-mena langsung memerintahkan warganya untuk masuk Islam. Ia membagibagikan pemberian Raja itu kepada warganya tanpa memaksa warganya untuk masuk Islam terlebih dahulu.
Bantuan serupa juga datang dari tokoh-tokoh Muhammadiyah Kota Ambon pada tahun 1989. Lagi-lagi, Baman menyalurkan bantuan itu kepada segenap warganya tanpa memerintahkan mereka untuk masuk Islam terlebih dahulu. Baman mengaku tidak pernah memaksa warganya untuk masuk Islam. Maka, dalam kehidupan sehari-hari di Pantai Waihotong, Baman yang muallaf ini tetap menjalankan perintah agama Islam, sementara yang lainnya masih tetap hidup tanpa tuhan (animisme).
Berkah Kayu Gaharu
Seakan suatu berkah bagi Baman beserta warganya, tak lama setelah ia masuk Islam, rejeki besar berupa kayu gaharu didapatkan warga suku ini. “Mungkin saat itu memang musim kayu gaharu, kami sampai memperoleh kayu gaharu itu seberat 300 kg,” kenang Baman. Memang, kayu gaharu sejak dulu hingga sekarang memang sulit dicari. Harganya pun sangat mahal di pasaran.
Uang hasil dari menjual kayu gaharu ini, oleh warganya dibuat untuk meng-up grade rumahnya yang semula serba terbuat dari kayu kemudian ‘disulap’ menjadi beton. Sementara, atap rumbai rumahnya juga diganti dengan atap seng. Setelah renovasi besar-besaran itu rampung, Baman meminta bantuan Raja Mohammad bersama segenap Muspika Kecamatan setempat untuk meresmikan kampungnya yang kini terlihat cantik itu.
Tahun 1993, Raja Mohammad Toyib Hintihu beserta jajaran Muspika Kecamatan Buru Utara Barat meluluskan permintaan Kepala Soa, Mohammad Baman Besugi. Kampung yang terletak di pantai Waihotong itu pun diresmikan.
Kehidupan suku ini terus berlanjut, peresmian kampung itu membuat hidup mereka lebih hidup. Mereka pun mulai berkebun; menanam kelapa dan kakau (biji coklat). Lebih bersemangat lagi, secara kolektif, warga suku ini ramai-ramai menyusul Kepala Soa-nya untuk memeluk Islam. Kepala KUA Kec. Buru Utara Barat mengaku, pada tahun 1993 ia mengislamkan 30 KK warga suku itu. “Saya masih ingat betul, jumlah warga yang saya Islam-kan ketika itu berjumlah 150 jiwa, berasal dari 30 KK,” katanya.
Ia menambahkan bahwa keberadaan suku ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Mereka masih butuh pembinaan. Mereka juga butuh disediakan gedung sekolah. Selama ini, anak-anak suku itu untuk sekolah harus berjalan kaki ke Desa Waihotong yang jaraknya lumayan jauh. Rata-rata, pendidikan mereka hanya sampai di SMP. Untuk melanjutkan ke SMA, mereka harus menjalaninya di Desa Air Buaya – desa terdekat yang punya fasilitas sekolah SMA di mana untuk sampai kesana harus menumpang perahu motor selama kurang lebih 3 jam perjalanan.
Untungnya, saat ini, masih ada dermawan yang bersedia menyekolahkan anak-anak dari suku ini ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Sedikitnya, saat ini, ada enam anak yang sedang di sekolahkan di pondok pesantren Kota Makassar (Ujungpandang).
Sayangnya, kampung yang sudah makmur dengan kehidupan Islaminya ini, akhirnya sejak tiga bulan yang lalu harus mereka tinggalkan. Alasannya, tempat tinggal mereka telah dikotori orang lain. Memang, sejak mereka hidup tentram di Pantai Waihotong di awal tahun 1980-an, satu per satu ada pendatang yang bermaksud ingin bergabung.
Dengan niat baik untuk membantu taraf hidup pendatang itu, Kepala Soa Baman bermaksud menerima mereka untuk hidup bergabung di tengah-tengah warganya. Kurang ajarnya, penduduk pendatang ini makin lama semakin bikin ulah. Para pendatang mulai bermain judi kartu, mabuk-mabukan dan main wanita di kampung itu.
Maka, Kepala Soa, Baman, kendati ia bersama warganya di kampungnya ini boleh dibilang sebagai pendiri, menyatakan lebih baik mengalah untuk pindah. Sebelum warganya ikut rusak akibat ulah ngawur para pendatang itu, ia memerintahkan untuk segera pindah dari tempat tinggalnya yang mulai dikotori maksiat. Sejauh 1 km ke timur dari kampungnya itu, sebanyak 77 KK warga sukunya yang masih setia kepadanya akhirnya membuat perkampungan baru lagi yang kini diberinya nama Kampung Baru Waihotong. Di sana, mereka memulai hidup dari awal lagi, membuka lahan baru lagi untuk berkebun dan bertanam.
Baman menegaskan keputusannya untuk pindah ini bukan semata untuk mengalah. “Ini bukan soal rumah membangun rumah. Tapi manusialah yang membangun rumah. Kalau rumah sudah dirasa tidak aman, maka pindah saja,” terang Baman.
“Kami tidak akan pula menjual rumah yang di sana (kampung lamanya di Waihotong). Sebab tempat ini adalah milik Allah yang harus kita jaga. Kami lebih suka rumah-rumah kami di sana rusak secara alami ketimbang di beli orang. Menjual rumah berarti memberi kesempatan orang lain untuk masuk dan merusak apa yang selama ini kami perjuangkan,” tambahnya.
Artinya, tindakannya untuk tinggal ditempat baru ini bukan berarti mereka meninggalkan rumah beserta kebunnya yang dulu begitu saja. Kendati mengaku tidak akan kembali lagi ke kampung lamanya tapi mereka menyatakan masih punya hak atas kebun dan harta milik lainnya yang telah dikerjakannya sejak awal tahun 1980-an itu.
Memang, saat ini, sementara warga suku ini sedang bekerja keras untuk membuka lahan kebun yang baru, tapi mereka masih pula mengerjakan kebunnya yang lama di Waihotong. Pun, nantinya, kalau kebunnya yang di Kampung Baru telah berhasil dengan hasil yang melimpah, mereka tidak akan serta merta meninggalkan kebunnya yang di Waihotong begitu saja.
“Bagaimana pun Kami masih punya hak atas kebun (yang di Waihotong) itu,” tegas Baman. Termasuk jika ada seseorang yang mau merebut hutan yang menjadi wilayah lahannya, mereka mengaku siap mati untuk mempertahankan haknya. (nif)
Subscribe to:
Posts (Atom)