Saturday, September 16, 2006
Sampai Kapan Seniman Muda Harus Menunggu?
Ketika Djuli Djatiprambudi ditunjuk sebagai salah satu kurator Pra Bali Biennale 2005 untuk wilayah Surabaya/ Jawa Timur (Jatim), banyak penikmat seni berharap bisa memunculkan seniman muda ke pentas nasional.
Terlebih, Pra Bali Biennale 2005, meski baru pertama kali ini digelar, merupakan serangkaian acara seleksi dari Summit Event Bali Biennale yang ditargetkan menjadi peristiwa internasional bagi seniman tanah air demi menembus jenjang seni rupa tingkat dunia. Proses seleksinya, Pra Bali Biennale 2005, selain di Surabaya, juga digelar di Kota Malang, Jogjakarta, Semarang dan Jakarta.
Harapan tadi terbesit karena dari berbagai even kesenian yang digelar di Jawa Timur, sejak lebih dari dasawarsa terakhir – sebut Festival Seni Surabaya dan Festival Cak Durasim, misalnya, yang sudah diangap bertaraf nasional – tak pernah melahirkan satu pun seniman muda lokal (Jatim) berbakat di kancah kesenian nasional.
Nah, kebetulan Pra Bali Biennale 2005 untuk wilayah Surabaya/ Jatim dikuratori oleh Djuli Djatiprambudi yang juga berasal dari Jatim (kelahiran Tuban, 12 Juli 1963) di mana reputasinya sudah dianggap setingkat nasional. Untuk itu, maka kali ini, lewat ajang Pra Bali Biennale 2005, Djuli diharapkan tergugah kesadarannya untuk bisa memecah kebuntuan tentang lahirnya seniman muda (perupa khususnya) asal Jatim selama ini. Tapi, apa lacur, Djuli kemudian ternyata meloloskan seniman-seniman Jatim yang itu-itu saja.
Dengan demikian pupus sudah harapan perupa muda Jatim untuk ikut unjuk kebolehan pada Summit Event Bali Biennale di penghujung tahun nanti. Sebab, Djuli, sang kurator untuk wilayah Surabaya/ Jatim, seperti yang telah diumumkan kepada publik di Gedung Utama Balai Pemuda Surabaya dua pekan lalu, sudah menunjuk nama-nama seniman yang sudah tidak asing lagi seperti Asri Nugroho (53 tahun), Dwijo Sukamto (53), Slamet Hendri Kusumo (51), Ojite Budi Sutarno (45) dan Rilantono (45) sebagai wakil Jatim pada ajang itu.
Padahal, tercatat sedikitnya tujuh seniman muda yang umurnya masih jauh dibawah 40 tahun dengan karyanya-karyanya, seperti yang telah dipamerkan di Gedung Balai Pemuda pada tanggal 9 – 15 September lalu, terbukti perlu dipertimbangkan dengan karya-karya para kontestan Pra Bali Biennale 2005 lainnya yang lebih tua.
Sebut Tony Jafar (29 tahun), Jopram (30), E.Y Fibri Andriantono (31), Isa Anshory (32), Fadjar Djunaedi (35), Gatot Pudjiarto (35) dan Agung Suryanto Tato (35). Karya-karya mereka tidaklah memalukan jika disandingkan dengan karya-karya pelukis gaek yang dimenangkan Djuli.
Tak ayal, seperti yang sudah-sudah dalam even kesenian lainnya (di Jatim khususnya), muncul kontroversi pula dalam ajang Pra Biennale 2005 ini. Utamanya yang menyerang pribadi Djuli sebagai kurator, tentu saja, yang (lagi-lagi) tidak mengangkat seniman muda Jatim ke permukaan.
Terlebih, nama-nama seniman yang dimenangkan Djuli adalah teman-teman dekatnya sendiri. Barangkali tentang tuduhan yang satu ini terlalu berlebihan bagi seorang kurator sekelas Djuli. Seperti yang ditepis Saiful Hadjar (46 tahun), salah satu dari total 25 seniman kontestan Pra Bali Biennale 2005 untuk wilayah Surabaya/ Jatim. “Saya tidak yakin Djuli sebagai kurator yang sudah punya nama besar memilih pemenang dari teman-temannya sendiri,” katanya.
Menurutnya, malah yang lebih berperan dalam proses kurasi untuk menentukan pemenang adalah pihak pemilik modal, dalam hal ini adalah Gracia Art Galeri sebagai penyelenggara (Venue Partner) Pra Bali Biennale 2005 untuk wilayah Surabaya/ Jatim. Pihak penyelenggara, jelas Saiful, kira-kira tidak mau ambil resiko dalam aspek jual beli. Dalam campur tangan yang satu ini, Saiful menegaskan, jangankan kurator setingkat Djuli, kurator sekelas Jim Supangkat pun tidak bisa berbuat apa-apa.
“Pemilik modal bisa melihat lukisan mana yang lebih laku dijual dengan harga mahal. Untuk itu, selalu saja turut menentukan dan yang dimenangkan sudah pasti para pelukis dengan jam terbang tinggi. Cara-cara seperti ini sudah sejak lama terjadi. Setiap even selalu saja begitu. Sudah bukan rahasia lagi. Mereka selalu mengebiri proses kreatif anak muda,” terangnya. “Sudahlah, pada intinya, semua even, termasuk Pra Bali Biennale 2005, adalah jualan lukisan,” timpalnya kemudian.
Sudah Diatur
Sebenarnya, Saiful menambahkan, kalau mau ditelaah lebih jeli lagi, permainan antara pihak penyelenggara dan kurator sudah bisa ditebak dengan membaca katalognya. Dalam pengantar katalog yang ditulis oleh kurator Djuli Djatiprambudi dan Syarifuddin, halaman 12 – 15, yang dibahas lebih rinci adalah lukisan para pemenang. Sementara nama-nama pelukis lainnya hanya ditempelkan begitu saja. “Dari sini sudah bisa ditebak bahwa para pemenang sepertinya sudah diatur sebelumnya,” terangnya. Dugaan ini dirasakan pula oleh Agus Koecink (38), peserta Pra Bali Biennale 2005 lainnya, begitu menerima katalognya yang belakangan ternyata terbukti benar.
Koecink juga sependapat tentang adanya timbal balik antara pihak penyelenggara dan kurator dalam hubungannya dengan jualan lukisan. Namun begitu, Koecink berpendapat bahwa sebenarnya itu bukan masalah. Pasalnya sudah menjadi kuasa kurator untuk menentukan pemenang. “Tidak masalah kurator menentukan pemenang dengan nama-nama seniman yang sudah ternama. Asal dengan catatan; harus ada ide atau gagasan yang diimbangi dengan cara penyampaiannya dalam karya-karya itu sehingga bisa memberi wacana baru,” katanya.
“Tapi yang lebih penting di sini adalah kita punya generasi muda. Maksud saya, kita punya generasi baru yang bisa dimunculkan. Sudah waktunya untuk memunculkan anak muda. Ini penting dalam hubungannya dengan berproses. Dengan begitu kita bisa melihat wacana apa yang ditawarkan oleh anak muda itu lewat karya-karyanya,” imbuhnya.
“Kita punya Isa Anshori dan Jopram, misalnya. Saya yakin anak-anak muda ini kalau disuruh menggambar lagi (dengan bimbingan kurator) masih bisa menghasilkan lukisan yang lebih maksimal lagi. Dalam Pra Bali Biennale 2005 ini, selain lima lukisan seperti yang telah dipamerkan, bukankah dengan bimbingan kurator kemudian pemenangnya disuruh membikin satu lukisan lagi untuk dibawa ke puncak acara Bali Biennale nanti. Nah, kenapa tidak dimunculkan saja salah satunya dari para peserta yang masih muda ini?,” demikian Koecink menyesalkan kurator yang sama sekali tidak menoleh pada karya seniman muda Jatim.
Yang jadi soal, masih menurut Koecink, adalah pengertian ‘Discourse’ – tema yang diusung dalam Pra Bali Biennale 2005 – itu sendiri. “Sepertinya terjadi bias di antara peserta dan kurator dalam memaknainya. Temanya menyangkut kebudayaan dari luar Bali. Tapi kalau ngomong soal wacana Urban, saya lebih srek dengan karyanya Isa Anshori yang diberi judul Bath Tub. Artistiknya bagus. Dia mengusung Bath Tub yang sudah menjadi barang konsumtif orang-orang di kota ke tengah sawah. Menurut saya, Isha Anshori lebih mengena untuk mewakili seniman muda Jatim dalam Pra Bali Biennale 2005 ini,” ungkapnya.
Sementara itu, Agung Suryanto Tato lebih menyesalkan pada proses kurasi oleh para kurator yang tidak turun langsung ke ‘bawah’. “Seharusnya kurator turun langsung melihat sendiri lukisan para peserta dan menunjuk lukisan mana saja yang layak diikutkan seleksi Bali Biennale sekaligus untuk dipamerkan. Tapi ini tidak. Kurator mempersilahkan sepenuhnya kepada para peserta untuk memilih lukisannya sendiri. Lalu cuma dari karya-karya yang diusung di pameran itu saja kurator bekerja. Padahal kurator tidak bisa menilai seorang seniman hanya dengan melihat dari segelintir karya saja,” keluhnya.
Lebih lanjut Tato mengisahkan bahwa dalam Pra Bali Biennale 2005 ini kurator hanya memberi ketentuan minimal membawa lima lukisan dengan batasan ukuran maksimal 2 x 2 meter. “Ketentuan dan batasan ini tentu merugikan pelukis pemula yang sama sekali tidak berpengalaman mengikuti even besar. Mereka mengumpulkan lukisan dengan ukuran biasa yang jauh dari ketentuan maksimal. Mereka mana tahu kalau pelukis yang sudah berpengalaman ternyata berlomba-lomba membikin lukisan dengan ukuran maksimal (2 x 2 meter). Ini membuat lukisan yang disertakan oleh para pelukis pemula semakin tenggelam,” jelasnya.
Tato mengaku selama pameran berlangsung dirinya tidak merasa kalau Pra Bali Biennale 2005 ini pemenangnya sudah diatur sejak awal. Dia justru baru menyadarinya setelah membaca pengantar kurator (oleh Djuli Djatiprambudi dan Syarifudin) dalam katalog. Itu pun setelah mendengarkan para pemenang yang diumumkan langsung oleh Djuli Djatiprambudi.
Lalu Tato teringat dengan pernyataan Dwijo Sukamto tentang pelukis muda dalam diskusi yang digelar di sela-sela acara pameran Pra Bali Biennale 2005 di Gedung Utama Balai Pemuda. Saat itu Dwijo terang-terangan mengungkap bahwa kebanyakan pelukis yang sudah tenar memang tidak mau disandingkan dengan pelukis yang masih berbau kencur. Pun Dwijo mengaku bahwa sebenarnya tidak sudi pula kalau karyanya dipamerkan berbarengan dengan pelukis muda seperti dalam Pra Bali Biennale 2005 ini.
Menurut Dwijo, suatu even kalau mengundang pelukis besar maka selayaknya tidak perlu melibatkan pelukis muda. Begitu juga sebaliknya, even yang mengetengahkan pelukis muda tidak perlu mengajak yang sudah tua. “Melahirkan seorang pelukis tidak bisa dengan cara instan begini,” begitu alasannya. (nif)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment