Saturday, September 16, 2006
Ketika Orang-orang Menangisi Hidupnya
Di tengah kegalauan hidup di kota dengan struktur besar–ketika rakyat memimpikan demokrasi dan negerinya dipimpin oleh saudagar yang ketika melihat rakyatnya sedang antri minyak tanah dianggap hal yang lumrah seperti halnya nonton bioskop juga harus antri tiket– (almarhum), Amang Rahman berjalan terus dengan segala kesepiannya.
Menarik mengikuti Jejak Amang Rahman, pameran lukisan yang memang digelar untuk mengenang seniman nasional beraliran surealis asal Surabaya ini di Gedung Utama Balai Pemuda selama sepekan, 28 November – 2 Desember lalu. Karya-karyanya tampak begitu sederhana. Puisinya juga pendek-pendek. Warna-warna yang dipilihnya di atas kanvas (paling banyak kaligrafi) pun kebanyakan bernuansa lembut di mata. Itu menjadi ciri khasnya dan sudah cukup membawa imaji para pengunjung pameran ke suasana kontemplasi.
Jika ditarik pada pribadi Amang Rahman dengan kondisi serba susah yang melanda negeri ini –seperti yang masih dirasa sampai hari ini– ada banyak hal yang bisa dipetik dari pameran itu. Utamanya tentang kegigihan perjalanan seorang manusia (Amang Rahman) dalam menghadapi pahitnya realita kehidupan.
Terlebih ketika selama pameran berlangsung kemudian terlontar sejumlah pengalaman tentang sisi lain (di luar kesenimanan) Amang Rahman dari sejumlah teman yang pernah dekat dengannya. “Amang Rahman ini pandai menjahili orang lain tanpa membuat yang bersangkutan marah. Justru sebaliknya, atas ulah Amang ini malah membuat yang bersangkutan jadi tertawa terpingkal-pingkal,” kata sesepuh Kota Surabaya, Cak Kadaruslan, saat didaulat memberi sambutan sebagai teman terdekat Amang Rahman di hari pembukaan pameran (28/ 11).
“Aneh kan, orang disakiti sampai terkaget-kaget kok malah tertawa,” tambahnya. “Yang dijahilinya pun mulai dari orang biasa sampai pejabat setingkat walikota,” terangnya. Cak kadar kemudian mengisahkan, pernah suatu ketika dia sedang jalan-jalan bareng lalu tanpa direncanakan sebelumnya tiba-tiba Amang mengajaknya belok ke rumah walikota. “Dipencetnya bel rumah walikota. Kok ya untungnya kami berdua diterima, dipersilahkan masuk dan dijamu makan malam,” kenang Cak Kadar.
Dalam kesempatan lain, masih menurut penuturan Cak Kadar, pernah almarhum iseng menelepon rumah walikota, mengabarkan bahwa keluarga walikota ada yang sakit keras dan sedang dirawat di rumah sakit. Tentu walikota kaget dan sontak bertanya: “Siapa yang sakit?” “Saya,” jawab Amang kemudian dari seberang telepon dengan nada sedikit tersipu.
Cak Kadar mewanti-wanti, khusus tentang tingkah laku Amang yang baru saja diceritakannya ini tidak untuk ditiru. Sebab cuma Amang yang bisa melakukannya. Memang begitulah cara Amang menghibur diri dari pahitnya hidup dan dengan begitu dia bertahan hidup.
Cerita lain, pernah pagi sekali Amang muncul di kantor redaksi Mingguan Mahasiswa (sekarang Harian Memorandum, red) dengan tergopoh-tergopoh sembari berteriak dari kejauhan: “Ada berita besar, ada berita besar…”. Teriakannya ini tentu menarik perhatian sejumlah wartawan di kantor itu yang sedang bergegas mencari berita. “Berita apa?,” tanya salah satu wartawan di sana yang spontan terperanjat begitu melihat Amang nongol dengan nafas terengah-engah. Sejenak Amang mengatur nafasnya lalu menjawab lirih: “Saya belum sarapan”. Para wartawan punlangsung gerrr. Lalu mengajaknya sarapan bersama.
Dalam catatan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), seperti yang dituangkan dalam bukunya, Demokrasi Tolol Versi Saridin (1999), adapun orang yang paling sering dijahili Amang tak lain adalah isterinya sendiri. Seringkali sang isteri dibuat jengkel bukan main oleh tingkah laku suaminya, tulis Cak Nun. Bayangkan, Amang Rahman “wajib” pulang dini hari. Tapi Amang sudah punya 1001 alasan untuk setiap kali pulang kelewat malam tanpa harus membuat isterinya marah ketika membukakan pintu untuknya. Misalnya, sambil mengetuk pintu jam 3 pagi, Amang berteriak: “Cepat bukakan pintu, Dik, martabaknya keburu dingin!” Tapi ternyata ketika pintu dibuka, Amang tidak membawa apa-apa. Dia hanya menunjuk ke arah celananya sembari berkata: “Ayo cepat masuk kamar! Selak Adem!”
Di mata Cak Nun, Amang adalah kawan yang kemethak. Sisi lainnya, masih menurut Cak Nun di buku itu, Amang Rahman adalah lelaki tua yang tak pernah berhenti ndagel namun kejiwaannya sangat sufistik. Ditambahkan pula, betapa beruntungnya isteri Pak Amang dianugerahi Allah suami yang membuatnya tak pernah berhenti tertawa meskipun beras jelas-jelas sudah habis dan uang sekolah anak-anak entah harus dihutangkan pada siapa lagi (halaman 21).
Melawan dengan Caranya Sendiri
Pengamat social, politik dan budaya, Prof. Hotman Siahaan, saat memberi ceramah kebudayaan di sela-sela acarapameran Jejak Amang Rahman ini, hari Kamis (1/12), membuka pidatonya dengan memori tentang Amang yang pernah bersinggungan langsung dengannya ketika Amang Rahman akan memasukkan salah satu anaknya ke bangku SD dan sama sekali tidak punya uang.
“Tengah malam Pak Amang datang ke rumah membawa sebuah bingkisan dan berkata: “besok Ilham (anaknya, red) harus masuk sekolah dan saya tidak tahu bagaimana caranya,” lalu dia pulang,” kenang Hotman.
Bagi Dekan FISIP Unair ini, Amang Rahman adalah sosok kebudayaan. Seorang Amang dengan segala perilakunya mengingatkan Hotman pada pemikir Antoni Gidden, yang menelurkan teori strukturasi: ada struktur yang mengatur dan manusia sebagai aktor bisa menjadi agensi yang merombak struktur itu.
“Ini struktur besar, katakanlah, dari kota ini. Manusia sebagai agensi bisa merombaknya. Jawa Timur sebagai struktur gagal dirombak oleh para aktornya karena selalu kalah oleh struktur nasional. Struktur kita tidak memberi tempat yang layak pada kesenian. Lalu dibentuk lembaga. Padahal tidak ada orang yang dibesarkan oleh lembaga. Lembaga semacam Dewan Kesenian Surabaya (DKS) misalnya, malah justru dibesarkan oleh pendirinya (Amang Rahman salah satu pendiri DKS, red),” demikian Hotman mencoba menjelaskan tentang Teori Strukturasi.
Jadi, menurut Hotman, ada kaitan antara struktur dengan aktornya. Amang Rahman sebagai aktor menjadi agensi yang mampu merombak struktur sehingga dia punya tempat di kota ini. “Amang Rahman berhasil mengubah struktur, bukan berarti struktur berubah mengikuti dia. Tapi dia punya tempat dalam struktur itu. Dia melawan struktur dengan caranya sendiri,” terangnya.
Hotman menandaskan, seorang Amang Rahman, sejauh yang dikenalnya, tidak peduli keadaan. Dia juga tidak pernah menyalahkan orang lain. Pun ketika banyak orang hanyut dengan arus struktur yang menekan, ketika orang-orang menangisi hidupnya, Amang Rahman tidak. Ia bahkan menertawakan hidupnya. Dia tetap bertahan di Kota Surabaya menjadi seniman justru ketika struktur besar di kota ini melawan seluruh kiprah kesenian.
Tidak jauh-jauh, Hotman memberi contoh tentang ganasnya struktur besar yang melanda kota Surabaya pada dirinya sendiri ketika ikut mendirikan Akademi Seni Surabaya (Aksera). “Saya gagal membangun Aksera di tengah-tengah kota yang begitu cair. Aksera terus menghilang sampai sekarang sebab secara struktur memang tidak bisa dilawan lagi,” paparnya. Lebih lanjut Hotman mencontohkan, banyak seniman Surabaya yang ketika menyadari struktur di kota ini sama sekali tidak mendukung iklim keseniannya lalu hijrah dan berkesenian di kota lain. Bahkan banyak pula yang kemudian banting setir beralih ke profesi lain.
Hotman menambahkan, dalam hal ini lalu orang Surabaya beranggapan merasa kalah dengan orang Jakarta. Padahal tidak. “Ini hanya karena kita tidak mendapat tempat di kota ini. Untuk itu, sebagai peristiwa kebudayaan, menempatkan Amang Rahman bukanlah main-main. Setidaknya Amang Rahman telah menjawab seluruh persoalan yang dihadapi dengan dirinya. Ia menjadi sejarah di kota ini. Di kota yang tidak memberi tempat, dia eksis. Karya-karyanya menjadi teks yang bisa dibuat untuk melawan struktur,” ujarnya. (nif)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment