Saturday, September 16, 2006

Lupakan Predikat Kota Pahlawan, Patung Penjajah Bertebaran di Surabaya

Protes warga kota yang menginginkan Surabaya kembali ke bentuk jati dirinya yang semula, sebagai satu-satunya kota pahlawan di dunia, akhirnya terabaikan. Sebab, Citra Raya; The Singapore of Surabaya, yang menempatkan patung penjajah Sir Thomas Stamford Rafless setinggi 5 meter sebagai ikonnya itu sudah diresmikan pekan lalu. Agaknya, Surabaya sudah disingapurakan. Dikukuhkan lewat acara The Colours of Nature, Jumat malam(18/6), disaksikan sedikitnya 2000 undangan yang sebagian besar merupakan customer dan rekanan prospek Citra Raya, perumahan elit (real estate) yang terletak di kawasan Surabaya Barat itu pun resmi menjadi Singapura-nya Surabaya (seperti slogan yang sudah lama dijanjikan oleh pihak pengembang bagi customernya: Citra Raya, The Singapore of Surabaya). Turut hadir dalam pesta kebun berkarpet merah di sepanjang Bukit Telaga Golf Citra Raya itu: perwakilan dari Kedutaan Besar Singapura, Lem Wei Siong dan Raja Real Estate, Ciputra. Dalam perayaannya yang dimeriahkan oleh Penyanyi ABG yang karirnya sedang naik daun, Agnes Monica, ini juga dimanfaatkan untuk mempromosikan tujuh produk real estate dari Citra Raya. “Acara ini sebagai ucapan terimakasih kepada semua pihak yang mendukung Citra Raya dan sekaligus untuk memantapkan Citra Raya sebagai The Singapore of Surabaya,” demikian Cindy Olivia, Manager Promotion Citra Raya. Seperti ramai diberitakan di Surat Kabar terbitan Surabaya belakangan ini, Citra Raya sebelum peresmiannya (bahkan sampai sekarang) sering diprotes sebagian besar warga kota karena menempatkan Patung Rafless sebagai ikonnya. Sekadar tahu saja, Sir Thomas Stamford Rafless yang dipatungkan dan bahkan dijadikan ikon di Citra Raya itu adalah Gubernur Jenderal Inggris saat menjajah Indonesia dulu. Dialah pula yang mendirikan Kota Singapura. Sekadar informasi lagi, di kawasan Citra Raya itu juga berdiri patung Merlion (ikan berkepala singa, lambang khas Singapura), tugu air mancur dan monument yang tidak jelas diperuntukkan untuk mengenang siapa atau memperingati apa. Pokoknya, demi mewujudkan slogan Citra Raya: The Singapore of Indonesia di perumahan itu, patung-patung dan taman yang ada di Singapura pun semuanya diusung ke Citra Raya. Nahas bagi pihak pengembang, karena bangunan-bangunan di Citra Raya yang asal jiplak dari Singapura itu kemudian dianggap tidak sesuai dengan aspek histories terbentuknya kota ini. “Taman-taman yang tidak sesuai dengan sejarah bangsa, termasuk nama-nama asing jangan sampai menjadi klasemen tersendiri di kota ini. Biarlah kota ini marak dengan namanya sendiri sesuai dengan sejarah berdirinya kota ini,” kata Karsono, Ketua Dewan Harian Cabang (DHC) Angkatan 45 Surabaya seraya mengecam Jl. Darmo Boulevard sebagai salah satu nama jalan di kawasan itu. Karsono menambahkan, ada satu lagi patung sepasang orang barat berlainan jenis disana (Citra Raya, red) yang juga tidak jelas. “Sepertinya sih sedang menari balet. Tapi, menurut orang awam yang lewat disana menganggapnya sebagai patung mentil. Sebab, patung itu terlihat seperti layaknya orang perempuan bertelanjang dada sedang menggeliat dipeluk laki-laki yang mengangkat mukanya seraya meraih buah dada perempuan itu,” terangnya. DHC Angkatan 45 Surabaya adalah salah satu pihak dari warga kota ini yang terusik dengan konsep The Singapore of Surabaya di Real Estate Citra Raya. Selain itu, yang giat melancarkan protes lewat pernyataannya di koran-koran adalah Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dan Tim Cagar Budaya Kota Surabaya. Ketiga elemen ini pekan lalu menyatakan sikap protesnya atas bangunan-bangunan yang tidak jelas di Citra Raya lewat jumpa pers bersama di Pusura, Jl. Yos Sudarso Surabaya. Pendiri Putra Surabaya (Pusura), Kadaruslan, juga salah satunya yang paling getol memprotes bangunan-bangunan itu. Kepada wartawan Sapujagat, ia mengeluhkan mahasiswa Universitas Surabaya (Unesa) di Lidah Kulon yang membiarkan bangunan Patung Rafles berdiri di depan kampusnya. “Patung Rafles di Citra Raya itu kan berdiri pas di depan kampus Unesa Lidah Kulon. Lah kok mahasiswa disana diam saja ada patung penjajah berdiri megah di depan kampusnya. Coba patung Rafless itu berdiri di depan kantor Pusura sini, wis tak sawati celetong kit biyen kon,” kecam tokoh kawakan yang akrab disapa Cak Kadar ini dengan nada emosi. “Patung Rafles di Citra Raya itu besarnya dua kali lipat dari patung Rafles aslinya di Singapura. Ada kira-kira tingginya sekitar 5 meter. Padahal patung aslinya di Singapura tidak setinggi itu,” tambahnya. Direktur pengembang Citra Raya, Ir. Sutoto Yakobus, MBA tidak ambil pusing dengan banyaknya kecaman yang ditujukan ke patung-patungnya di Citra Raya. Malah, ia mempersilahkan siapapun warga di kota ini yang mau mengecam keberadaan kota Singapura-nya di Surabaya Barat yang selalu mendapat limpahan banjir disetiap hujan turun itu. “Saya ini demokratis saja. Maka, siapapun yang mengecam keberadaan patung-patung di Citra Raya, ya silahkan saja. Demokratis kan jika ada perbedaan pendapat,” kata Yakob yang menganggap Rafles sebagai ilmuwan yang banyak memberi kontribusi di bidang ilmu botani, bukan pahlawan apalagi penjajah yang harus dihina. Bagi sejarawan, Prof. Aminudin Kasdi, patung Rafless yang di Indonesia lebih dikenal sebagai penjajah ketimbang ilmuwan itu akan berdampak pada perkembangan moral anak-anak kecil yang tinggal di kawasan itu. “Otomatis anak-anak kecil dilingkungan sana akan mencari tahu latar belakang tokoh yang dipatungkan itu. Dalam perkembangan usianya, heroisme dari tokoh di patung itu akan ditiru oleh anak-anak nantinya. Dan jika ternyata tokoh di patung itu lebih dikenal sebagai penjajah, ditakutkan anak-anak itu akan tertarik untuk menanamkan jiwa penjajah sejak dini,” papar Kasdi. (nif)

No comments: