Saturday, September 16, 2006
Kombes Pol Endro Wardoyo Agaknya Butuh Psikiater
Sikap ramah dan murah senyum biasanya selalu ditonjolkan oleh mereka yang berprofesi di bidang Public Relation (Humas). Seperti yang ditekankan dalam ilmu Hospitality Industry; Greet and Smile – agaknya seorang staf humas betul-betul menerapkan teori ini. Jadilah ia selalu bersikap ramah dan murah senyum kepada setiap orang yang dilayaninya.
Bagi mereka yang berprofesi sebagai wartawan, pasti sudah hafal betul dengan sikap seorang humas yang kebanyakan menyenangkan. Memang, sebagai salah satu tugasnya dalam melayani masyarakat, kerap kali seorang Humas menjadi juru bicara di instansi tempatnya bekerja.
Seorang humas sudah seharusnya bersikap aktif ketika dihubungi atau menghubungi wartawan. Meski instansi tempatnya bekerja melakukan penyimpangan yang merugikan uang negara miliaran rupiah sekali pun, seorang humas yang professional masih saja menampakkan sikap greet and smile saat dikerubuti wartawan.
Seperti yang tampak dilayar kaca akhir-akhir ini, mumpung polisi sedang getol-getolnya menangkapi koruptor, coba perhatikan sikap mereka yang bertindak sebagai juru bicaranya, putri tertua Mulyana W. Kusumah misalnya. Tetap saja dilayaninya para wartawan itu.
Sekalipun pertanyaan para wartawan itu terasa sangat menyakitkan, tetap saja dijawabnya dengan ramah. Seorang humas profesional dituntut pandai berkilah saat menghadapi sekeras apapun pertanyaan wartawan – dan menyembunyikan emosinya, tentu saja.
Tapi gambaran di atas tak tampak sama sekali pada sosok Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Endro Wardoyo. Sejak dilantik satu setengah tahun yang lalu, bekas Kapolres KP3 Tanjung Perak Surabaya ini nyatanya langsung menekuk mukanya tiap kali ketemu wartawan.
Jika ditanya wartawan tentang perkembangan suatu kasus yang berada di wilayah naungan Polda Jatim, sering kali dengan entengnya Endro menjawab: “Saya kok belum tahu ya.” Lalu, sambil mempercepat langkahnya, buru-buru ia angkat kaki. “Bagaimana bisa seorang humas tidak tahu perkembangan kasus di wilayah kerjanya,” keluh seorang wartawan.
Kalau pun Endro kepojok dan tidak bisa lari dari kejaran wartawan, paling-paling ia hanya bisa mengumpat; “Tuyul kamu!,” Ungkapan ini menjadi senjata pamungkasnya yang sering dilontarkan kepada siapapun wartawan yang terlalu banyak bertanya kepadanya.
Pernah Endro dalam suatu wawancara dengan wartawan Sapujagat tiba-tiba darahnya muntab sampai ke ubun-ubun. Lalu dimakinya wartawan tabloid ini. “Kamu tidak mengerti hukum. Sudah sana jangan wawancara dengan saya lagi!,” begitu hardiknya kemudian.
Maklum, waktu itu Endro habis ‘dibantai’ anggota Komisi E DPRD Jatim saat hearing yang menyoal lolosnya gembong Pornografi, Singgih Sutoyo. Pertanyaan wartawan Sapujagat yang membuat Endro naik darah tadi adalah; “Kenapa Singgih kok bisa lolos padahal waktu itu mudah saja Polda menjadikannya tersangka sebab salah satu produk tabloidnya telah dikategorikan porno oleh saksi ahli?”.
Endro langsung menuduh wartawan Sapujagat tidak ngerti hukum sebab menurutnya yang menetapkan status tersangka adalah pengadilan, bukan polisi. Selanjutnya ia mempersilahkan wartawan Sapujagat untuk protes ke pengadilan. Padahal faktanya pengadilan hanya memvonis terdakwa dari tersangka yang ditetapkan polisi.
Demikianlah, Endro memang sering ngawur kalau ngomong. Seperti saat ia didemo sejumlah wartawan karena diduga melakukan tindak kekerasan setelah mendorong wartawan Suara Surabaya FM, Muklas Fajarudin, hingga jatuh terjungkal saat mencoba mendapatkan informasi dari Kapolri Da’i Bachtiar dalam kunjungannya ke Surabaya baru-baru lalu.
Enteng saja Endro berkilah bahwa yang mendorong Muklas hingga jatuh adalah satpam setempat, bukan dia. “Masak pengamanan orang nomor satu di kepolisian dilakukan oleh satpam,” demikian wartawan The Jakarta Post, yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua AJI Jatim, Iman Dwianto, tidak puas dengan pembelaan Endro.
Dalam ingatan wartawan yang sehari-harinya mencari berita di Polda, sudah tidak terhitung lagi berapa kali Endro membelokkan informasi. Ini sangat merugikan wartawan. Utamanya fotografer di media harian yang dituntut untuk mengabadikan momen penting untuk diterbitkan sebagai pendukung berita.
Diakui fotografer Harian Surya, Eric Siswanto, dan fotografer Jawa Pos, Boy Slamet, informasi salah yang diberikan Endro kerap kali membuatnya kecele. “Pernah Endro menginformasikan kedatangan seorang jenasah TKW korban kriminal yang diduga meninggal akibat dihajar majikannya. Endro menyebut jenasah akan disemayamkan di jalan A, misalnya, tapi kenyataannya jenasah disemayamkan di jalan Z. Padahal para fotografer sudah siap di jalan A untuk mengambil gambar. Jadinya para fotografer urung mendapatkan gambar,” kenang Eric. Boy Slamet menandaskan bahwa yang diceritakan Eric tadi bukanlah kejadian pertama hasil ulah Endro yang dialaminya. “Sudah berkali-kali,” ungkapnya.
Terhitung sejak menjabat sebagai Kabid Humas Polda Jatim, belum pernah sekalipun Endro menyelenggarakan jumpa pers. “Kalau pun ada jumpa pers di saat Endro sudah menjabat sebagai Kabid Humas, itu pun bukan inisiatifnya. Melainkan inisiatif Kepala Satuan di sini. Misalnya reskrim mau membeberkan penemuan kasus soal narkoba dan mau menginformasikannya kepada wartawan. Maka jumpa pers itu diselenggarakan atas kemauan Kasat Reskrim. Saat jumpa pers, Endro memang datang. Tapi ia tidak ikut ngomong. Hanya sekadar datang saja dan tidak ngapa-ngapain,” terang seorang wartawan surat kabar harian sore yang sehari-harinya mencari berita di Polda.
Sejumlah wartawan menduga Endro Wardoyo menderita sakit secara psikologis yang membuatnya begitu kaku untuk ukuran seorang humas. Lebih ekstrim lagi ada yang bilang ia sedang mengidap psikopat. Ada pula yang menuduhnya schizofernia. Tapi yang jelas secara medis Endro didiagnosis menderita kencing manis seperti yang pernah diutarakannya langsung kepada sejumlah wartawan di Polda. Barangkali ini yang membuatnya cepat naik darah ketika pertanyaan wartawan dirasanya begitu menusuk.
Praktisi psikologi klinis, Margaretha, S.Psi, tidak berani mendiagnosis Endro begitu saja berdasarkan deskripsi diatas. “Saya tidak bisa mendiagnosis seseorang begitu saja. Dia harus melewati proses pemeriksaan dan menjalani serangkaian tes terlebih dahulu untuk kemudian bisa menyebutnya sakit secara patologis,” katanya.
Dalam pandangan Margaretha, seorang humas tidak harus melulu memasang wajah ramah dan selalu tersenyum. Lebih lanjut, dosen di Fakultas Psikologi Unair ini menduga, bisa jadi apa yang biasa dilakukan Kabid Humas Polda Jatim ini merupakan perilaku buruk belaka.
“Orang yang berperilaku buruk itu tidak mesti sakit. Sebagaimana orang yang sedang mengalami stres juga tidak mesti ia sakit,” jelasnya. “Maka dari itu, untuk mendiagnosis seseorang hingga bisa dinyatakan sakit secara patologis, harus melewati proses serangkaian tes dan pemeriksaan berkali-kali. Tidak cukup dengan mendengarkan gejalanya saja,” tandasnya. Agaknya Kombes Pol Endro Wardoyo butuh psikiater. (nif)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment