Saturday, September 16, 2006
Sodom dan Gomora
Pemuda belasan tahun itu terjun bebas ke kali –di mana dulu ia biasa berman –dan tidak pernah kembali. Ia ditemukan keesokan harinya telah bercampur lumpur berikut keping-keping VCD-nya. Dari Lumpur kembali ke Lumpur…
Petikan diatas adalah penggalan cerpen karya budayawan Akhudiat yang dibacakan di Galeri Surabaya, akhir pekan lalu. Ia menulis cerpen ini berdasarkan berita yang ditontonnya dari salah satu stasiun televisi. Memang, beberapa hari sebelumnya sempat ramai di koran tentang ditemukannya mayat seorang penjual VCD porno eceran yang biasa mangkal di emperan Tunjungan Center–Jl. Genteng Kali, Surabaya.
Pemuda yang kemudian diketahui berusia 18 tahun ini berasal dari kampung Gemblongan yang letaknya tak jauh dari tempat ia berjualan dan masih satu kawasan dengan kali yang menewaskannya itu. Ia dikabarkan sengaja menceburkan diri setelah melihat iring-iringan polisi yang dikira akan menertibkan pornografi di pusat grosir VCD itu. Maksudnya ia ingin menyelamatkan diri dari kejaran aparat.
Padahal, rombongan polisi itu datang untuk merasia pengendara yang tidak membawa SIM yang melintasi jalan raya kawasan itu. Nahas nian nasib pemuda ini. Terlebih mayatnya ditemukan bercampur lumpur bersama sejumlah kepingan VCD porno yang belum sempat ia tawarkan ke konsumennya. Nasib pemuda inilah yang diabadikan dalam bentuk cerpen non fiksi-nya Akhudiat.
“Beginilah cara saya bertakziah kepada pornographer boy yang tewas mengenaskan itu,” ujar Akhudiat tentang isi cerpennya. “Dia hanyalah bagian kecil dari sindikat pornografi di kota ini. Ia hanyalah penjual eceran yang mengambil untung kecil dari bisnis pornografi dengan menjualnya seharga Rp. 3 ribuan, atau Rp. 5 ribu dapat dua, atau bahkan Rp. 10 ribu dapat lima,” terangnya.
“Justru dialah ujung tombak dari bisnis pornografi itu. Dialah yang menentukan laris tidaknya industri pornografi. Tanpa peran dia, produser pornografi tidak berarti apa-apa. Tapi ironis, justru pengecer-pengecer kecil ini yang sering dikejar-kejar polisi, ditangkapi. Sementara produsernya tidak pernah diusik sama sekali,” imbuhnya.
“Nah, lewat cerpen ini, saya cuma ingin menunjukkan bahwa ada satu niat baik dari anak muda ini dalam aktivitasnya menjual VCD porno eceran. Dia melakukannya demi sesuap nasi. Untuk itu saya ikut mendoakan agar Allah akan memberi ganjaran setimpal meski dari satu niat baiknya itu,” jelas Akhudiat kemudian.
Lebih lanjut Akhudiat mengungkapkan bahwa khusus karya cerpennya yang satu ini juga merupakan bentuk keprihatinannya atas maraknya pornografi dan pornoaksi di kota ini. Seperti diketahui, Surabaya menjadi satu-satunya kota di negeri ini yang secara de facto melegalkan prostitusi.
“Utamanya keberadaan Gang Dolly adalah kenyataan yang paling pahit dari Kota ini,” tandasnya. Akhudiat masih ingat betul bahwa aktivitas prostitusi di kota ini telah marak dan sengaja dilokalisasi yang hingga hari ini telah mengalami perpindahan tempat berkali-kali sejak puluhan tahun yang lalu.
Adapun asal mula lokalisasi prostitusi di Surabaya itu, Akhudiat mengisahkan, dulunya berawal dari Kampung Petekan. Setelah ramai, kemudian pindah ke Kembang Jepun. Demikian seterusnya lokalisasi ini selalu berpindah tempat dari satu ke yang lain setelah ramai didatangi banyak pengunjung.
Adapun dari Kembang Jepun, secara berturut-turut, tempat prostitusi ini berpindah-pindah lagi ke Kapasan – Kapasari – Kampung Sawah – Jagir Wonokromo – Kembang Kuning – Sido Kumpul dan terakhir sampai sekarang yang merupakan paling ramai dikunjungi adalah Gang Dolly. “Sementara Kampung Sememi menutup diri, lalu di kemudian hari muncul tempat prostitusi baru di Bangunrejo dan Kremil,” papar Akhudiat. Tempat-tempat tersebut di atas belum termasuk mereka yang menjual kelaminnya di pinggir-pinggir jalan.
“Sepertinya sudah tidak ada lagi tempat di Kota ini. Ironisnya, tempat-tempat prostitusi itu semuanya menjadi satu dengan masjid dan tempat mengaji. Sudah tidak ada lagi batas diantaranya. Kalau pun ada, yang membatasi adalah label rumah tangga yang ditempelkan di depan rumah-rumah warga yang tidak mau terusik dengan aktivitas prostitusi itu – yang berarti tamu yang datang untuk tujuan prostitusi tidak boleh memasukinya,” tambahnya.
Bagi Akhudiat, inilah Sodom dan Gomora. Menurutnya, Sodom dan Gomora terjadi tiap hari di Surabaya. Tidak pernah ada liburnya. “Nanti, ketika semuanya sudah meluap maka akan tumpah ruah, seperti Sodom dan Gomora,” katanya.
Sodom dan Gomora yang dimaksud adalah nama suatu tempat di bilangan Palestina pada jamannya Nabi Luth. Allah memusnahkan kota ini dengan adzabnya karena maraknya aktivitas seksual penduduknya yang sudah keterlaluan. Termasuk isterinya Nabi Luth yang lesbian ikut menjadi salah satu korban dalam bencana Sodom dan Gomora ini. (nif)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment