Saturday, September 16, 2006
Gara-gara Dipusatkan Jadi Pasar Kelontong
Carut marutnya segala sistem di negeri ini tak lain hanya disebabkan oleh infiltrasi budaya asing. Sebenarnya ini sudah disadari sejak lama. Tapi seakan seluruh penduduk negeri tak berdaya melawannya. Kenapa? Karena Pemerintah Indonesia tidak punya politik kebudayaan yang jelas!
Demikian diungkapkan budayawan, Abdul Hadi WM, dalam suatu kesempatan di Surabaya beberapa waktu lalu. Dicontohkan: Belanda saja yang cuma berpenduduk 10 juta jiwa masih mampu mempertahankan diri dari serbuan budaya negara-negara tetangganya.
Sebut Inggris, Jerman dan Prancis, misalnya, yang telah membentuk kekuatan besar di Eropa, sama sekali tak membuat penduduk Belanda meninggalkan kebudayaannya sendiri. Dalam kesibukan sehari-hari, dalam aktivitas apapun, orang Belanda sampai hari ini masih setia menggunakan bahasanya sendiri. “Ini tak lain karena Pemerintah Belanda punya politik kebudayaan yang jelas,” terang Hadi.
Bandingkan dengan Indonesia, bisa disaksikan dari banyak iklan yang sering diputar di televisi swasta nasional, rasanya tidak PD kalau tidak didukung dengan menggunakan Bahasa Inggris. Bahkan film-film bioskop lokal yang diproduksi belakangan ini, kalau tidak menggunakan judul dalam bahasa Inggris pun takut tak laku.
“Ini membuktikan bahwa mental kita masih mental kolonial. Selalu saja mengekor kepada budaya barat. Terlebih, yang diajarkan di lembaga pendidikan kita semuanya tentang asing. Pemikiran-pemikiran oleh ilmuwan kita hampir tak pernah diajarkan. Ideologi oleh Soekarno atau Sjahrir, misalnya, sama sekali tak tersentuh. Referensi yang digunakan semuanya berasal dari pemikir-pemikir asing. Akibatnya, ketika keluar (lulus), kita menjadi asing melihat negeri sendiri. Ditambah dengan sistem pendidikan yang tidak pernah mengajarkan untuk menjadi subjek yang merdeka, jadilah orang Indonesia seperti yang sekarang ini; menjadi Amerika tidak, menjadi Indonesia pun juga tidak,” papar Hadi kemudian.
Menurutnya, ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia selama ini sudah dijajah mulai dari organ pikiran sampai di bawah perut. “Kalau kita sering dugem ke diskotik tiap malam, bukankah yang bekerja – dari bagian tubuhnya– cuma perut dan yang di bawahnya. Ini membuat orang jadi bangkrut,” jelasnya.
Hadi menandaskan, bangsa Indonesia memang sengaja dibentuk demikian oleh kolonial. VOC sejak datang ke Indonesia di Abad ke-14 tidak pernah menciptakan kota-kota di Indonesia sebagai pusat kebudayaan. “Kita sejak awal memang dididik untuk tidak menghargai seni dan intelektual,” katanya.
Untuk itu, semua kota di Indonesia oleh VOC justru sengaja diciptakan sebagai pusat pasar kelontong. Bisa dilihat dari tata letak bangunannya hingga sekarang. Di kota mana pun, di pusat kota selalu ada pasar. Dengan begitu akan susah mencari taman bacaan, susah mencari perpustakaan. Sementara, saat itu di Eropa tiap negara sudah mulai menggarap masing-masing kotanya sebagai pusat kebudayaan, kota lainnya bahkan dibentuk sebagai pusat pendidikan dan museum. Di Indonesia tidak, semua kotanya diseragamkan untuk menjadi pasar kelontong.
Celakanya, kegiatan pasar kelontong ini masih terus berlangsung. Jadinya, seperti yang tampak sekarang, banyak Mall bertebaran di mana-mana. Di kota besar apalagi, meskipun sudah penuh sesak dengan Mall, masih saja dibangun Mall baru lagi. Seakan penduduk kota kekurangan tempat untuk berbelanja saja. Ironisnya, apa yang ada di Mall itu pada akhirnya yang menjadi inspirasi melebihi realitas sosial yang sesungguhnya. Padahal, Hadi menekankan, tidak ada Mall pun tidak apa-apa. “Kita masih bisa hidup tanpa Mall,” tegasnya.
Lebih lanjut Hadi membandingkan: Khomeini ketika berkuasa di Iran segera merombak tata letak sejumlah kotanya dengan menempatkan perpustakaan atau taman-taman bacaan sebagai pusat kota. Menurut Hadi, tidak pernah terlintas ide seperti itu dibenak penguasa Indonesia sebab memang tidak terdidik dengan baik. Sudah begitu, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, yang menguasai pasar Indonesia pun investor asing.
“Kenyataannya kita memang serba asing. Ini akibat selalu menggunakan referensi dari asing (barat) di lembaga pendidikan kita. Salah satu contohnya adalah di UI, buku panduannya dari barat semua. Mana referensi dari timur? Dari Cina atau Iran misalnya? Di Cina pasarnya dikuasai oleh investornya sendiri, begitu juga di Arab. Bidang ekonomi kita seharusnya anti asing. Tapi untuk kepentingan Neokolonial, akhirnya, ya, beginilah Indonesia!,” tegasnya lagi.
“Sebenarnya tidak perlu jauh-jauh belajar. Kita secara tidak sadar punya ilmu sejarah. Hanya saja kita hidup di negara yang tradisinya terpotong-potong. Di jaman saya sekolah dulu diajarkan Sastra Jawa dan bahasa Jawa kuno. Sehingga ketika saya mendapat pelajaran Sastra Jerman, Inggris atau bahasa asing lainnya, masih ada perbandingan budaya,” lanjutnya.
Sekarang ini, Hadi menambahkan, kita tidak boleh sakit karena biaya rumah sakit mahal. Tidak boleh bepergian karena transportasi mahal. Bandingkan dengan Libya: orang sakit di sana diberi kupon, orang sekolah diberi kupon, orang menikah diberi kupon –diberi rumah– oleh Negara. Hanya, mereka tidak diperbolehkan punya rumah lebih dari satu. Indonesia bisa paling tidak seperti itu hanya jika sudah mempunyai sikap politik kebudayaan yang tegas. (nif)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment