Saturday, September 16, 2006
Ketika Simbol-simbol Figuratif Wayang Susah Ditangkap
Andai agama Islam tidak pernah sampai ke Indonesia, barangkali negeri ini tidak akan pernah melahirkan suatu karya seni berkualitas tinggi seperti Wayang Kulit (Purwa). “Seorang pakar sinematografi pernah berkata: karya animasi pertama di dunia sebenarnya diadopsi dari bentuk Wayang Kulit Purwa,” kata Pengamat Wayang dari STSI Solo, Bambang Murtiyoso.
“Jadi, kita sebenarnya punya warisan seni bernilai tinggi. Cuma kita tidak bisa menggunakannya. Bahkan simbol-simbol pada wayang klasik tidak tertangkap oleh anak-anak kita,” demikian Bambang menandaskan.
Memang nyatanya anak-anak Indonesia sekarang lebih suka mengidolakan Pokemon, Doraemon, Superman, Spiderman, Batman atau semacamnya. Sementara tak ada satu pun tokoh dari dunia pewayangan yang dikenalnya. Begitulah, kalau tidak mengidolakan tokoh imajinatif dari Jepang, maka pilihan anak-anak akan jatuh pada tokoh-tokoh imajinatif yang ditawarkan oleh Amerika Serikat lewat televisi.
“Jelas, ini merupakan bentuk kebudayaan yang keliru. Kita sudah punya tokoh sendiri kok anak-anak kita malah mengidolakan Pokemon dan Doraemon. Padahal, kita punya wayang yang punya nilai filosofi kebudayaan tinggi. Jelas ada yang salah dalam peradaban di negeri ini sehingga anak-anak kita punya jarak dengan keseniannya sendiri,” tandas Budayawan Mohammad Sobari, MA, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya melihat fenomena itu.
Percakapan tentang wayang dan anak-anak itu terjadi dalam suatu diskusi pada Selasa sore lalu (18/7) di Ruang Kaca, Taman Budaya Jawa Timur, Jl. Genteng Kali 85 Surabaya, yang masih merupakan satu rangkaian dengan acara pameran Wayang Kulit Rai Wong Ki Enthus Susmono.
Bermula dari pengakuan Ki Enthus Susmono tentang proses awal gagasannya yang mendorong dirinya untuk kemudian membikin Wayang Rai Wong yang pamerannya digelar di Gedung Merah Putih, Jl. Pemuda 15 Surabaya (12-19/7).
“Saya sedang mempertunjukkan wayang kulit Arjuna di depan murid-murid SD di Jogjakarta. Lalu seorang siswa bertanya: “Itu burung apa, pak?” sambil tangannya menunjuk pada wayang kulit Ksatria Panengah Pandhawa, yang bentuk hidungnya memang kelewat lancip menyerupai paruh burung. Dari pengalaman itu saya berniat membuat wayang Kulit Rai Wong yang sekaligus saya maksudkan untuk lebih mendekatkan wayang pada generasi muda,” demikian pengakuan dalang kondang asal Tegal ini.
Maka, terlontarlah pembicaraan seperti di atas tadi. Bambang Murtiyoso dan Sobari memang didaulat sebagai pembicara dalam forum diskusi itu. Menurut Sobari, pertanyaan seorang siswa SD di Jogja itu membuktikan bahwa negeri ini kalah dalam berjualan (kebudayaan) dengan bangsa lain.
“Maka, dalam hal ini, mari kita rebut anak-anak kita kembali ke pangkuan kita. Marilah kita rebut anak-anak kita ke dalam pangkuan kebudayaan kita sendiri. Masak kita rela anak-anak kita duduk dalam pangkuan kebudayaan bangsa asing. Kita bolehlah kehilangan peran rohani dari gempuran bangsa Barat. Bolehlah rohani dikalahkan oleh materi. Tapi dalam hal kesenian, kita seharusnya tidak bisa dikalahkan,” tegas Sobari dengan nada bersemangat.
Lewat penciptaan wayang Rai Wong Ki Enthus Susmono ini, Sobari kemudian berharap agar bisa menjadi titik awal bagi wayang modern yang bisa menarik kembali minat generasi muda. Selanjutnya Sobari juga berharap agar Pak Dalang untuk terus mencipta tradisi. “Tradisi bukan hanya milik yang lalu. Bukankah nenek moyang kita dulu juga muda. Anak sekarang kalau kita tidak mencipta, maka kita tidak akan dikenang. Maka dari itu, selama kita punya keyakinan yang lurus, kenapa kita tidak mencipta,” katanya.
Peradaban Wayang
Tentang perjalanan seni wayang, adalah Sultan Demak di Abad ke-15, seiring masuknya agama Islam di Indonesia, yang merombak bentuk wayang kulit purwa, dari yang semula berwujud realistik proporsional (visioplastik)–yang masih sempat diabadikan oleh nenek moyang dengan pahatannya di candi-candi–menjadi suatu karya seni figuratif (ideoplastik) seperti yang masih sering dimainkan para dalang sampai sekarang.
Ide perombakan figur yang semula dimaksudkan demi mematuhi ajaran hadis Islam yang melarang segala bentuk wujud manusia pada suatu karya seni (rupa dan patung) itu ternyata membawa perubahan besar pada stagnasi bentuk wayang kulit purwa.
Hasil perubahan figur pada wayang purwa–dari bentuk visioplastik menjadi ideoplastik–seperti yang tampak sekarang adalah klasik. Bernilai artistik tinggi karena dipenuhi simbol-simbol yang mengajak penontonnya untuk berpikir. Gradasi warnanya yang tembus pandang pun membuat semakin tampak indah di mata. Bahkan, dalam pertunjukannya, jika ditonton dari belakang layar, efek shadow-nya semakin memberi nilai filosofi yang tak terhingga.
Barangkali karena itu, dibanding dengan jenis keluarga wayang lainnya, seperti Wayang Madya, Gedhog, Klithik, Golek, Dupara, Perjuangan, Wahyu, Warta, Adam Ma’rifat ataupun Sadat, misalnya, maka wayang kulit purwa sudah dianggap final (yang paling sempurna).
Sampai sejauh ini, tak ada satu pun seniman yang berani merubah bentuk figur wayang klasik purwa. Adapun perubahan bentuk pada wayang purwa dalam perkembangannya memang ada. Tapi yang terjadi hanyalah perubahan semu pada wanda wayang.
Munculnya berbagai wanda wayang kulit pada hakikatnya terbatas pada tunduk tengadahnya roman muka, tinggi-pendek atau kurus-gemuknya postur, serta perubahan aksesoris semata. Sementara bentuk figuratif secara menyeluruh pada masing-masing tokoh wayang masih tetap sama, seperti bisa disaksikan hanya ada sedikit perbedaan pada masing-masing tokoh pada wayang kulit (purwa) Surakarta, Yogyakarta, Kedu, Cirebon, Sasak dan Bali.
Rai Wong
Pun munculnya wayang kulit baru, Rai Wong, karya Ki Enthus Susmono, yang sebelum dipamerkan di Surabaya telah di-launching-kan terlebih dahulu di Galeri Besar Taman Budaya Jawa Tengah pada akhir April lalu ini sepenuhnya masih belum menanggalkan figur dari wayang kulit purwa. Hanya saja, wajah para tokoh dalam Wayang Rai Wong Ki Enthus ini semuanya didesain mendekati manusia, namun karakternya masih mengacu pada Wayang Kulit Purwa.
“Pada tahun 1984 saya pernah membuat wayang “Rai Wong”, yaitu tokoh Buta Cakil. Tapi berhubung pada saat itu masih kuatnya orang-orang tradisi yang berpijak pada pakem, maka saya merasa takut untuk mempekenalkannya ke khalayak. Sekarang zamannya sudah moderen. Wayang sudah bisa mengikuti perkembangan jaman. Maka saya mendukung karya Ki Enthus,” demikian Ki Manteb Soedarsono mengomentari wayang “Rai Wong”-nya Enthus.
Manteb mengaku gembira melihat perkembangan wayang akhir-akhir ini. “Sebelum ini saya sudah melihat wayang karya Mas Hajar Satoto yang merupakan Wayang Sunggingan yang bergaya seni rupa. Juga ada Wayang Ukur, karya Ki Sukasman, dari Yogyakarta dan wayang karya Mas Bambang Suwarno, seperti Kayon Kecil Klowong, Ramawijaya Gimbal (Rama Ngalas) dan sebagainya sampai akhirnya sekarang muncul Wayang Rai Wong Karya Ki Enthus,” katanya.
“ Khusus buat Ki Enthus, saran saya: maju terus pantang mundur: yen wani ojo wedi-wedi, yen wedi ojo wani-wani. Jangan lupa, buat wayang sekaligus juga nama wandanya. Kalau boleh saya yang memberi nama: Bima wanda Bandol, Rahwana wanda Asu, Kangsa wanda Preman, Baladewa wanda Bantheng, Gatot Kaca wanda Mendung dan Setyaki wanda Kancil,” tambahnya.
Menurut Manteb, nama-nama wanda yang ditawarkannya itu cocok dengan gaya panggung Enthus yang sering menyuguhkan fenomena-fenomena aktual secara eksplisit dengan bahasanya yang komunikatif serta ditunjang pula oleh garapan pekelirannya yang spektakuler.
Memang, sebelum ini Enthus dikenal selalu tampil nakal (inovatif), di antaranya dengan menampilkan figur-figur non-tokoh wayangnya di atas pentas seperti Batman, Superman, Saras dan Panakawan Teletubbies. Pernah pula Enthus menggubah wayang kulit purwa Cirebon dengan tata busana model planet. Justru dari proses panjang berkesenian seperti itulah kini Enthus menemukan Wayang Rai Wong yang dirasa pas untuknya.
“Saya merasa lebih sreg jika memainkan figur yang wayang kulitnya lebih bersifat visioplastik,” ujar Enthus tentang karya inovasi terbarunya, Wayang Rai Wong. Penciptaan figur wayang jenis Rai Wong ini, menurut Enthus, pada dasarnya bertujuan ingin membangun image baru tentang tokoh-tokoh pewayangan. Dia ingin menunjukkan ketampanan Arjuna, kecantikan Banuwati, kebengisan Rahwana dan tokoh-tokoh wayang lainnya secara kasat mata.
Untuk itu, utamanya bentuk wajah, seperti hidung, mulut, mata dan cambang para tokoh dalam dunia pewayangan versi Rai Wong itu dibikin mendekati realis. Begitu juga dengan tangan, kaki dan bagian tubuh lainnya, termasuk atribut yang dikenakan oleh tokoh-tokoh tersebut. Namun begitu, tentunya beberapa karakter dari wayang purwa pada masing-masing tokoh pada wayang Rai Wong-nya Enthus ini masih tampak.
“Yang paling susah adalah ketika mendesain wayang raksasa dan yang berwajah kera. Butuh imajinasi dan konsentrasi tinggi dalam proses pemembuatannya. Sebab seumur hidup saya belum pernah bertemu Butho,” terang Enthus berkelakar.
Dalam pengamatan Bambang Murtiyoso, kehadiran Wayang Rai Wong Ki Enthus Susmono dalam peradaban dunia pewayangan ini justru lebih dianggapnya sebagai kemunduran. “Disebut kemunduran karena Enthus bukan yang pertama bikin wayang,” ujarnya.
Terlebih, Bambang memaparkan, jauh-jauh hari sebelumnya sudah ada Wayang Kulit Menak Rai Wong di Solo. Tapi Wayang Menak ini tidak bekembang. “Ketika kreatornya meninggal dunia, wayangnya juga ikut tenggelam,” terang Bambang.
Bambang melanjutkan, RM Sayid pada zaman kemerdekaan dulu juga sudah bikin wayang Sulung. Selain itu, di tahun 1970-an, Bruder Temitius juga pernah bikin Wayang Wahyu yang digunakannya untuk syiar agama Kristen. Di era-era tahun itu pula Suryadi juga bikin wayang Sadat untuk syiar agama Islam.
“Umumnya memang wayang-wayang purwa yang mendekati Rai Wong lazimnya tidak baku –lebih mendekati seperti manusia. Tapi semua wayang Rai Wong yang saya sebutkan tadi semuanya sudah tinggal berita seiring ditinggal mati oleh kreatornya,” ujar Bambang menerangkan.
Bambang menambahkan, sebenarnya kekuatan dari wayang kulit adalah justru terletak pada bentuk imajinatif dan figuratif yang tandawani atau tanwantah. “Terlepas dari adanya larangan hadis yang melarang menggambar wajah manusia, nyatanya Wayang Rai Wong yang tidak persis wajah manusia itulah yang justru diterima para wali songo untuk dijadikan sarana dakwah. Hanya saja sayangnya simbol-simbol pada wayang klasik itu tidak tertangkap oleh masyarakat kita,” ungkapnya menyayangkan.
Namun begitu Bambang tidak mencibir gebrakan Enthus yang baru saja menciptakan wayang yang mencoba kembali direaliskan untuk berwajah sama seperti manusia itu. Bambang hanya berharap, ketika ada wayang baru seharusnya juga lahir sastra baru di dunia pewayangan. Biasanya, selama ini, yang terjadi hanya wayangnya saja yang baru sementara sastranya masih menggunakan yang lama.
Idealnya, menurut Bambang, semua aspek pertunjukan dalam Wayang Rai Wong Ki Enthus Susmono ini juga dikemas baru. “Paling tidak garapan lakon, bentuk sable dan musik iringannya. Bumbu-bumbu sinematografi pun agaknya juga perlu dicoba. Dengan begitu barangkali Wayang Rai Wong ini kemudian bisa menarik minat generasi muda untuk kembali mencintai kebudayaannya sendiri,” tandasnya. (nif)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment