Saturday, September 16, 2006
Suku Alif Huru Masih Hidup No Maden
Di abad ke- 21 ini ternyata masih ada suku yang bertempat tinggal No Maden. Suku Alif Huru yang mendiami pedalaman Pulau Buru di Provinsi Kepulauan Maluku contohnya. Mereka masih sering berpindah-pindah tempat tinggal. Mereka adalah penduduk asli Pulau Buru.
Pekan lalu, wartawan Sapujagat sempat mengunjungi perkampungan suku yang dipimpin oleh Mohammad Baman Besugi ini. Terletak di pesisir Pantai Waihotong, Kecamatan Buru Utara Barat, berjarak kira-kira 100 Km dari Namlea, Ibukota Kabupaten Buru. Untuk sampai ke sana, kendati terletak di pulau yang sama, harus ditempuh melalui jalur darat dan laut.
Maklum, Jalan Raya di utara pantai Pulau Buru hanya berujung buntu di Desa Air Buaya. Selebihnya, alam disana masih dalam keadaan kontur aslinya, berupa pegunungan. Karenanya masih belum bisa ditembus kendaraan bermotor, apalagi mobil. Maka, kecuali mau berjalan kaki dengan naik turun gunung, jalan lainnya adalah menyisir pantai menggunakan perahu motor.
Kira-kira 6 jam dari Namlea, meliputi tiga jam ke Desa Air Buaya menggunakan mobil. Kemudian harus ganti alat transport, perahu motor, untuk kira-kira tiga jam kemudian, kalau ombak dilaut normal, pasti akan sampai di pesisir pantai tempat tinggal salah satu suku terisolir di Pulau Buru yang oleh mereka dinamakan Kampung Baru Waihotong itu.
“Semalam, seseorang mendatangi saya lewat mimpi, mengatakan bahwa hari ini saya tidak boleh ke luar rumah. Sebab ada tamu yang akan datang. Maka, pagi tadi, saya perintahkan kepada segenap warga saya untuk tidak keluar rumah terlalu jauh agar bisa menyambut kedatangan tamu itu. Ternyata benar, terbukti dengan kedatangan Anda di sini,” demikian Baman saat menerima wartawan Sapujagat di kediamannya.
Baman diyakini sebagai Kepala Suku tertua dari sekian banyak Kepala Suku di Pulau Buru. Tidak diketahui berapa umur pastinya karena setiap warga Suku ini dilahirkan tanpa akte kelahiran. Umurnya diperkirakan sudah lebih dari 100 tahun dengan asumsi pada tahun 1956 Baman yang saat itu telah menjabat Kepala Suku Alif Huru tercatat sebagai salah satu penduduk asli yang berkesempatan mengawal kunjungan presiden Soekarno di Pulau Buru.
Taruhlah jika saat itu ia masih berusia 40 tahun, maka berarti tahun ini usianya telah mencapai 105 tahun. Baman mengaku, kendati ia tidak tahu usianya kini berapa, tapi biasanya, pendahulunya diperkirakan meninggal pada umur 130-an tahun.
Di usianya yang setua itu, Baman masih tampak gagah. Malah, menurut sejumlah warganya, Baman masih kuat berjalan kaki naik turun gunung. Baru-baru ini, ia malah membawa serta semua anggota sukunya yang beranggotakan 77 KK ini untuk boyongan meninggalkan tempat tinggalnya yang lama dan kini baru tiga bulan menempati Pesisir Pantai Waihotong, tempat tinggal barunya yang berjarak kira-kira 1 Km arah ke timur dari tempatnya yang lama. Mereka menamakan tempat tinggal barunya ini dengan nama Kampung Baru.
Sebanyak jumlah KK anggota sukunya itulah rumah-rumah di Kampung Baru itu berdiri. Seluruh bangunan rumah itu terbuat dari kayu, beratapkan rumbai (daun sagu) dan masih beralaskan tanah liat. Semuanya dibangun secara kerja bakti warganya. Kampung ini dirampungkan hanya dalam jangka waktu satu bulan dengan peralatan sederhana berupa dua buah mesin pemotong kayu (mereka menyebutnya Censo, nama merk mesin pemotong kayu berupa gergaji tangan itu) yang telah lama menjadi inventaris suku ini, serta peralatan pertukangan tradisional lainnya milik warga.
Tata letak kampungnya, antara posisi rumah yang satu dengan rumah tetangga lainnya sangat mengesankan. Mereka menyetingnya bagaikan sarjana lulusan teknik sipil saja. Tak lupa, di tengah kampung ini dibangun mushalla – layaknya pusat kota (alun-alun) yang selalu ada masjidnya. Untuk saluran air (untuk keperluan minum, mandi atau cuci), mereka membuat pipa-pipaan dari bambu yang dihubungkan langsung ke sumber air pegunungan.
Tentunya, jaringan listrik PLN belum masuk sampai disini. Maka, keperluan listrik, untuk penerangan lampu di malam hari misalnya, warga suku ini menggerakkan listrik menggunakan generator set. Ada sejumlah 3 set generator (warga suku ini menyebutnya mesin engkol, red) milik inventaris kampung untuk menghidupkan aliran listrik di Kampung Baru ini.
Dengan demikian, jangan heran kalau menjumpai parabola di desa ini. Ada dua rumah yang dilengkapi televisi plus parabola milik warga setempat yang bisa dijumpai. Biasanya, tetangga yang tidak punya TV, ikut menyaksikan siaran televisi di rumah yang ada parabolanya. Mereka menonton televisi secara beramai-ramai di malam hari.
Dengan segala kesederhanaannya, warga suku terisolir yang hidup dengan cara bercocok tanam ini terlihat hidup tenteram di tempat barunya yang dikelilingi oleh hutan dan pantai itu, kendati mereka harus mengawali hidup dari titik nol lagi.
Padahal, dari hasil cocok tanamnya yang berlimpah dari pemukiman lamanya yang juga terletak di Desa Waihotong, mereka sempat meng-up grade rumah mereka – dari yang semula berdinding kayu dan beratapkan rumbai menjadi tembok beton dan atap seng.
Mereka pun rela meninggalkan rumah lamanya yang terbilang telah mapan itu demi tradisi No Maden-nya. Terhitung, sampai saat ini, Soa (demikian warga setempat menyebut kata Suku) pimpinan Baman ini, sejak 60 tahun terakhir, telah mengalami tiga kali perpindahan tempat tinggal.
Konon, Suku yang yang tak kenal lelah ini berasal dari Desa Wangrahi, Dataran Rana, puluhan kilo meter ke atas (di puncak gunung) dari tempat tinggalnya yang sekarang. Sejak di Dataran Rana itu, Baman telah memimpin sukunya ini. Waktu itu, mereka masih memeluk Animisme.
Kala itu mereka percaya, kalau salah seorang warganya meninggal dunia, maka seluruh warga suku itu harus meninggalkan tempat itu untuk cari tempat tinggal baru. Sementara, setelah warganya yang meninggal itu ditanam di pohon (bukan dikubur), lalu mereka meninggalkan desanya untuk cari tempat tinggal baru lagi dan membangun rumah disana. Tapi, khusus tradisi yang satu ini telah mereka tinggalkan sejak 1980-an.
Menurut Baman, untuk menentukan pindah ke tempat barunya, ia sembahyang terlebih dahulu. Sembahyangnya itu disebut Semake. Lalu, hasil sembahyangnya ini kemudian datang lewat mimpi. Misalnya, saat menentukan untuk pindah di Kampung Baru Waihotong ini, di dalam mimpinya itu tampak suatu dataran luas dengan banyak burung beterbangan diatas. Ini menandakan dataran itu sangat subur untuk didiami, apalagi dipakai untuk bercocok tanam. Belakangan, setelah ia memeluk Islam, Baman tahu bahwa cara sembahyang untuk menentukan tempat tinggalnya yang baru ini disebut shalat istikharah.
Memeluk Islam
Saat masih tinggal di Dataran Rana (Baman tidak ingat tahun berapa), ketika mereka masih tidak mengenal tuhan (animisme), selain bercocok tanam, suku ini juga beternak babi dan kus-kus. Suatu ketika kemudian, seseorang mendatangi Baman lewat mimpi. Orang itu berkata agar jangan lagi makan babi. Saat terbangun di pagi harinya, Baman mendapatkan binatang kus-kus tepat dihadapannya. Entah mengapa, kemudian Baman merasa risih melihat kus-kus. Ia merasa tidak suka lagi dengannya, melihat pun juga enggan.
Baman pun juga merasa risih melihat Babi. Karenanya ia kemudian memerintahkan warganya untuk berhenti beternak babi. Selanjutnya, ia memerintahkan untuk beternak ayam saja. Selama tiga tahun beternak ayam, ternyata sukses juga. Yang membuatnya sedikit kaget, pada akhir tahun ketiga lama ternaknya itu, orang yang sama – yang dulu memerintahkan untuk tidak makan babi – datang lagi di mimpinya.
Orang itu memerintahkan, kalau warganya sudah tidak makan babi lagi, hendaknya mereka meninggalkan Dataran Rana untuk turun ke Pantai Waihotong. Segera, keesokan harinya, Baman dengan mengajak semua warganya yang laki-laki – sementara warganya yang perempuan dan anak kecil tetap tinggal di Dataran Rana – langsung pergi turun gunung menuju Pantai Waihotong. Ini kira-kira terjadi pada tahun 80-an.
Di dekat pantai itu, sebagian dari mereka membangun rumah besar untuk tempat tinggal bersama. Sementara yang lain membuka lahan kebun kacang dan ubi. Selama sebulan, ternyata kebunnya membuahkan hasil. Maka, pada bulan kedua, mereka yang telah merasa lahan kebun barunya berhasil, langsung menjemput anggota keluarganya masing-masing, isteri dan anak-anaknya, untuk meninggalkan Dataran Rana guna menempati tempat barunya, pantai Waihotong. Lalu, mereka pun bikin perkampungan di sana dengan rumah masing-masing, tidak tinggal bersama lagi di rumah besar seperti yang mereka bikin saat pertama kali sampai di pantai ini.
Tahun 1988, Kepala Soa, Baman, mendapat surat dari Raja Petuanan Lisela, Mohammad Toyib Hintihu, untuk menghadap ke kediamannya di Batu Merah, Kota Ambon. Kesempatan itu dipergunakannya untuk masuk Islam. Raja Mohammad sendiri yang mengislamkannya. Saat itu, Baman yang terlahir dengan nama Baman Besugi, setelah dinyatakan masuk Islam, langsung menambahkan nama Mohammad di depan namanya. Maka, sejak saat itu, ia bernama lengkap Mohammad Baman Besugi.
Sejak diislamkan itu, ia pun mengaku bulat meyakini Islam sebagai agamanya. Untuk itu, ia betekad untuk bisa menjalankan kelima hukum Islam. Sayangnya, hingga kini, di usianya yang telah menginjak satu abad ini, ia masih belum mampu melaksanakan hukum Islam yang terakhir, menunaikan ibadah haji.
Atas kesediaan Baman yang masuk Islam tanpa paksaan itu, Raja Mohammad memberi banyak bantuan berupa beras, pakaian dan juga uang untuk warganya. Saat pulang ke Pantai Waihotong, Baman tidak semena-mena langsung memerintahkan warganya untuk masuk Islam. Ia membagibagikan pemberian Raja itu kepada warganya tanpa memaksa warganya untuk masuk Islam terlebih dahulu.
Bantuan serupa juga datang dari tokoh-tokoh Muhammadiyah Kota Ambon pada tahun 1989. Lagi-lagi, Baman menyalurkan bantuan itu kepada segenap warganya tanpa memerintahkan mereka untuk masuk Islam terlebih dahulu. Baman mengaku tidak pernah memaksa warganya untuk masuk Islam. Maka, dalam kehidupan sehari-hari di Pantai Waihotong, Baman yang muallaf ini tetap menjalankan perintah agama Islam, sementara yang lainnya masih tetap hidup tanpa tuhan (animisme).
Berkah Kayu Gaharu
Seakan suatu berkah bagi Baman beserta warganya, tak lama setelah ia masuk Islam, rejeki besar berupa kayu gaharu didapatkan warga suku ini. “Mungkin saat itu memang musim kayu gaharu, kami sampai memperoleh kayu gaharu itu seberat 300 kg,” kenang Baman. Memang, kayu gaharu sejak dulu hingga sekarang memang sulit dicari. Harganya pun sangat mahal di pasaran.
Uang hasil dari menjual kayu gaharu ini, oleh warganya dibuat untuk meng-up grade rumahnya yang semula serba terbuat dari kayu kemudian ‘disulap’ menjadi beton. Sementara, atap rumbai rumahnya juga diganti dengan atap seng. Setelah renovasi besar-besaran itu rampung, Baman meminta bantuan Raja Mohammad bersama segenap Muspika Kecamatan setempat untuk meresmikan kampungnya yang kini terlihat cantik itu.
Tahun 1993, Raja Mohammad Toyib Hintihu beserta jajaran Muspika Kecamatan Buru Utara Barat meluluskan permintaan Kepala Soa, Mohammad Baman Besugi. Kampung yang terletak di pantai Waihotong itu pun diresmikan.
Kehidupan suku ini terus berlanjut, peresmian kampung itu membuat hidup mereka lebih hidup. Mereka pun mulai berkebun; menanam kelapa dan kakau (biji coklat). Lebih bersemangat lagi, secara kolektif, warga suku ini ramai-ramai menyusul Kepala Soa-nya untuk memeluk Islam. Kepala KUA Kec. Buru Utara Barat mengaku, pada tahun 1993 ia mengislamkan 30 KK warga suku itu. “Saya masih ingat betul, jumlah warga yang saya Islam-kan ketika itu berjumlah 150 jiwa, berasal dari 30 KK,” katanya.
Ia menambahkan bahwa keberadaan suku ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Mereka masih butuh pembinaan. Mereka juga butuh disediakan gedung sekolah. Selama ini, anak-anak suku itu untuk sekolah harus berjalan kaki ke Desa Waihotong yang jaraknya lumayan jauh. Rata-rata, pendidikan mereka hanya sampai di SMP. Untuk melanjutkan ke SMA, mereka harus menjalaninya di Desa Air Buaya – desa terdekat yang punya fasilitas sekolah SMA di mana untuk sampai kesana harus menumpang perahu motor selama kurang lebih 3 jam perjalanan.
Untungnya, saat ini, masih ada dermawan yang bersedia menyekolahkan anak-anak dari suku ini ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Sedikitnya, saat ini, ada enam anak yang sedang di sekolahkan di pondok pesantren Kota Makassar (Ujungpandang).
Sayangnya, kampung yang sudah makmur dengan kehidupan Islaminya ini, akhirnya sejak tiga bulan yang lalu harus mereka tinggalkan. Alasannya, tempat tinggal mereka telah dikotori orang lain. Memang, sejak mereka hidup tentram di Pantai Waihotong di awal tahun 1980-an, satu per satu ada pendatang yang bermaksud ingin bergabung.
Dengan niat baik untuk membantu taraf hidup pendatang itu, Kepala Soa Baman bermaksud menerima mereka untuk hidup bergabung di tengah-tengah warganya. Kurang ajarnya, penduduk pendatang ini makin lama semakin bikin ulah. Para pendatang mulai bermain judi kartu, mabuk-mabukan dan main wanita di kampung itu.
Maka, Kepala Soa, Baman, kendati ia bersama warganya di kampungnya ini boleh dibilang sebagai pendiri, menyatakan lebih baik mengalah untuk pindah. Sebelum warganya ikut rusak akibat ulah ngawur para pendatang itu, ia memerintahkan untuk segera pindah dari tempat tinggalnya yang mulai dikotori maksiat. Sejauh 1 km ke timur dari kampungnya itu, sebanyak 77 KK warga sukunya yang masih setia kepadanya akhirnya membuat perkampungan baru lagi yang kini diberinya nama Kampung Baru Waihotong. Di sana, mereka memulai hidup dari awal lagi, membuka lahan baru lagi untuk berkebun dan bertanam.
Baman menegaskan keputusannya untuk pindah ini bukan semata untuk mengalah. “Ini bukan soal rumah membangun rumah. Tapi manusialah yang membangun rumah. Kalau rumah sudah dirasa tidak aman, maka pindah saja,” terang Baman.
“Kami tidak akan pula menjual rumah yang di sana (kampung lamanya di Waihotong). Sebab tempat ini adalah milik Allah yang harus kita jaga. Kami lebih suka rumah-rumah kami di sana rusak secara alami ketimbang di beli orang. Menjual rumah berarti memberi kesempatan orang lain untuk masuk dan merusak apa yang selama ini kami perjuangkan,” tambahnya.
Artinya, tindakannya untuk tinggal ditempat baru ini bukan berarti mereka meninggalkan rumah beserta kebunnya yang dulu begitu saja. Kendati mengaku tidak akan kembali lagi ke kampung lamanya tapi mereka menyatakan masih punya hak atas kebun dan harta milik lainnya yang telah dikerjakannya sejak awal tahun 1980-an itu.
Memang, saat ini, sementara warga suku ini sedang bekerja keras untuk membuka lahan kebun yang baru, tapi mereka masih pula mengerjakan kebunnya yang lama di Waihotong. Pun, nantinya, kalau kebunnya yang di Kampung Baru telah berhasil dengan hasil yang melimpah, mereka tidak akan serta merta meninggalkan kebunnya yang di Waihotong begitu saja.
“Bagaimana pun Kami masih punya hak atas kebun (yang di Waihotong) itu,” tegas Baman. Termasuk jika ada seseorang yang mau merebut hutan yang menjadi wilayah lahannya, mereka mengaku siap mati untuk mempertahankan haknya. (nif)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment