Saturday, September 16, 2006
Kota Pahlawan Tanpa Soekarno-Hatta
Predikat Kota Pahlawan yang dianugerahkan Pemerintah Republik Indonesia (RI) kepada Kota Surabaya bukannya asal jeplak begitu saja. Gelar itu dipersembahkan atas peristiwa yang sangat penting dalam sejarah bangsa Indonesia yang terjadi di Surabaya. Yaitu heroisme Arek-arek Suroboyo dalam mempertahankan kemerdekaan RI dari gempuran sekutu pada pertempuran 10 November 1945 silam. Hari terjadinya peristiwa itu sendiri kemudian setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Masyarakat Surabaya (seharusnya) patut berbangga atas julukan Kota Pahlawan pada kotanya. Terlebih, dari sekian kota yang ada di seluruh dunia, cuma kota inilah yang mendapat sebutan Kota Pahlawan. Dengan kata lain, Surabaya adalah satu-satunya Kota Pahlawan di dunia.
Kini, 60 tahun sembilan bulan sudah Indonesia merdeka dan pada bulan ini Kota Surabaya genap merayakan hari jadinya yang ke-713. Namun, seperti yang terlihat sekarang, kota ini sama sekali tak mirip seperti Kota Pahlawan.
Ini karena Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, dari tahun ke tahun, mengembangkan pembangunan di kota ini tanpa pernah memperhatikan aspek sejarah bangsa. Akibatnya, wajah Surabaya kini sudah berubah seiring dengan masuknya penduduk pendatang yang dalam dua puluh terakhir telah mendominasi sekitar 60% dari warga asli.
Dalam catatan Pakar Tata Kota, Prof. Ir. Johan Silas, dulu Surabaya punya corak kampung yang khas –yang tak mungkin dijumpai di kampung-kampung manapun di kota lain– di mana di setiap kampung bisa dijumpai sejumlah makam yang tak lain adalah makam para pahlawan yang berasal dari masing-masing kampung tersebut. Simbol perjuangan Kota Pahlawan ini, dulu, tercermin dari makam para pahlawan di kampung-kampung itu.
Tapi Pemkot Surabaya kemudian memilih melokalisasi makam-makam para pahlawan yang berserakan di kampung-kampung itu ke suatu tempat. Johan Silas adalah salah satu penduduk di kota ini yang paling getol menentang rencana Pemkot ketika itu.
Nyatanya, kini Taman Makam Pahlawan yang terletak di Jl. Mayjend Sungkono, sebagai realisasi dari upaya lokalisasi itu, jadinya malah bersandingan dengan restauran cepat saji asal Amerika Serikat, Mc Donald. Ini, menurut Johan Silas, semakin menghilangkan kekhasan Kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan.
Jati diri Kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan semakin sirna dengan hancurnya sejumlah bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang memiliki nilai sejarah tinggi. Sebut contoh Hotel Centrum di Jl. Bubutan dan Kompleks Gedung Sentral di Jl. Tunjungan. Lebih parah lagi, beberapa bangunan peninggalan kolonial bahkan ada yang sengaja dirombak dan digantingan dengan bangunan baru, seperti yang terjadi pada Stasiun Semut, Rumah Sakit Mardi Santoso dan Toko Nam.
Padahal, jenis-jenis arsitektur pada gedung-gedung peninggalan kolonial tersebut, dalam pengamatan Ketua Jurusan Arsitektur Universitas Petra, Timoticin Kwanda, memiliki aliran Neo-Gotik, Neo-Renaissance, Neo-Klasik, Nieuwe Kunst (Art Nouveau versi Belanda), Amsterdam School dan Destijl yang unik dan berbeda dari bentuk-bentuk bangunan eropa klasik yang berdiri di negeri lain.
“Karya bangunan-bangunan peninggalan kolonial, baik bangunan umum maupun rumah tinggal, yang ada di Indonesia ini telah disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya dan iklim setempat. Jika dibandingkan dengan bangunan berarsitektur modern yang sekarang, arsitektur pada bangunan peninggalan kolonial ini jauh lebih sesuai dengan kondisi iklim di Indonesia,” demikian Timoticin.
Sebaliknya, bangunan-bangunan real estate baru yang bercorak Eropa (yang bentuk arsitekturnya jauh dari bangunan-bangunan seperti peninggalan kolonial Belanda) justru semakin marak di kota ini. Ditunjang oleh nama-nama kawasan yang Asal British pada real estate tersebut, semakin menjauhkan Kota Surabaya dari Kota Pahlawan.
Ambil contoh: pada kawasan real estate Laguna Indah, milik Pakuwon Group, yang baru saja selesai dibangun, selain memberi warna bangunannya dengan model arsitektur eropa, nama-nama kawasannya juga dinamai dengan nama-nama asing yang sama sekali tak ada hubungannya dengan sejarah bangsa Indonesia. Seperti San Antonio, San Diego, Sorrento, Westwood, Riviera, Royal, Virginia dan masih banyak lagi.
Ironisnya, sementara nama-nama asing banyak bertebaran menjadi nama kawasan, justru nama Proklamator Kemerdekaan RI sama sekali tak dapat dijumpai di kota ini. Untuk diketahui, dari total 156 nama pahlawan –yang terdiri dari 106 Pahlawan Nasional dan 50 pahlawan lokal– yang terdaftar oleh Pemerintah RI, Kota Pahlawan ini hanya mengabadikan 39-nya saja. Yaitu 29 pahlawan nasional dan 10 pahlawan lokal yang semuanya dijadikan nama jalan.
Jika ini dibiarkan, sedikit jumlah pahlawan yang telah diabadikan menjadi nama jalan di Kota Pahlawan ini dalam waktu dekat bisa tergeser oleh dominasi nama-nama asing yang sama sekali tak punya kaitan dengan sejarah bangsa. Tidak adanya aturan –entah itu UU atau Perda– yang mengatur soal pentingnya aspek historis dalam membangun kota ini sangat memungkinkan hal itu terjadi.
Tidak adanya aturan itu membuat selama ini semua investor yang membangun real estate di Kota Pahlawan ini merasa dibebaskan untuk memilih kreasi sesuai dengan keinginannya dalam mengisi ruang terbuka kawasannya –entah itu taman atau patung– dengan nama apa saja. Karenanya nama-nama asing di sejumlah kawasan belakangan ini mulai bermunculan satu per satu. Dalam penilaian budayawan Abdul Hadi WM, semua itu terlanjur terjadi karena pemerintah tidak memiliki politik kebudayaan yang jelas. (nif )
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment