Saturday, September 16, 2006
Show Off Force dengan Alat Tempur Rongsokan
Pemerintah RI dan Malaysia sepakat membawa pertikaian Ambalat dengan jalan damai. Perundingannya akan digelar pekan depan (22, 23/ 3) di Jakarta. Tapi Malaysia tetap tidak menarik mundur pasukannya dari perairan RI. Agaknya TNI mendapat ujian sekarang.
Tampak aksi pesawat tempur Sukhoi berkecepatan 900 Km/ jam terbang di udara bersama pesawat F-16 Fighting Falcon dan pesawat F-5 Tiger sedang melakukan manuver Bomb Burst. Terlebih lagi, keempat Sukhoi, pesawat terbaru TNI yang dibeli dari Rusia, itu kemudian terbang terbalik (inverted). Lalu mereka membentuk formasi diamond untuk kemudian berpencar. Salah satunya, jenis SU-27 K yang diterbangkan Kapten M.J. Hanafi, melakukan solo manuver. Berbagai atraksi sulit dan berbahaya dengan formasi Hi-G Turn, Imelman atau Half Loop, Slow Flight dan Four Point Roll dikemudikan dengan baik oleh para penerbang berjuluk jaguar ini.
Helikopter tempur buatan Rusia lainnya, Mi-35 milik TNI-AD, terlihat sibuk melakukan serangan darat. Sedangkan helikopter Mi-2 milik TNI-AL, juga buatan Rusia, sedang menerjunkan pasukan intai amfibi. Tampak pula terbang melintas sedikitnya 12 helikopter jenis Nomad dan Cassa.
Sementara itu, di laut, kapal-kapal TNI-AL sibuk bertempur. Empat KRI melakukan manuever berkecepatan tinggi seraya menghancurkan ranjau laut di empat titik sasaran. Kemudian pasukan katak diterjunkan (water jump) dari atas helikopter jenis Bell dan langsung melakukan antiserang penghancuran kapal selam oleh dua kapal permukaan.
KRI Tanjung Dalpele buatan Korea Selatan, kapal angkut terbaru dan sekaligus terbesar yang dimiliki TNI-AL juga terlihat di sana. Termasuk di antaranya sepuluh kapal perang jenis Parchim yang baru saja diretrofit. Kapal-kapal bekas miliknya Jerman Timur ini menembakkan meriamnya. Kapal Selam KRI Nanggala juga nampak dalam show off force itu.
Belum selesai sampai di sini, tiga pesawat tempur jenis F-16 bersama tiga pesawat tempur F-5 dan empat pesawat Sukhoi datang lagi membentuk formasi tempur. 45 penerjun TNI melakukan free fall yang kemudian disusul dengan defile sedikitnya 1.700 personel yang terdiri dari perwira hingga pasukan khusus seperti Marinir, Kopasus, Paskhas AU, pasukan antiteror, pasukan katak, dan sebagainya lengkap dengan berbagai mesin-mesin perang seperti tank lapis baja dan kendaraan peluncur roket – termasuk roket RM 70 grade yang baru saja dibeli.
Memang, paparan diatas bukan terjadi di area konflik Blok Ambalat, Kalimantan Timur. Melainkan terjadi dua tahun silam saat perayaan HUT ke-58 TNI, 5 Oktober 2003 yang kebetulan bertempat di Armada RI Kawasan Timur, Dermaga Ujung, Surabaya. Ya, semua atraksi Sail and Flight Pass itu hanya terjadi di depan podium yang dihadiri oleh presiden yang waktu itu masih dijabat oleh Megawati Soekarnoputri. Bahkan putri Bung Karno itu sendiri pemimpin upacaranya yang dihadiri oleh perwakilan negara sahabat (termasuk Malaysia) serta para sesepuh dan petinggi TNI tentunya.
Perayaan di tahun 2003 itulah untuk yang terakhir kalinya TNI memamerkan kekuatan militernya. Perayaan HUT ke-59 TNI, 5 Oktober 2004 yang dipusatkan di Pangkalan Halim Perdana Kusuma, Jakarta bahkan bisa dibilang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perayaan setahun sebelumnya. Sebab hanya diramaikan demo udara oleh sejumlah pesawat tempur dan helikopter dari ketiga angkatan.
Dalam kondisi konflik, ditengah ancaman hilangnya salah satu wilayah NKRI seperti yang terjadi di Ambalat, Kalimantan Timur, sekarang ini, agaknya perlu dipertanyakan bagaimana kesiapan alat tempur TNI yang sesungguhnya.
Tak Layak Tempur
Untuk mengira-ngira kekuatan tempur TNI, ada baiknya sejenak flash back lebih jauh lagi. Awal bulan Juli, tiga tahun yang lalu, salama tiga hari berturut-turut, Gedung DPR/ MPR RI Senayan Jakarta mengagendakan hearing dengan masing-masing angkatan di tubuh TNI. Hari Senin, 1 Juli 2002, digelar rapat dengar pendapat Anggota Komisi I DPR RI dengan Kepala Staf TNI AL (KSAL) yang waktu itu masih dijabat oleh Laksamana Bernard Kent Sondakh.
Adapun hasil rapat yang digelar terbuka yang juga diikuti oleh puluhan wartawan – termasuk wartawan Sapujagat itu sangat mengejutkan. “Dari total 113 Kapal Republik Indonesia (KRI) yang dimiliki Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) saat ini – meliputi kapal tempur, kapal patroli, dan kapal pendukung – tak ada satu pun yang siap tempur sesuai fungsinya. Kapal-kapal tersebut hanya siap dalam arti mampu berlayar,” ungkap KSAL Laksamana Bernard Kent dihadapan sidang rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi I (yang saat itu dijabat oleh) RK Sembiring Meliala.
Lebih lanjut Sondakh memaparkan bahwa dari 113 KRI yang dimiliki TNI AL, sebanyak 39 KRI umurnya di atas 30 tahun, 42 KRI berusia antara 21-30 tahun, 24 KRI berusia antara 11-20 tahun, dan hanya delapan KRI yang berusia di bawah sepuluh tahun. “Kondisi dua unit kapal selam kelas U-209 buatan Jerman tahun 1981 dengan senjata andalannya torpedo sedang ada masalah pada sistem motor pokoknya. Ada kerusakan pula pada sistem kompresor dan combat battery torpedo sudah kedaluwarsa,” jelasnya.
Sondakh menambahkan, Enam kapal fregat yang dimiliki TNI AL teknologinya sudah ketinggalan. “Tingkat kerusakan kapal kelas Van Speijk buatan Belanda tahun 1967 juga cukup tinggi. Kemampuan fire power dan kecepatannya sudah menurun. Sedangkan kondisi senjata andalannya yaitu peluru kendali jenis Harpoon, dua di antaranya sudah kedaluwarsa dan empat lainnya akan menyusul kedaluwarsa di akhir tahun 2002 ini,” katanya.
Hal serupa, beber Sondakh, terjadi pada empat kapal korvet. “Kapal buatan Belanda dan Yugoslavia tahun 1980 ini merupakan salah satu kapal termodern yang dimiliki TNI AL. Tapi, dari empat kapal itu, satu dalam kondisi siap terbatas dan tiga lainnya dalam pemeliharaan. Selain itu, 26 senjata andalannya (peluru kendali exocet MM-38), semuanya telah kedaluwarsa,” ujarnya
“Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada 16 kapal Parchim buatan Jerman Timur tahun 1980-an dan empat kapal cepat rudal buatan Korea tahun 1979. Hanya dua kapal cepat torpedo buatan PT PAL tahun 1988 yang masih dalam kondisi baik dan siap dioperasikan,” demikian Sondakh.
Sebagai tindak lanjut dari hasil hearing dengan KSAL itu, dua minggu kemudian, Senin (22/ 7/ 02), Komisi I DPR RI langsung mengadakan kunjungan kerja (kunker) ke Komando Armada Timur (Koarmatim) RI, Dermaga Ujung, Surabaya, untuk melihat langsung kondisi alat perang TNI AL lewat mata kepalanya sendiri.
Dari kunjungan itu semakin diketahui bahwa sejumlah peralatan persenjataan perang milik TNI AL seperti tank tempur telah dikanibal akibat minimnya anggaran keuangan dan ketidakmampuan membeli suku cadang baru sejak tahun 1976. Akibat kanibalisasi ini, hampir 60 persen tank tempur yang disimpan di Resimen Kavaleri Korps Marinir Markas Koarmatim telah menjadi barang rongsokan.
Effendy Choirie yang memimpin rombongan kunker Komisi I DPR RI itu mengatakan bahwa dari 132 unit tank tempur yang terdiri dari jenis Pintam, PT-76 dan HMX, hanya 30 sampai 40 persen yang kondisinya layak untuk dioperasikan. “Kendati masih terdapat 40 unit tank tempur baru buatan Ukraina yang didatangkan tahun 1997, namun tank-tank tersebut sebenarnya buatan tahun 1960-an dan teknologinya sudah tertinggal,” katanya.
Effendy Choirie juga memaparkan bahwa sebelumnya DPR juga mendapati sebagian besar dari 39 kapal perang bekas yang dibeli Pemerintah RI dari Pemerintah Jerman tahun 1994 tidak dapat beroperasi karena mesinnya hancur. “Karena tidak dapat beroperasi, enam kapal yang pembeliannya sempat mengundang kontroversi tersebut difungsikan untuk mess anggota TNI AL yang tidak memiliki rumah,” jelasnya.
Lebih lanjut Choirie menjelaskan bahwa kondisi memprihatinkan ini tidak hanya terjadi di Pangkalan Dermaga Ujung Armatim saja. “Berdasarkan laporan KSAL Laksamana Madya Bernard Kent Sondakh, peralatan persenjataan di Markas Komando Armada Barat (Armabar), Jakarta, pun kondisinya sama memprihatinkannya,” katanya.
Sekadar tahu saja, lewat APBN tahun itu (2002), TNI AL mendapat kucuran sebesar Rp 1,9 trilyun, dengan rincian; anggaran rutin Rp 1,58 trilyun, anggaran pembangunan Rp 323,17 milyar dan anggaran kredit ekspor 42 juta dollar AS
TNI AU Sama Saja
Dari hearing Komisi I DPR RI di awal bulan Juli 2002 bersama ketiga angkatan TNI secara terpisah itu, hanya KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu saja yang memberi keterangan menyenangkan. Rapat yang masih digelar secara terbuka pada hari Selasa, 2 Juli 2002, itu membeberkan bahwa peralatan perang TNI AD tidak butuh biaya besar dalam perawatannya dan sebagian besar siap tempur. Namun harap dicatat, perang modern bukan lagi di darat, melainkan di laut dan udara.
Hearing Komisi I DPR RI di keesokan harinya, Rabu, 3 Juli 2002, bersama KSAU Marsekal Chappy Hakim, kembali membuat segenap hadirin yang mengikuti sidang rapat terbuka ini merasa miris. Pasalnya, Marsekal Chappy Hakim melaporkan bahwa kesiapan dari seluruh pesawat terbang TNI AU berada di bawah 50 persen, sedangkan kesiapan radar pertahanan udara sekitar 68 persen. Ini artinya: upaya mempertahankan tingkat kesiapan satuan operasional TNI AU belum dapat dilaksanakan secara optimal.
“Dari 222 pesawat terbang yang dimiliki TNI AU, yang dapat disiapkan untuk beroperasi hanya 93 unit. Selebihnya, 129 unit pesawat tidak siap beroperasi. Khusus untuk pesawat tempur, dari 89 pesawat yang ditempatkan pada tujuh skadron, hanya 30 pesawat yang siap dioperasikan. Demikian pula radar pertahanan udara yang jumlahnya 16 unit, hanya dapat disiapkan 11 unit. Sementara itu, TNI AU belum memiliki radar-radar early warning dan ground control interception, sehingga wilayah udara di atas wilayah kedaulatan Republik Indonesia belum dapat dimonitor secara utuh,” kata Chappy.
Tentang kesiapan pesawat angkut C-130 Hercules, Chappy menambahkan, jumlahnya cuma tujuh. “Itu hanya mampu mendukung pergeseran pasukan menuju satu trouble spot saja. Padahal dibutuhkan 18 pesawat yang selalu siap digunakan untuk memindahkan pasukan menuju dua trouble spot secara bersamaan,” jelasnya
Menurut Chappy, keterbatasan kesiapan alat utama sistem persenjataan (alutsista) itu tidak sepenuhnya disebabkan oleh embargo Amerika Serikat (AS) terhadap TNI, melainkan juga karena keterbatasan anggaran yang diterima dari tahun ke tahun.
Chappy mengungkapkan, dalam tahun anggaran 2002, TNI AU mendapat alokasi anggaran untuk pemeliharaan alutsista sebesar Rp 236,5 milyar. “Jumlah itu meliputi anggaran pemeliharaan pesawat sebesar Rp 206,7 milyar dan pemeliharaan radar sebesar Rp 29,8 milyar. Bila dihadapkan pada kebutuhan riil sebesar Rp 4,2 trilyun, maka alokasi anggaran yang diterima di tahun 2002 baru terpenuhi sebesar 5,57 persen,” katanya.
Terburuk di Asia Tenggara
Kabar buruk dari dua petinggi TNI saat itu sempat menjadi head line di Koran-koran harian terbitan ibu kota selama lebih dari sepekan. Sampai sempat pula terbesit kekhawatiran jika saat itu juga negeri ini diserang musuh secara mendadak lewat jalur laut dan udara, maka habis sudah negara ini.
Untungnya, Malaysia bikin konfrontasi di Blok Ambalat bukan pada waktu itu. Melainkan sekarang, tiga tahun setelah masing-masing Kepala di Angkatan Laut dan Udara TNI itu membeberkan kelemahan alat perangnya. Pertanyaannya, bagaimana nasib alat perang TNI sekarang, sudah siap tempurkah? Apakah waktu parade HUT-nya yang ke-58, 5 Oktober 2003 lalu cuma show off force dengan alat tempur rongsokan belaka? Entahlah.
Kabar terakhir mengenai kekuatan persenjataan TNI dipaparkan langsung oleh Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dihadapan Komisi I DPR RI, hari Kamis, 2 Desember 2004. Saat itu Panglima menegaskan bahwa persenjataan yang dimiliki TNI adalah termasuk yang terburuk di kawasan Asia Tenggara. “Persenjataan kita hanya bisa unggul atas negara Kamboja dan Laos saja,” demikian Anggota Komisi I DPR RI, Slamet Effendy Yusuf mengutip pernyataan Panglima untuk konsumsi pers.
Endriartono yang dalam kesempatan itu masih didampingi oleh KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu, KSAU Marsekal Chappy Hakim dan KSAL Laksamana Bernard Kent Sondakh menyerahkan laporan tertulis yang menyebutkan bahwa kemampuan pertahanan udara nasional belum dapat sepenuhnya dilaksanakan di Wilayah Timur Indonesia karena satuan radar yang sangat terbatas dan sudah tua usianya. Pun kekuatan pesawat buru sergap dan peluru kendali antipesawat udara jarak pendek dan sedang sangat tidak sebanding dengan wilayah yang harus dilindungi.
“Kekuatan Angkatan Laut saat ini memiliki 117 Kapal Republik Indonesia (KRI) dari berbagai jenis. Seharusnya, apabila dibandingkan dengan luas wilayah laut, dibutuhkan minimal 762 kapal. Sementara itu, kekuatan TNI Angkatan Udara saat ini memiliki 7 skuadron tempur, 5 skuadron angkut, 1 skuadron intai, 3 skuadron heli, 2 skuadron latih, 16 satuan radar pertahanan udara, dan pasukan khas Angkatan Udara 3 wing dengan kesiapan rata-rata 60 persen,” demikian Panglima TNI Endriartono Sutarto.
“Seharusnya, bila dibandingkan dengan luas wilayah udara, dibutuhkan pesawat udara sekitar 2.000 buah dari berbagai jenis. Sampai saat ini TNI masih banyak menggunakan persenjataan yang sudah tua, termasuk dari Rusia. Bahkan Rusia sendiri pernah kebingungan cara makainya karena karena sudah saking tuanya," tambahnya.
Sekadar tahu saja, tahun 2003 pemerintah mengeluarkan anggaran untuk pertahanan sebesar Rp 11,536 triliun. Tahun 2004 pemerintah menaikkan anggaran pertahanan 15% sehingga totalnya Rp 13,266 triliun. Adapun perinciannya adalah; sebanyak Rp 10,721 triliun dialokasikan untuk anggaran pembangunan, khususnya memantapkan satuan operasional dan kesiapan alutsista. Sisanya Rp 2,544 triliun digunakan untuk kesejahteraan prajurit.
Butuh Diplomat Handal
Sementara itu, pengamat politik Aribowo, MA mendesak pemerintah RI untuk segera menyiapkan diplomat terbaiknya dalam penyelesaian konflik di Blok Ambalat lewat meja perundingan. “Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan itu dikarenakan kita tidak punya diplomat handal, hingga akhirnya terpaksa kita manut saja saat kasusnya dibawa ke Mahkamah Internasional,” katanya.
Menurut Aribowo, jika kasus ini kembali ditangani oleh Mahkamah Internasional maka selanjutnya RI tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sebab sepenuhnya akan terserah Mahkamah Internasional. “Tapi jika kita pandai berdiplomasi di meja perundingan, maka sepenuhnya kita masih bisa berupaya,” jelasnya. “Maka dari itu kita harus mengoptimalkan jalur damai di meja perundingan ini, jangan sampai nasibnya Ambalat serupa dengan Sipadan dan Ligitan. Jangan sampai Ambalat ini nasibnya ditentukan oleh Mahkamah Internasional lagi,” tambahnya.
“Meja perundingan ini merupakan jalan terbaik bagi Indonesia khususnya yang harus dimaksimalkan mengingat kekuatan militer kita jauh di bawah kekuatan militer Malaysia,” imbuh dosen FISIP Unair yang pernah menjadi penasehat Kasdam V Brawijaya ini. (nif)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment